Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
PADA harmoni kehidupan, saat ini masih belum selesai perang melawan virus korona. Kendatipun tak lagi dipublikasikan secara gencar, banyak kawasan kabupaten/kota di tanah air yang masih gencar memberantas korona. Korban masih berjatuhan. Di tengah gencarnya melawan korona ini, topografi memsuki musim kemarau. Saat yang mennggelisahkan dan tidak mengenakkan hadir, ditandai dengan keringnya cuaca, yang berarti potensial memunculkan Karhutla.
Untuk ini, kendatipun masih belum muncul titik api yang secara massif memunculkan kebakaraan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kota di seluruh wilayah tanah air yanhgmemiliki Kawasan hutan sedang gencar bersosialisasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) kepada masyarakat, khususnya untuk wilayah pedalaman. Secara teknis bentuknya tidak hanya sosialisasi kepada masyarakat di desa-desa, namun yang nampak istimewa dari upaya pencegahan di musim korona ini adalah menjalin kerjasama dengan perusahaan untuk menyosialisasikan pencegahan kebakaran lahan.
Kerjasama Bahu Membahu
Untuk itu, mengulangi apa yang dilakukan musim kemarau 2016, empat tahun yang lalu dipetakan untuk semua desa dan kecamatan diaktifkan kembali, dengan memacu semangat mempersiapkan diri menghadapi Karhutla. Intinya menyegarkan pikiran untuk kembali mengantisipasi kebakaran lahan sejak dini. Dimaklumi, bahwa Karhutla substansinya bukan semata tanggung jawab pemerintah tetapi merupakan tanggung jawab bersama warga, dan tentu saja perusahaan pengelola sektor kehutanan yang paling besar andilnya dalam mengambil potensi hutan.
Dalam kaitan ini, Pemerintah Daerah bersama instansi terkait makin gencar mensosialisasikan bahaya kebakaran lahan dan hutan. Harapannya agar kesadaran dan kepedulian masyarakat meningkat sehingga tidak ada lagi yang membakar lahan dan hutan. Upaya ini berbasis masyarakat karena masyarakat memang harus dilibatkan agar hasilnya maksimal.
Catatan Covid 19
Upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada kemarau tahun ini tampaknya mendapatkan tantangan cukup berat. Tak hanya bersamaan dengan masa pandemi COVID-19, yang mendasar justru terjadi pemotongan anggaran. Angka persisnya, dari anggaran Direktorat Pengendalian Kebaharan Hutan dan Lahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hanya Rp34 miliar dari Rp56 miliar, dalam anggaran 2020, berarti ada pengurangan Rp22 miliar. Sekaitan dengan hal ini, KLHK fokus penanggulangan Karhutla pada tujuh provinsi prioritas, yakni, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Meski terjadi pemotongan anggaran, bagaimanapun upaya penanggulangan tidak boleh kendor, dan justru harus ditingkatkan. Pencegahan dan penanggulangan harus tetap menjadi prioritas yang didasarkan pada kesadaran bahwa mencegah lebih utama dari memadamkan. Di samping faktor biaya, akibat dari hal itu juga relatif lebih ringan.
Bahwa sebagai akibat COVID-19 ini, semua pihak mereposisi fokus ke COVID-19, apa lagi dengan masuk dan datangnya musim kemarau. Karena semua sumber daya manusia, sumber daya keuangan, peralatan bergeser dan konsentrasi pada pemberantasan virus korona. Untuk iktu, wajar jika kerjasama bahu membahu lebih ditingkatkan, dan seluruh komponen masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar areal hutan untuk waspada dan tetap menangani Karhutla tahun ini. Pengendalian Karhutla, katanya, secara teknis di lapangan, penegakan hukum, teknologi dan lain-lain harus jalan dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Sebagai akibat pemotongan anggaran untuk menangani Karhutla ini, memang dirasakan sangat berat khususnya untuk Darkathutla (pengendalian kebakaran hutan dan lahan). Secara institusi, manakala dikerjakan sendiri kendatipun leading sectornya adalah pihak institusi kehutanan akan terasa semakin berat. Untuk itu, kerjasama secara komprehensif dari seluruh komponen sektor kehutanan merupakan hal yang mutlak dilaksanakan. Sinergi dalam semua lini dari hal hal yang selama ini menjadi simpul munculnya titik Karhutla harus diwaspadai secara sungguh sungguh.
