Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
Pastinya, setelah ditandatangani, dan sempurna secara administrative dalam hal formalitas keberlakuanya, UU Ciptakerja digugat ke Mahkamah Konstitusi. Substansi dari UU Ciptakerja yang dikenal pula sebagai omnibus law banyak berkaitan dengan bidang kerja pemerintah di sektor ekonomi. Secara konseptual ada 11 klaster yang menjadi pembahasan dalam UU Cipta Kerja, yaitu: Penyederhanaan perizinan tanah Persyaratan investasi Ketenagakerjaan Kemudahan dan perlindungan UMKM Kemudahan berusaha Dukungan riset dan inovasi Administrasi pemerintahan Pengenaan sanksi Pengendalian lahan Kemudahan proyek pemerintah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), sampai dengan permasalahan yang berkenaan dengan lingkungan hidup khsususnya AMDAL.
Pasal Bermasalah
Usai ditandatangani, begitu terbuka klausula yang dinilai bermasalah dan dijadikan sebagai substansi dalam pengujian secara materiil, khususnya masalah perlindungan kepada pada pekerja. Pengajuan keberatan yang diajukan pengujiannya itu pada dasarnya dilakukan karena bertentangan dengan prinsip mendasar dalam UUD 1945. Pasal bermasalah dan kontroversial itu misalnya soal perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini tercantum pada Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Pasal ini yang menjadi keberatan mendasar dari para pekerja atau karyawan, atau dalam bahasa hukum masa lalu disebut sebagai buruh.
Di antaranya adalah masalah pembatasan waktu kontrak kerja. Ketentuan tentang kontrak tanpa batas (Pasal 59) UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Pada hal justru selama ini yang menjadi andalan dari para pekerja adalah ketentuan tentang batasan waktu yang memang seharusnya menjadi potensi untuk pembatasan waktu kontrak.
Disebutkan berikutnya, sebagaimana ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada hal sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
Permasalahan berikutnya yang mengalami perubahan, atau tepatnya pergantian yang secara ekstrem adalah tentang hari libur. Sekaitan dengan ini, hari libur dipangkas (Pasal 79) Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas. Pemangkasan yang tentu saja secara kuantitas memberikan keuntungan kepada pengusaha, sementara problem bagi pekerja karena begitu sempitnya saat libur, yang seharusnya selama ini sudah mapan sebabai bagian dari tujuan untuk berkumpulnya pekerja di tengah keluarga. Apa lagi jika jarak antara tempat kerja dengan tempat tinggal berjauhan.
Ketentuan yang kiranya menjadi semacam pedukung dari masalah di atas adalah pada Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.
Seiring dengan hal di atas, Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pada sisi lain, ketentuan dalam Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pengupahan
Ketentuan yang merupakan eksistensi dari hubungan kerja adalah soal upah. Sekaitan dengan hal ini, aturan soal pengupahan diganti (Pasal 88) UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja. Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan. Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Hal yang bisa disebut sebagai sensitive, tecermin dari beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut. Antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Untuk sementara sebelum ada peraturan emerintah maka yang berlaku adalah ketetuan yang lama.
Hal mendasar berikutnya adalah tentang sanksi bagi pengusaha ketika tidak membayar upah, sebagai imbal balik dari kinerja pekerja. Dalam hal ini, sanksi tidak bayar upah dihapus (Pasal 91). Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja. Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ditegaskan pada ketentuan Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya. Baca juga: Ingin Kerja di Luar Negeri? Cek Info Lowongan Kerja Resmi di BP2MI Ini.
Berikutnya yang dinilai bermasalaha adalah hak untuk memohon PHK. Dalam kaitan ini, hak memohon PHK dihapus (Pasal 169) UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam. Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.
Ketentuan di atas diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156. Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Ketentuan yang secara mendaar dinilai bermasalah itu ibarat sebuah bangun, berada di ring satu. Pada gilirannya masih ada ketentuan lain yang juga bermasalah namun sebutah itu sebagai masalah sekunder. Nantinya akan muncul pula permasalahan yang berkaitan dengan hal ini, yang secara mendasar mengundang pertanyaan, jika memang begitu banyak masalah, mengapa UU ini ada. Sejatinya untuk siapakah UU ini, keteika perlindungan terhadap pekerja begitu rapuh?.***