Oleh Dasman Djamaluddin
Bangsa Indonesia di tengah Covid-19 ini tetap bersemangat menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke -75.
Lihatlah di berbagai daerah di Indonesia, mereka bersemangat menyanyikan lagu Indonesia Raya dan melakukan berbagai kegiatan untuk menyambut Hari Kemerdekaan RI ke- 75, meski di suasana merebaknya Covid -19.
Saya juga secara pribadi berterimakasih kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang menghargai peran Tokoh Pers B.M. Diah, karena teks asli Proklamasi tulisan tangan Presiden Soekarno diikut seratakan ketika upacara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-75 di Istana.
Hari ini naskah asli teks proklamasi yang ditulis langsung oleh Soekarno bapak proklamator Indonesia sekaligus Presiden RI pertama ditampilkan dalam upacara peringatan HUT ke-75 RI di Istana Merdeka, Senin, 17 Agustus 2020.
Dokumen tersebut diletakkan di mimbar kehormatan, yang terletak di halaman Istana Merdeka, saat upacara berlangsung.
Penyerahan dokumen dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) kepada Sekretariat Presiden dilakukan di Gedung O, ANRI, Jakarta Selatan, Minggu, 16 Agustus 2020.
“ANRI yang telah menyimpan, merawat, dan menyelamatkan arsip negara berupa tulisan tangan Bapak Ir. Soekarno mengenai pernyataan proklamasi pada saat ini diserahkan kepada kami, Sekretariat Presiden, untuk bersama-sama kita tampilkan di mimbar kehormatan,” ujar Deputi Bidang Administrasi dan Pengelolaan Istana Sekretariat Presiden, Rika Kiswardani, melalui keterangan tertulis, Minggu.
Naskah yang sebelumnya disimpan di depot penyimpanan arsip statis ANRI kemudian dibawa menuju Istana oleh Sekretariat Presiden.
Setelah upacara berlangsung, dokumen akan dikembalikan kepada ANRI.
“Insya Allah tanggal 18 Agustus akan kami serahkan kembali untuk mendapatkan perawatan terbaik di ANRI,” tuturnya.
“Mudah-mudahan kita bisa jadi saksi dan pelaku sejarah karena peringatan hari ulang tahun kemerdekaan tahun ini berbeda,” imbuh Rika.
Sebagai informasi, dari catatan sejarah, dokumen tersebut diselamatkan dan disimpan oleh tokoh pers dan pejuang kemerdekaan, B.M. Diah. Naskah kemudian diserahkan kepada Presiden Kedua RI Soeharto, yang meneruskannya kepada Menteri Sekretaris Negara periode 1988-1998, Moerdiono.
ANRI kemudian menyimpan naskah tersebut sejak diterima dari Moerdiono di tahun 1992.
Mungkin pada bagian inilah yang menjadi tonggak penting sejarah kemerdekaan Indonesia.
_Burhanudin Mohamad (B.M) Diah_
Wartawan itu bukan dicetak, tetapi dilahirkan. Itulah ungkapan yang sering kita baca dan dengar tentang wartawan.Tetapi apakah cukup dengan sebutan itu? Tidaklah demikian. Memang wartawan itu dilahirkan. Maksudnya setelah lahir harus terus menerus menjadikan wartawan sebagai pilihan hidupnya, meskipun ia memegang jabatan lain, naluri kewartawanannya tidak berhenti.
Selain itu seorang wartawan harus mengikuti cara cara yang berlaku dalam tradisi intelektual. Ia harus memiliki sikap kemandirian intelektual. Artinya, dia melakukan berbagai kegiatan berpikir dengan dorongan dari dalam dirinya sendiri. Selain memiliki berbagai tehnik dan ketrampilan untuk bisa menjalankan tugas kewartawanannya, ia harus ber-etika. Untuk apa mengkaderkan seorang wartawan yang cerdas dan berilmu pengetahuan, tetapi tidak ber-etika.
