Oleh Zita Anjani
Menyambut Dirgahayu Indonesia, saya berharap ini menjadi refleksi pendidikan kita kedepannya. Para pahlawan, dan Bapak Pendidikan kita mengharapakan agar setelah merdeka, anak bangsa bisa terlepas dari belenggu kebodohan, dan bisa merasakan pendidikan yang setara.
Momentum kali ini, saya ingin mengingatkan sekali lagi akan kondisi pendidikan kita hari ini. Seolah pendidikan hanya di peruntukkan bagi mereka yang mampu. Mirip seperti zaman penjajahan dahulu kala, yang kurang ekonomi, harus bersusah payah untuk belajar.
Tidak meratanya akses pendidikan, menyebabkan kesetaraan yang di impikan founding father kita ikut terkubur bersama jasadnya. Penerus bangsa yang di harapkan, tidak mampu menunaikan hajat yang di titipkan padanya.
Covid-19 seolah di hadirkan untuk menunjukkan siapa yang peduli dan siapa yang tidak peduli? Indonesia tidak kehabisan orang pintar, punya banyak orang kaya, tapi sayang, masih ada rakyat yang menderita di sekelilingnya. Memang butuh kepedulian untuk lebih peka, bahwa masih ada orang tua yang terbebani karena kuota, dan masih banyak keluarga yang tidak memiliki gadget.
Beberapa waktu lalu, sempat ada polemik mengenai Merdeka Belajar. Tapi saya rasa masalah merk dagang dari PT. Cikal sudah selesai, Mba Najeela berbesar hati memberikan itu dengan cuma-cuma. Yang harus kita soroti, apakah merdeka belajar bisa di berlakukan nasional?
Yang saya pahami, Merdeka Belajar itu datang dari Montessori Methods, salah satu Learning Methods tertua di dunia. Jadi Merdeka Belajar itu adalah metode belajar, bukan visi misi sebuah system pendidikan di Indonesia. Ada buku From childhood to adolescence karya Dr. Maria Montessori, metode merdeka belajar sudah lengkap disitu.
Perlu dipahami juga, Cikal menjadikan Merdeka Belajar karena mereka sudah punya SDM, punya akses, dan infrastrukturnya sudah siap. Ruang lingkupnya hanya di situ saja. Sehingga mudah untuk menerapkan merdeka belajar.
Sama seperti sekolah swasta lainnya, banyak yang sudah sukses menerapkan metode ini. Kalau Mas Menteri mau nasionalkan, harus lengkapi 3 komponen itu terlebih dahulu, SDM, infrastruktur, dan juga akses. Ketiganya harus ada, kalau belum, maka lengkapi terlebih dahulu, kita juga masih kurang kurikulumnya.
Merdeka Belajar bisa tercipta ketika infrastrukturnya bagus, SDMnya (guru) bagus, dan aksesnya bagus, serta di dukung kurikulum yang menunjang.
Kalau di lihat keterangan Mas Menteri, beliau ingin pemikiran anak muda dapat merdeka, sehingga bisa mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik, jelas tujuannya ekonomi. Saya berharap Merdeka Belajar tidak keluar dari harapan Ki Hajar Dewantara yang tertuang dalam UU 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional. Tentu yang utama adalah nilai intelektual tinggi yang berlandaskan Pancasila. (Penulis Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta)