Jakarta. Koranpelita.com
Program Organisasi Penggerak (POP) yang digagas Kementerian Pedidikan dan kebudayaan 10 Maret 2020 menuai polemik. Berdampak mundurnya sejumlah organisasi masyarakat dan organisasi pendidikan.
Alasannya selain tidak sejalan dengan semangat perjuangan pendidikan juga tidak efektif dalam kondisi pandemi Covid-19.Terlebih dalam proses seleksi/rekruitmen penerima dana hibah POP tidak transparan. Terbukti hasil seleksi tersebut diketahui dua yayasan yang terafiliasi ke perusahaan besar, yakni Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto.
Akibatnya tiga organisasi menyatakan mundur, yaitu Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU), dan Persatuan Guru Republik Indonesia ( PGRI).
Secara sepintas program ini kurang tepat karena yang disuport adalah lembaga yang notabe kongkomerat dan lembaga bisnis.
“Semestinya terbalik harusnya mereka penyumbang ke masyarakat atau pemerintah malah mendapatkan dana hibah yang cukup besar dirasa kurang tepat, ini yang menjadi pertimbangan beberapa kalangan pendidikan/ormas seperti Muhammadiyah yang sudah malang melintang didunia pendidikan menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak,” ujar Prof Sumaryoto selaku Rektor UNINDRA kepada KORANPELITA.COM, Rabu (05/08/2020).
Disinggung tentang perlunya program POP ditinjau ulang/evaluasi itu wilayahnya ada di otoritas pemerintah perlu atau tidaknya ditinjau ulang.
“Kalau pemerintah mau mendengar masukan/usualan dari masyarakat dan lembaga pendidikan lain sebaiknya ditinjau ulang karena yang lebih tahu adalah masyarakat dibanding pemerintah” terangnya.
Menurut Sumaryoto Program Organisasi Pemerintah yang digagas Mendikbud harus melibatkan masyarakat dalam proses seleksi penerima dana POP tersebut supaya transparan dan tepat sasaran.
“Proses seleksi penerima dana POP bersumber APBN harus melibatkan masyarakat pendidikan yang sudah berpengalaman seperti Muhammadiyah, ” tandasnya.(s handoko)