B.M. Diah meninggal dunia pada 10 Juni 1996 di Rumah Sakit Jakarta. Sebelumnya dirawat di Rumah Sakit Siloam Gleneagles, Tangerang sejak April 1996.
Di usia 79 tahun, B.M. Diah meninggalkan alam yang fana ini menuju keharibaan sang pencipta. Tidak seorang pun menduga, betapa cepatnya ia berlalu, karena di usia 75 tahun, saya sering melakukan wawancara untuk buku sejarah hidupnya, hampir tiga kali seminggu. Pada waktu itu, kondisinya terlihat baik-baik saja. Di sinilah kelebihan beliau, bisa menyimpan rasa sakit. Sebetulnya, menurut sekretaris pribadinya, Eveline, saat habis wawancara dengan saya, diam-diam meluncur ke rumah sakit.
Ketika pemakaman B.M. Diah, banyak tokoh-tokoh penting yang hadir di rumah duka di Jalan Patra X, Kuningan, Jakarta Selatan seperti Presiden Soeharto, Wapres Try Sutrisno, Menpen Harmoko, sejumlah menteri, Mochtar Lubis, Roeslan Abdulgani,SK Trimurti, konglomerat Liem Sioe Liong, keluarga dan kerabat almarhum.
Saya tidak hadir di acara pemakaman almarhum B.M. Diah itu, tetapi menulis sebuah komentar di Harian “Merdeka,” edisi 11 Juni 1996 dengan judul: ” Selamat Jalan Bapak B.M. Diah.”
Saya bergabung dengan Kelompok Grup Merdeka, Majalah Berita TOPIK tahun 1983 sebagai Redaktur Pelaksana. Kemudian setelah buku “Butir-Butir Padi BM Diah,” selesai tahun 1992, saya menjadi Redaktur Luar Negeri Harian “Merdeka.”
Harian “Merdeka,” punya ciri khas, yaitu berkop warna merah darah. Keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945. Harian ini terbit 1 Oktober 1945, hanya satu setengah bulan setelah bangsa Indonesia tengah berjuang merebut kemerdekaan.
Harian “Merdeka,” mengembangkan sayapnya. Pada tahun 1948, terbit Mingguan “Merdeka.”Selanjutnya “Indonesia Observer,” dan Majalah TOPIK pada 24 Januari 1972. Tetapi setelah B.M. Diah meninggal dunia, berangsur-angsur Kelompok Merdeka runtuh.
Sebelum Harian “Merdeka” runtuh, saya diutus B.M. Diah ke Irak. Memang harian ini sangat peduli kepada kepentingan Dunia Ketiga. Pertanyaannya, kenapa kebijakan harian ini dikenal di negara-negara Sosialis? Karena B.M. Diah tidak suka adanya suatu ketidak-seimbangan. Menurut B.M. Diah, melalui politik keseimbangan (“balancing politic”) tidak akan terjadi otoriter dan arogan.
Itulah sebabnya tulisan-tulisan B.M. Diah selalu membela patriotisme terhadap Irak. Ketika terjadi Perang Teluk, antara Irak dengan Amerika Serikat beserta sekutunya, Harian “Merdeka,” memunculkan judul-judul yang boleh dikatakan bersemangat patriotik dalam hal membela negara Dunia Ketiga, yaitu seperti “Irak. Ketidakadilan Dewan Keamanan PBB terhadap Irak,” yang waktu itu dipertanyakan harian ini. Bahkan B.M. Diah sendiri sering menulis berturut-turut tentang situasi terakhir di Irak.
Hasil kunjungan saya ke Irak yang diutus B.M. Diah tertuang dalam buku saya: “Saddam Hussein, Menghalau Tantangan.” Buku ini diterbitkan tahun 1998 dan diterbitkan P.T.Penebar Swadaya dibantu Kedutaan Besar Irak di Jakarta. Sangat disayangkan, B.M. Diah sudah tentu tidak sempat membacanya, karena terbitnya buku ini, B.M. Diah telah meninggal dunia 10 Juni 1996, di Jakarta (usia 79 tahun). (Penulis wartawan senior tinggal di Jakarta)