NKS Menulis Ultah: Kejutan Sekar lewat Angka 5 dan 2

Pagi-pagi, saya dibuat kaget. Dengan sekilas, saya lihat Sekar memberi tatapan yang agak tajam. Tidak biasanya, meski anak nomor dua saya itu, terbiasa blak-blakan cenderung kurang pandai berbasa-basi.

Dipandangi anak begitu rupa  saja, sudah bikin kaget. Tapi yang lebih mengagetkan adalah kelimat yang dihiasi ekspresi sedih.  “Ayah kenapa terlihat tua gitu sih? Ayah jangan tua dulu,” katanya, dengan muka serius menatap ayahnya yang sedang duduk sementara ia berdiri.

Saat itu saya ingat masih sangat pagi di hari Senin, tanggal 7 September 2020. Coba bayangin, atau minimal berempati, seperti apa suasana hati saya pagi itu. Masak sih wajah saya sudah setua yang dilihat anak saya?

Memang, saat itu, saya sedang merasakan ada sesuatu yang tak beres dengan bagian pinggang. Untuk bangun dari tidur saja terasa sakit luar biasa. Encok, mungkin itu kata orang dulu. Cara jalan saya pun condong tak bisa berdiri tegak.

Selain encok, kumis saya memang sedang memanjat wajah. Kumis ini, barangkali yang menjadi biang keladi ketuaan saya yang tiba-tiab diprotes anak.

Secara jujur harus diakui, saya merasa percuma serapi apapun kumis dan jenggot, tak terlihat saat protokol kesehatan diterapkan secara ketat. Masker menutupi putihnya kumis, sehingga tak perlu sering-sering merapikan kumis. Sedangkan sikat gigi tetap perlu. Karena tanpa hal itu, saya tak akan kuat menahan bau. Meski itu bau nafas dari mulut dan hidung milik pribadi.

BACA JUGA: NKS Menulis: Ketika Buku NKS Jilid 2 Siap Menyapa

Kumis putih? Benarkah kumis saya sudah mulai memutih? Tapi rupanya, ya di situlah masalahnya bermula. Kumis yang berwarna putih cenderung lebih cepat panjang dari temannya yang berwarna hitam.

Saat di kantor dan bermasker, urusan kumis tak perlu digubris. Namun, tatkala di rumah dan masker tak dikenakan kumis itu diperhatikan dengan penuh seksama. Jadilah, tanda-tanda berkurangnya ukuran muda itu, lantas terlihat nyata.

Anak kedua saya itu, memang jeli kalau urusannya mengritik bapaknya. Juga dalam soal menemukan ide-ide kreatif. Jadi ceritanya gini.  Ketika bulan lalu tercetus ide merayakan ulang tahun anak pertama yang ke-25 di rumah saja, Sekar sudah merancang sesuatu. Dengan sangat cepat ia telah berfikir akan ada penghematan luar biasa untuk pembelian balon berupa angka dua dan angka lima.

Seisi rumah tak ada yang ngeh dengan jalan fikirannya yanga agak-agak aneh itu. Saya juga menanggapinya dengan biasa, meski tetap berusaha memecahkan keanehan Sekar. Tapi ya Tuhan. Semua teka-teki itu, terjawab, saat Jumat kemarin saya genap berusia 52 tahun.

Hari mendekat di tanggal 11 September. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, saya memutuskan untuk cuti sehari di tanggal cantik itu. Saya ingin melupakan sejenak rapat-rapat tatap layar yang tak henti dari pagi hingga malam hari. Rasanya sangat rindu bertemu langsung seberat apapun tema rapat yang harus dijalani.

Dan, tanggal 11 September 2020 menghampiri. Saya punya agenda yang mesti dituntaskan di hari berarti ini. Setelah sholat subuh dan bersyukur masih diberi umur, saya bersama istri berjalan kaki mengejar matahari. Ini agenda resmi yang saya ikuti sebagai alumni ITB angkatan tahun 1987: ITB 87 Mengejar Matahari 100K Virtual Run.

Sengaja saya ingin tuntaskan di tanggal 11 September. Sebab, 11 adalah angka sakral bagi mahasiswa jurusan Matematika ITB yang nomor induk mahasiswanya didahului dengan 11, lalu tahun angkatan seperti 1187.

Untuk menuju 100K saya hanya butuh sekitar 2,5 km lagi setelah lebih sebulan saya rajin jalan kaki mengejar matahari. Namun saya sudah bertekad untuk berjalan kaki hingga angka 5,2 km, tak kurang dan tak lebih.  Sebuah angka yang bercerita tentang usia 52 di tanggal 11 September tahun ini.

Berhasil. Hanya sayangnya waktu tempuh tak mampu menyentuh di angka 52 menit. Kelewat terlalu jauh.

Saya bersyukur. Di kala usia ada di angka kebalikan dari 25, saya masih mampu menempuh jarak cukup jauh. 100K dengan berjalan kaki tiap pagi untuk memperingati 100 tahun berdirinya kampus ITB.

Yang menyenangkan dari kegiatan ini, bukan sekadar jalan kaki, mencapai angka 100K. Tapi banyak makna yang bisa dipetik, misalnya saja tema Mengejar Matahari yang sangat simbolik. Atau pertemuan kami sesame Angkatan 87 yang bisa ditalikan  semangat silaturahmi lewat lari dan jalan kaki.Momentum ini, juga memberi kesempatan untuk charity, berbagi dan peduli.

Beberapa rekan bahkan sudah mencapai angka 200K atau 300K. Jarak yang cukup jauh karena jika direntangkan, membentang dari Jakarta hingga Pekalongan.

Setelah soal mengejar matahari selesai, saya masih memiliki waktu untuk menjalani hobi. Main pingpong. Hobi ini, selama seminggu saya tinggalkan akibat sakit pinggang. Hasilnya pun tak mengecewakan. Raihan angka kemenangan yang menajubkan walau sebenarnya tak disengaja. Saya menang 5-2 melawan Pak Agung Samson musuh bebuyutan di komplek perumahan.

Selesai tenis meja, saya pulang dan mendapati rumah sudah dihiasi balon bertuliskan ucapan selamat ulang tahun. Saya yakin Sekar yang memberi kejutan untuk ayahnya. Ia tahu ayahnya tak pernah punya tradisi merayakan ulangtahun.

Jadilah, hari itu, Sekar seperti ingin menebus semua yang tidak pernah dirasakan ayahnya. Ia membuat perayaan, meski serba dibatasi pandemi, hanya bersama keluargaa, dan di rumah saja. Tapi semua sesaji ulangtahun sangat lengkap disediakan: kue ulangtahun, balon, dan kado.

Kue tart, bahkan sengaja dipesan dengan desain bertema sangat NKS. Sepertinya kreativitas Sekar terasah saat aktif di sekolah hingga bangku kuliah.

Ada juga kue ulang tahun yang berupa cup cake dengan hiasan tiruan ayahnya yang lengkap menggunakan blangkon. Tak hanya itu. Kue ultah unik itu dihiasi tulisan NKS. Hiasan lain berupa sebuah tiruan buku Nami Kulo Sumarjono dan tiruan sebuah buku Njih, Meniko Sewu Kutho.

Tentu ada tulisan ucapan ulang tahun lengkap dengan angka umur dan tanggal sakral 11 September 2020. Terimakasih Sekar (tentu saya duga bersekongkol dengan mamanya dan kakaknya) untuk kejutan kue yang temanya NKS sekali.

Kejutan kue ultah tidak hanya dari Sekar. Ada juga kiriman Mbak Lina, Mas Arya dan Mbak Echa. Kue ulang tahun yang toppingnya foto persis cover buku NKS Jilid 2. Juga, video panjang penuh kejutan dari seluruh insan BPJAMSOSTEK di bawah Direktorat Renstra dan TI termasuk Depdirbid Aktuaria. Sampai-sampai Pak Romie rela belajar bahasa jawa untuk mengucapkan selamat ultah.

