Bekasi, Koranpelita.com
KH. Muchtar Thabrani tiba di tanah air tahun 1950. Setelah mukim di tanah suci belasan tahun untuk memperdalam ilmu.
KH Muchtar kembali ke kampung halamannya di Kaliabang Nangka, tahun 1950. Muchtar disambut sanak keluarga, sahabat, dan masyarakat yang merindukan ilmu dan pengajaran Islam. Proses pengajaran yang dimulai sejak kembali mengaji dari Guru Mughni dan Guru Marzuki dilanjutkan.
Pemuda KalibAbang Nangka yang pernah belajar mengaji, merindukan penyampaian sang guru. Terlebih saat selesai memperdalam Islam di pusatnya, Makkah al Makaromah dan Madinat al Munawaroh.
Kondisi di tanah air saat itu telah merdeka dari bangsa penjajah. Republik Indonesia ketika itu masih dalam suasana suka cita pasca kemerdekaannya. Kaum pergerakan dan cendekiawan berpindah ke kancang politik nasional. Tidak sedikit kyai dan pengasuh pondok pesantren terlibat aktif dalam politik praktis.
KH. Muchtar dapat kembali ke tanah air tanpa ada rintangan apapun di jalan. Medan perjuangan terbuka lebar, tinggal memilih apakah tetap mengajar, berdakwah dan beradab dalam politik. Atau memilih politik praktis tergabung di parlemen
Berbekal ilmu Islam dengan oleh-oleh sejumlah kitab yang dipikul oleh beberapa orang dan bekal ilmu yang telah meresap dalam dirinya, KH. Muchtar tiba di kampungnya, Kaliabang Nangka memulai gerakan dakwah Islam.
KH Muchtar yang masih dalam masa beristirahat, Guru Tohir, paman beliau memanggilnya dan memintanya untuk membaca beberapa kitab yang dibawanya dari tanah suci. Sang paman menguji kemampuan Muchtar yang selama 13 tahun menimba ilmu di tanah suci. Muchtar muda yang berbekal ilmu di tanah suci menurut dan mulai membaca kitab-kitab yang menjadi bacaannya selama menimba ilmu dari guru-gurunya.
Muchtar muda bersemangat mulai membaca kitab-kitab tersebut dengan lancar, fasih disertai dengan penjelasan yang baik. Melihat kepandaian keponakannya itu, Guru Tahir, sanak keluarga, sahabat dan masyarakat yang turut menyaksikan kejadian itu tak sanggup lagi menahan haru dan menitikan airmata.
“Allahu Akbar,” sesaat kemudian bergemalah kalimat takbir dari orang-orang yang hadir saat itu. Peristiwa itu menjadi semacam wisuda bagi KH Muchtar Thabrani untuk meneruskan perjuangan dan dakwah di masyarakat Kali Abang Nangka. Ilmu yang cukup, pengalaman yang luas dan kemampuan memadahi sebagai bekal dalam berdakwah menghadapi beragam kebutuhan masyarakat.
Kyai muda, bersemangat dan memiliki modal sosial cukup untuk terjun du bidang dakwah. Rasanya cukup kompeten untuk membimbing masyarakat yang haus akan ilmu untuk bekal menjalani kehidupan di masyarakat yang majemuk.
Kondisi masyarakat yang sedang membangun setelah merdeka melepaskan diri dari belenggu bangsa penjajah. Masyarakat harus memiliki semangat dan kemandirian menghadapi masa depannya.
Seiring perjalanan dakwah Islamiyyah, KH Muchtar Thabrani membutuhkan pendamping dalam kehidupannya. Hal itu untuk melengkapi hidupnya, sekaligus untuk menghidupkan sunnah Rosulullah Muhammad SAW maka di tahun itu juga dilangsungkan pernikahan.
KH. Muchtar yang telah berusia lebih 40 tahun menikah dengan Hj. Ni’mah Ismail gadis berusia 14 tahun putri dari Guru H. Ismail Tanah Rendah Jakarta. Pernikahan yang kelak memberikan keturunan banyak, empat putra dan tiga putri.
KH. Noer Alie dari Ujung Harapan dan KH. Tambih dari Kranji dua sahabat beliau yang membantu dalam proses lamaran hingga acara pernikahan.
KH. Muchtar Thabrani semakin dikenal sebagai guru, mubaligh dan ahli ilmu Islam di tanah air. Dari tahun ke tahun murid-murid yang ingin belajar terus bertambah mulai dari usia anak-anak, remaja, bahkan dewasa.
Mengingat banyaknya murid yang ingin belajar, beliau dibantu beberapa murid senior yang diangkat menjadi staf pengajar. Suatu hari berkumpulah beberapa orang murid senior, diantaranya KH. Alawi, KH. Asmawi, KH. Anwar, KH. Abdullah, Guru Asmat dan Guru Jenih.
Hasil musyawarah keenam murid senior yang merupakan staf pengajar, tercapai kesepakatan seluruh santri yang mengaji kepada keenam staf pengajar tersebut akan diseleksi secara khusus. Santri yang lulus seleksi, tersebut dapat mengaji dibawah bimbingan langsung KH. Muchtar Thabrani.
Terpilihlah 20 santri angkatan pertama yang berhak mengaji langsung kepada KH. Muchtar. Sementara santri-santri yang lain, yang masih tingkat dasar secara berjenjang mengaji di bawah asuhan keenam staf pengajar yang mendapat kesempatan belajar langsung kepada KH Muchtar Thabrani. (Bersambung)