Oleh Dasman Djamaluddin
Sejauh ini Thailand merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah kolonial. Warga Thai sangai bangga akan warisan historisnya.
Jika ada hubungan dengan Inggris dan Prancis sejak Abad ke-18, itu hanyalah semata-mata hubungan dagang.
Orang Thailand, yang memiliki sebutan Muangthai atau Siam itu, merupakan hasil pembauran bermacam-macam etnis.
Thailand negara yang menyeimbangkan antara tradisi dan modernisasi. Dulu, untuk menggambarkan tradisi dan modernisasi di negara tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari masih dijunjung tingginya lembaga kerajaan di Thailand waktu itu.
Raja selalu tampil menjembatani jika terjadi pertikaian politik di dalam pemerintahan. Di Thailand sering terjadi kudeta militer. Kudeta yang sering terjadi meninggalkan luka mendalam buat rakyat Thailand. Boleh dikatakan dalam waktu 54 tahun saja telah terjadi 15 kudeta dan delapan di antaranya gagal.
Meski pihak sipil sering memegang kekuasaan seperti mantan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dan kakaknya itu, bukan berarti Thailand bebas dari bayang-bayang penguasa militer. Lihatlah militer Thailand kembali lagi menggantikan mantan Perdana Menteri Yingluck.
Sekarang yang menjadi Perdana Menteri Thailand, adalah Jenderal Prayuth Chan-ocha. Ia merupakan perwira Angkatan Bersenjata Thailand. Sejak Oktober 2010, menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Thailand dan ketua dari Army United Football Club. Saat ini ia menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand ke-29 dan kepala Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban.
Tetapi sekarang, sikap rakyat Thailand mulai berganti. Warga Thailand terus berdemo menuntut reformasi terhadap monarki raja.
Raja Thailand sekarang, yaitu
Maha Vajiralongkorn dan istrinya Ratu Suthida resmi dinyatakan sebagai raja dan ratu di Grand Palace, Bangkok, Sabtu, 4 Mei 2019, tahun lalu.
Seusai dilantik, ribuan orang turun ke jalan melakukan aksi protes terbesar di Thailand sejak kudeta tahun 2014, Sabtu 14 Desember 2019.
Memang aksi unjuk rasa ini tidak langsung berkaitan dengan raja waktu itu, tetapi meningkat ke unjuk rasa menentang kebijakan raja.
Aksi unjuk rasa tahun 2019 terjadi setelah penguasa melarang partai yang mengadakan unjuk rasa menentang pemerintahan mantan pemimpin militer Prayuth Chan-ocha.
Unjuk rasa di Bangkok, yang diserukan sehari sebelumnya oleh Thanathorn Juangroongruangkit, pemimpin partai Future Forward membangkitkan ingatan kembali akan aksi-aksi unjuk rasa massal yang berlangsung secara periodik di Ibu Kota Thailand itu selama pergolakan politik dua dekade lalu.
Tak ada tanda usaha untuk menghalangi unjuk rasa terbesar itu sejak Prayiuth merebut kekuasaan tahun 2014 dengan janji mengakhiri kekisruhan seperti itu.
Unjuk rasa belakangan ini terjadi sebagai protes pelantikan Raja Thailand dan pertama kalinya terjadi terhadap raja.
Senin, 3 Agustus 2020, muncul aksi protes anti-pemerintah Thailand menuntut reformasi terhadap monarki Raja Maha Vajiralongkorn tersebut. Itu terjadi setelah raja naik takhta pada 2016 dan yang membuat masyarakat Thailand melakukan unjuk rasa, karena istana melakukan revisi konstitusi baru yang memberinya kekuatan darurat yang lebih besar.
Terlihat di berbagai televisi, ada sekitar 200 pengunjuk rasa berpakaian seperti penyihir fiksi Harry Potter dan karakter lain ketika melakukan protes atas kekuasaan raja. Mereka mengenakan kostum tersebut sebagai referensi untuk menghilangkan ketidakadilan di bawah pemerintah yang didukung militer.
Juga terlihat seorang perempuan mengenakan kostum ala film Harry Potter saat mengikuti aksi unjuk rasa di Bangkok, Thailand, 3 Agustus 2020. Para pengunjuk rasa pro-demokrasi mengenakan kostum ala film Harry Potter lengkap dengan tongkat sihir saat mengikuti aksi unjuk rasa tersebut.
Raja Maha Vajiralongkorn sejak dilantik, segera mengambil kendali pribadi atas beberapa unit tentara dan aset istana senilai puluhan miliar dolar.
Unjuk rasa di Thauland, sah-sah saja. Tetapi undang-undang negara tersebut menjelaskan, bagi siapa saja yang mencemarkan nama baik Kerajaan, maka dapat dihukum hingga 15 tahun penjara di bawah undang-undang ‘lese majeste’ Thailand.
Dalam hal ini, seorang pengacara dan salah seorang pengunjuk rasa, Anon Nampa, menyatakan, istana mengambil kekuatan terus membesar yang merusak demokrasi dan tidak melakukan tindakan dalam menghadapi serangan terhadap penentang pemerintah Perdana Menteri, Prayuth Chan-ocha.
Beberapa aktivis Thailand mengeluh penggunaan kekuatan oleh pihak berwenang dengan setidaknya sembilan tokoh oposisi yang tinggal di luar negeri telah menghilang dan dua ditemukan tewas.
“Membicarakan hal ini bukanlah tindakan untuk menjatuhkan monarki, tetapi untuk memungkinkan monarki itu ada di masyarakat Thailand dengan cara yang benar dan secara sah di bawah monarki yang demokratis dan konstitusional,” kata Anon kepada kelompok sekitar 200 orang di Monumen Demokrasi Bangkok.
Para mahasiswa dari universitas Mahanakorn dan Kaset juga meminta pihak berwenang untuk mendengarkan para pengunjuk rasa. Mereka meminta untuk mereformasi hukum ‘lese majeste’ yang melarang kritik terhadap monarki.
Polisi tidak membubarkan aksi unjuk rasa tersebut tetapi menyatakan setiap dugaan pelanggaran akan diselidiki. Wakil juru bicara pemerintah, Ratchada Thanadirek, mengatakan menyerahkan proses kepada kepolisian terhadap para pengunjuk rasa.
“Pemerintah ingin para pemrotes muda mematuhi hukum sehingga mereka dapat terus menggunakan hak mereka untuk membuat tuntutan mereka dan negara dapat tetap damai,” kata Thanadirek.
Petugas polisi, Surapong Thammapitak, mengatakan belum bisa menentukan pelanggaran yang telah dilakukan oleh demonstran. “Setiap pelanggaran berdasarkan hukum apa pun akan diproses untuk para penyelidik,” ujarnya.
Jadi, bukan berarti tidak dilakukannya penangkapan-penangkapan oleh polisi, bukan tidak mungkin dalam beberapa hari ke depan, akan ada penangkapan. Lebih penting dari itu, aksi unjuk rasa ini tidak mengubah dukungan militer kepada raja. (Penulis wartawan senior tinggal di Jakarta)