Kondisi di atas bukannya tanpa didasari oleh pihak pengelola yang bertanggungjawab terhadap keabadian hutan. Untuk itu secara konseptual juga dilakukan pengkajian secara cermat dan ilmiah. Dari kecermatan ini kemudian melahirkan paradigma pencegahan yang menunjukkan perubahan, khususnya dalam masa dua tahun terakhir.
Jika sebelumnya, porsi Pusat dan Daerah dengan komposisi 70:30, saat ini berbalik jadi 30:70. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa Daerah justru yang paling pamah mengenai topografi dan kondisi obyektif yang ada di wilayah seara konkret. Untuk itu, secara terpola, KLHK bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan BMKG secara bersama mengupayakan pencegahan kebakaran dengan menggelar teknologi modifikasi cuaca dengan hujan buatan. Selain itu, KLHK bekerja sama dengan kementerian, lembaga serta swasta untuk ambil bagian dalam pengendalian Karhutla. Hal ini menjadi kinerja yang dipolakan sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya konkret yang terstruktur di tengah pandemi korona.
Berdasarkan topografi, wilayah Riau jadi salah satu prioritas karena provinsi ini memiliki dua puncak kemarau dan Karhutla sudah terjadi pada Januari 2020. Selain Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat jadi fokus penting karena memiliki lahan gambut dan kalau terbakar kabut asap bisa berpotensi melintas ke negara tetangga. Sementara untuk wilayah Kalimantan Tengah dan Kalsel yang memiliki wilayah gambut, diprediksi memiliki potensi kemarau sangat kering. Begitu juga Kalimantan Timur, lahan gambut berpotensi alami kebakaran spontan kalau suhu panas. Kondisi ini, katanya, karena lahan di wilayah itu memiliki cadangan batubara.
Selain tujuh provinsi prioritas ini, ada enam wilayah lain yang jadi perhatian seperti Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, Lampung dan Papua.
Peran pemerintah daerah
Secara administratif Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingatkan seluruh Kepala Daerah dengan wilayah rentan Karhutla untuk waspada dan siaga, apalagi kondisi ini terjadi pada masa pandemi. Berdasarkan data BNPB, sejak awal Januari hingga 31 Mei saja sudah terpantau 123 kali Karhutla di berbagai daerah. Untuk peringatan dini dan kesiapsiagaan menghadapi ancaman bahaya Karhutla mengingat sudah memasuki kemarau dengan puncak pada Agustus 2020.
Di dalam upaya mentralisasi Karhutla ini, Pemerintah Daerah tetap harus melakukan sosialisasi dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Demikian pula harus senantiasa diwaspadai dampak asap Karhutla yang membahayakan warga. Untuk ini;lah, urgensinya Langkah konkret secara tepat yaitu identifikasi wilayah administrasi di kabupaten dan kota yang berpotensi rawan bencana kekeringan pada puncak kemarau Agustus 2020. Identifikasi merujuk pada intensitas curah hujan yang tersebar di 189 wilayah di 15 provinsi memiliki risiko kekeringan.
Intinya bahwa semua pihak harus mempersiapkan diri dengan kewaspadaan tinggi terkait dengan musim kemarau yang berpotensi memunculkan Karhutla tahun 2020 ini. Puncak yang diprediksi Agustus 2020 ini tidak dipandang sebagai sebuah rutinitas, tetapi benar benar menjadi momentum kewaspadaan, apa lagi pandemi korona masih belum usai. (Penulis Notaris tinggal di Sampit)