Di video ucapan ultah yang disimpan dengan embel-embel final banget itu yang konon diedit oleh Mas Hafiz, benar-benar penuh kejutan. Entah bagaimana memintanya sehingga beberapa orang sangat penting di negeri ini berkenan “dikerjai” untuk memberi selamat untuk saya.

Pak Isa, Pak Maliki, Bu Iene, rekan direksi, kakak di bandung, Pak Irwan, ponakan di kalimantan, bahkan anak dari Bapak dan Ibu saya sewaktu di Amerika dan Mr. Bae dari Korea ambil bagian dalam video ini.

Terimakasih semuanya untuk ucapan dan doanya untuk sehat dan sukses saya. Doa yang sama lantas saya panjatkan untuk semua rekan tersebut. Juga untuk yang telah bersusah payah menghubungi kolega saya dan mengedit hingga video berdurasi lebih dari tujuh menit ini tuntas saya lihat dan dengarkan.

Dan, ada yang super spesial di ulang tahun ke-25 yang angkanya diatur sedemikian rupa hingga angka 2 dan angka 5 mau berganti posisi ini. Hadiah indah berupa buku berjudul Njih, Meniko Sewu Kutho. Buku yang dengan belajar ekstra keras untuk mampu saya tulis dengan tangan sendiri. Tulisan yang hingga kini saya masih tak yakin apakah layak dibukukan atau tidak.

Buku ini merupakan semacam dokumentasi kaki saya menginjak banyak kota. Judul yang saya pilih adalah Njih, Meniko Sewu Kutho. Benar ini tentang Seribu kota. Tentu, tidak benar-benar ada seribu kota yang saya lewati. Tapi saya senang dengan judul ini.

Benar. Ini terinspirasi lagu yang sangat populer. Sewu Kutho yang sangat identik dengan pecipta dan penyanyinya, Didi Kempot.

Sewu Kutho, bagi saya bagai sebuah perjalanan spiritual. Paling tidak, saya merasakan, usai melewati banyak kota di dunia, pada akhirnya saya harus kembali ke sini. Ke tanah tumpah darah yang gemah-ripah, ke ibu pertiwi tempat kita mengabdi. Ke Indonesia. Karena di sini, tempat yang membuat hati terang: suasana ramah, konco yang sumarah, kesempatan hidup yang bisa sumrambah.

Saya menemukan makna paling transendental sekaligus menyentak bagai nyendal nyowo, adalah saat mendengar Mas Didi Kempot sedho, meninggal dunia. Tidak percaya dengan kabar itu, saya merenung panjang. Mencari arti semua peristiwa ini. Perkenalan personal saya dengan Mas Didi baru dimulai, meski saya adalah salah satu penggemar fanatik sejak lama. Lalu, mengapa saya seolah tidak diberi waktu cukup banyak untuk dekat dengan beliau?

Mas Didi Kempot telah melewati sewu kutho dan kutho terakhir yang disinggahi adalah akhirat. Tempat semua orang akan hidup setelah meninggal. Kota yang kita semua akan singgahi. Kota yang mengingatkan hendaknya kita menyiapkan saat di dunia dengan berbagai amal kebaikan, energi positif, dan kemanfaatan bagi banyak umat.

Jadi begitulah, di saat hari ulang tahun ke-25 (dengan susunan angka dibalik) saya diingatkan bahwa perjalanan ke seribu kota hendaknya memberi manfaat bagi masyarakat banyak. Diingatkan pula bahwa perjalanan ke kota terakhir pun mungkin semakin dekat. Sehingga upaya dan doa  yang bisa dilakukan adalah agar perjalanan itu berakhir dengan baik. (*)

Depok, 11 September 2020. Salam Sewu Kutho

About NKS

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca