Refleksi Peringatan Pengkhianatan G30S/PKI dan Hari Kesaktian Pancasila: (3)
Oleh: Dr. H. Joni.,SH.MH.
MERUJUK pada fakta, dengan karakter dan segala perdebatan dan perbedaannya, maka bagaimanapun Pancasila adalah ideologi. Kendatip[un dengan argumentasi dan nalar yang lain menyatakan bahwa tak ada referensi mengenai Pancaila sebagai ideologi. Namun dengan kondisi dan keabadian serta kesaktiannya, sudah menjadi trademark maka keabadian ideologi juga berlaku pada ideologi Pancasila. Di dalam perspektif Pancasila dalam arti ideologis, sudah sangat banyak analisis mengenai Pancasila sebagai ideologi terbuka. Hal ini sebagai konskeuensi dari karakter ideologi yang harus senantiasa bisa menyesuaikan dengan perkembangan masa.
Para pakar terkait menyampaikan mengenai hal ini yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mengapresiasi bahwa Pancasila itu dapat mengikuti perkembangan jaman. Tidak aus atau lapuk dan terus dapat berkembang dinamis sebagai ideologi bangsa Indonesia di tengah kancah percaturan ideologi dunia yang terus berubah.
Berkaca Sejarah
Berkaca pada sejarah keberadaan bangsa Indonesia semenjak dahulu, sebagaimana tecermin dari kehidupan kerajaan kecil di nusantara maka kendatipun belum terformulasikan dalam lima sila itu cikal bakal bangsa Indonesia itu telah dan sudah ber-Pancasila sejak awal.
Pada perkembangannya, Pancasila itu merupakan ideologi terbuka. Makna ideologi terbuka adalah ideologi yang mampu mengikuti perkembangan jaman dan bersifat dinamis atau merupakan suatu sistem pemikiran terbuka. Keberadaannya merupakan hasil konsensus dari masyarakat itu sendiri, nilai-nilai dari cita-citanya tidak dipaksakan dari luar. Substansinya juga digali dan diambil dari suatu kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Bukan dari khazanah asing.
Makna Pancasila sebagai ideologi terbuka itu menjadi pedoman dan acuan bangsa Indonesia dalam menjalankan aktivitas di segala bidang sehingga sifatnya harus terbuka, luwes dan fleksibel. Tidak tertutup dan tidak kaku, mengandung keharusan dan kemampuan untuk mengikuti perkembangan jaman tanpa harus mengubah nilai-nilai dasarnya. Pancasila memberikan orientasi ke depan dan selalu menyadari situasi kehidupan yang sedang dihadapi dan akan dihadapi di era keterbukaan atau era globalisasi dalam segala bidang.
Pada perspektif Pancasila sebagai ideologi terbuka, perjalanannya tidak terlepas dari aspek politis dan ketatanegaraan. Kekuasaan pada jaman Orde Baru misalnya, dinilai telah menerjemankah Pancasila secara sepihak dan menurut selera penguasa pada saat itu. Keterbukaan yang disesuaikan dengan selera dan kepentingan politik penguasa. Pancasila dijadikan sebagai legitimasi dengan kinerja konkret berupa indoktrinasi pada seluruh komponen masyarakat baik pada tatanan formal maupun informal. Formal melalui sekolah pada seluruh jenjang pendidikan. Mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Informal melalui berbagai kesempatan terhadap kelompok masyarakat dan kelompok kepentingan.
Mata pelajaran Pancasila secara kuantitas mendominasi proses ajar belajar. Informal melalui penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), bagi seluruh komponen masyarakat baik di Pusat maupun di Daerah. Biaya besar digelontorkan untuk kepentingan pemahaman dan penerapan Pancasila saat itu. Kesaktian P-4 sebagai pedoman perilaku disosialisasikan kepada seluruh Warga Negara tanpa kecuali.
Pancasila pada era itu menjadi kekuatan legitimat untuk memerangi komunisme. Sumber kekuatannya adalah komunisme yang anti agama, sementara Pancasila dasarnya agama. Kontradiksi ini melahirkan persatuan dan keyakinan bahwa komunisme akan musnah dengan Pancasila. Komunisme akan habis ketika seluruh komponen bangsa ber-Pancasila. Itu filosofi yang ditanamkan, pada hal sekali lagi ideologi tidak akan pernah mati.
Legitimasi Ideologi Pancasila
Di dalam perkembangan berikutnya, pemaknaan Pancasila sebagai ideologi terbuka itu menjelma menjadi ideologi dengan muatan penuh menjadi keramat dan sakti. Bahkan legitimasi untuk itu dituangkan dalam Tap MPR No: II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa). Ketapan itu berisi jabaran Pancasila yang mematahkan berbagai pendapat kontra tentang tafsir Pancasila. Dalam ketentuannya dinyatakan bahwa ini bukan tafsir Pancasila (Pasal 1). Ketetapan ini pada perkembangannya dicabut Tap No: XVIII/MPR/1998 dan penegasan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara.
Legitimasi yang seolah alergi terhadap indoktrinasi, dan mengokohkan Pancasila sebagai flsafah bangsa yang bersifat terbuka itu dituangkan dalam bentuk Undang Undang. UU dimaksud adalah dalam UU No 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan di dalamnya mengatur mengenai Pancasila sebagai mata pelajaran dan mata kuliah wajib bagi peserta didik di semua tingkatan. Namun operasionalisasinya dinilai indoktrinatif.
Pada proses ini, transisi terhadap permasalahan ideologi kemudian diwujudkan dalam bentuk pembubaran berbagai institusi yang dinilai sebagai media indoktrinasi. Tesis sederhananya, bahwa Pancasila bukan hanya milik penguasa yang dapat menterjemankan atau menafsirkan Pancasila sesuai seleranya. Pancasila sebagai ideologi bangsa menjadi milik bersama yang bersifat terbuka. Hal ini juga sebagai refleksi dari upaya menjaga ideologi Pancasila dalam karakter keabadian.
Pada pespektif ini, disebabkan keterbukaan itu pula, seolah ide Daniel Bell menemukan bentuk konkretnya di Indonesia dengan pergantian UU Sisdiknas. Melalui UU Tentang Sisdiknas yang baru (UU No. 20 Tahun 2003) Pendidikan Pancasila dieleminasi dari kurikulum pendidikan di semua jenjang. Sebagai gantinya adalah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Trauma masa lalu terhadap tafsir Pancasila yang dilakukan rezim orde baru menjadi legitimasi pencoretan Pancasila sebagai mata pelajaran di sekolah. Kendatipun di beberapa sekolah diberikan pelajaran tentang itu, sifatnya hanyalah Muatan Lokal (Mulok). Acuan dasarnya, Pancasila menjadi materi yang digabungkan dalam mata kuliah PKn tersebut.
Dari perjalanan sejarah ini, siapapun sependapat, Pancasila yang menjadi ideologi terbuka masih relevan untuk persatuan dan kesatuan NKRI. Sampai sekarang, belum dan tidak ada ideologi lain yang dapat dijadikan sebagai media mewujudkan character building untuk generasi saat ini dan mendatang.
Obyektif, bagi penganut ideologi komunisme juga demikian. Oleh karena itu kewaspadaan terhdap re-inkarnasinya ideologi komunisme harus diwaspadai. Dalam bahasa politis menjadikan komunisme serbagai bahaya laten masih tetap relevan.
*Penulis Notaris tinggal di Sampit.