Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
PADA tanggal 1 Juli dikenal sebagai hari Bhayangkara, atau hari kepolisian Republik Indonesia. Banyak hal yang bisa direnungkan, tentang eksistensi atau keberadaan dari Polri kita di hari ulang tahunnya yang ke 74 ini. Perjalanan suka duka, ibarat jalan naik turun sudah dilalui oleh Polri, dalam rangka mewujudkan Kamtibmas, atau Keamanan dan Ketertiban dalam Masyarakat sebagai tugas pokoknya.
Satu diantara terpenting dari perjalanan Polri yang sudah ke 74 ini adalah kinerja Polri ketika menghadapi virus korona yang sampai sekarang masih dalam masa pandemi dan belum pulih sepenuhnya. Kinerja Polri memang cenderung pasif dalam arti sebagai kinerja professional masalah virus ini menjadi ranah kinerja aparat atau institusi kesehatan. Namun demikian pada dasarnya kinerja Pollri dalam rangka menjaga Kamtibmas tetap mengawal kinerja para aparat, khususnya di lapangan berkait dengan kinerja aparat dimaksud.
Harus Taat Asas
Secara normatif Ada asas penting yang harus secara professional dijadikan dasar dalam kinerja Polri, khususnya ketika memulai tugasnya yaitu asas praduga tak bersalah. Pada asas demikian merupakan elemen penting di dalam proses penanganan sebuah peristiwa yang berpotensi terjadi pelanggaan hukum sebagaimana diatur secara universal dalam Declaration of Human Rights (vide article 11 ayat 1 dan article 5) maupun dalam aturan yuridis hukum positif Indonesia (vide UU Kekuasaan Kehakiman yo KUHAP) sebagai master piece anak bangsa ketika berhadadpan dengan masalah hukum.
Manifestasi adanya asas praduga tak bersalah adalah adanya perlakuan yang manusiawi serta pemenuhan hak hak warga yang dinilai mengganggu ketertiban dan keamanan sesuai dengan aturan yang berlaku. Tidak ada intimidasi, pemaksaan dan kekerasan kepada warga masyarakat, termasuk tersangka yang harus diperlakukan secara manusiawi karena belum tentu bersalah. Posisi Polri adalah sebagai pamong, dan oleh karena itu sifatnya adalah momong masyarakat.
Di dalam konteks profesionalitas, dalam menghadapi merebaknya virus korona ini kita bisa menilai bahwa kinerja Polri sudah on the track. Artinya Ketika mulai sosialisasi untuk menerapkan standar protokol kesehatan misalnya, sifat untuk mengedepankan edukasi nampak menonjol. Demikian pula ketika keluar Maklumat Polri untuk menerapkan protokol kesehatan dimaksud, justru Kapolri yang mengeluarkan inisiatif untuk membuat maklumat. Pada hal secara administraif harusnya pihak pemangku kewenangan kesehatan yang harus mendahului. Tetapi itu tak masalah, justru kepekaan terhadap kondisi masyarakat yang nampak mengemuka, dalam kaitan dengan penerapan protocol kesehatan dimaksud secara tepat didahului oleh Polri dengan mengeluarkan Maklumat Kapolri dimaksud.
Sekaitan dengan hal ini, nampak bahwa secara konseptual menunjukkan di dalam proses kinerja yang dilakukan Polri khususnya untuk menegakkan hukum dan menciptakan ketenteraman dan ketertiban lebih memahami terhadap situasi dan kondisi masyarakat. Aspek yang dijadikan sebagai dasar dalam menghadapi wabah virus ini mengedepankan aspek edukasi yang memang dalam mewujudkan ketenteraman dan ketertiban masyarakat harus dikedepankan protokol yang bersifat edukatif.
Pengingat
Sebagai catatan dalam proses penegakan hukum, khususnya tindakan berbais profesionalitas, kinerja Polri harus berujung di pengadilan. Apapun pelanggaran yang dilakukan warga masyarakat sebagai basis kinerjanya, harus dilakukan dengan tidak mengandalkan kekerasan. Sampai kepada dibawanya ke persidangan untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seorang atau sekelompok warga yang dinilai mengganggu ketertiban dan keamanan.
Secara normatif dalam proses peradilan pidana yang belangsung selama ini, ada 2 model kecenderungan sebagai model di dalam proses pidana yang dimulai dari pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket) yang merupakan dasar alat bukti berlanjut ke penyidikan hingga penjatuhan vonis dan dilanjutkan eksekusi sebagai puncak dari proses peradilan pidana. Pertama dikenal dengan Due Process Model (DPM) dan kedua dikenal dengan Crime Control Model (CCM).
Pada DPM lebih mengutamakan pada perlindungan terhadap hak asasi warga masyarakat dalam proses prosedural, mulai pemeriksaan sampai eksekusi. Mulai dari proses awal sudah harus memenuhi aturan formal sebagaimana digariskan untuk itu. Jika tidak, misalnya ada cacat di dalam proses pelaksanaannya maka seluruh proses yang dengan susah payah dilaksanakan dianggap gagal karena tidak sesuai dengan hukum. Untuk itu penyidik harus mempertanggungjawabkan kesalahan prosedur itu. Hak asasi tersangka dihormati sebagaimana layaknya sampai keputusan hakim benar-benar menyatakan kesalahannya.
Model CCM mengutamakan efisiensi. Di sini yang penting adalah terungkapnya kasus pelanggaran hukum. Hal ini berangkat dari acuan pragmatis dan sesuai dengan perkembangan masa yang serba praktis sehingga tindakan apparat penegak hukum (dalam hal ini Polri) ibarat sebuah mekanisme yang berlangsung tanpa pendekatan kemanusiaan. Model ini terinspirasi dan menjadi dasar kinerja karena keterbatasan tenaga penyidik beserta alat perlengkapannya.
Di dalam model CCM penyidik menerapkan asas praduga bersalah (presumption of guilt). Aplikasinya begitu menangkap warga masyarakat, penyidik sudah menaruh keyakinan bahwa orang tersebut memang benar-benar bersalah sampai kemudian ada bukti lain khususnya yang diajukan oleh warga yuang bersangkutan yang menunjukkan sebaliknya. Namun di dalam praktik tidak jarang kendatipun sudah diajukan tetapi tidak digubris bahkan cenderung dijadikan sebagai alibi yang memperkuat kesalahan tersangka.
Kendatipun sangat mungkin terjadi pelanggaran di dalam proses penerapan protokol kesehatan, nampak bahwa proses normatif yang seharusnya diterapkan oleh Polri tidak mengedepankan kinerja demikian, khususnya ketika menghadapi pandemi korona. Hal ini yang kiranya menjadi catatan penting dalam kaitannya dengan kinerja Polri mengawal secara keseluruhan terhadap denyut sosial yang berpotensi melahirkan perbuatan melanggar hukum untuk mengedepankan pendekatan edukasi.
Bravo Polri, Dirgahayu, Bhayangkara. (Penulis, Notaris tinggal di Sampit)