Sudah lebih seperempat abad ini, setiap usai sholat, doa utama saya adalah doa untuk bapak simbok, bapak ibu mertua, serta Rita dan Ted. Mereka adalah tiga pasang orangtua, yang menempa saya dalam waktu berbeda. Tempat berbeda,serta cerita yang juga berbeda. Bapaak-simbok di Nganjir, bapak-ibu mertua Cirebon, dan Rita-Ted di Amerika.
Dan kali ini, saya masih akan melanjutkan cerita tentang Rita dan Ted. Dialah, my parents in United State of America.
Petang menjelang. Kala itu masih di hari perdana di rumah The Powell Family setelah makan malam. Saya bersama Ted mengajak jalan Woody dan Nelson, dua anjing ber-ras greyhound. Tak biasa angon anjing, saya harus beradu cepatdengan Woody dan Nelson. Lumayan ngos-ngosan, tapi membuat tubuh lebih segar. Dulu, di Nganjir, saya juga biasa angon. Tapi bukan angon anjing, melainkan sapi, sesekali.
Saya sebut sebagai petang untuk menggambarkan waktu, bukan suasana. Matahari memang masih terlihat, tapi waktu sudah menjelang pukul 19.30 waktu Oregon. Sementara matahari tenggelam 15 menit menjelang pukul 20.00.
Selesai membahagiakan Woody dan Nelson, kami (Rita, Ted, dan saya) melanjutkan cerita. Cerita mereka dan cerita saya. Tentang asal usul, Rita dan Ted yang mengejutkan. Ted, ternyata dari Irlandia.Sedangkan Rita dari Italia. Semoga tidak tertukar atau salah menangkap mengingat bahasa Inggris masih ber-TOEFL rendah.
BACA JUGA NKS Menulis Corvallis-1: Tirakat hingga Amerika Serikat
Tentang hobi mereka. Mereka gemar sekali membaca buku. Sambil berjemur di bawah terik matahari atau waktu santai lainnya, buku menjadi menu yang tak boleh ketinggalan.
Yang agak mengejutkan saya, mereka sangat konservatif dengan tidak memiliki televisi. Pengaruh negatif televisi mungkin yang ingin mereka cegah, terutama untuk kedua putrinya. Maksud lain bisa jadi ingin banyak berinteraksi, bukan asyik menikmati sendiri acara yang diminati.
Tentu saya herus mengucap terimakasih, entah harus dengan kata seperti apa, untuk kerelaan Rita dan Ted menerima saya. Terimakasih yang sampai hari ini, seperti belum cukup menutup jasa mereka, dalam sepotong fase hidup saya.
Sejak pertama berkenalan, saya sudah tertarik meneliksik kisah di balik kerelaannya menjadi volunteer OSU. Perannya sebagai host family, sudah pasti, membuat mereka banyak keluar tenaga dan biaya. Toh, Rita dan Ted tetap tampil menjadi host family, setiap dua tahun sekali.
Dalam percakapan santai, terungkap bahwa Rita dan Ted ingin membantu mahasiswa baru beradaptasi di lingkungan yang mungkin sangat berbeda dengan negara asalnya. Tapi di balik itu, ada ketertarikan yang besar, pada budaya negara lain melalui mahasiswa yang tinggal tiga hari bersamanya.
Jadilah saya bercerita tentang Indonesia, negeri yang indah permai, toto titi tentrem, gemah ripah loh jinawi. Negeri adil Makmur dengan gugusan pulau yang panjangnya dari barat ke timur hampir sama dengan ukuran Amerika Serikat. Bedanya adalah Indonesia lebih banyak diisi oleh lautan dibanding dengan daratan.
Jumlah pulau pun saya ceritakan hingga lebih dari 17.000 pulau baik yang bernama atau yang belum diberi nama, yang berpenghuni dan yang tidak berpenghuni. Ini pula yang menjadikan bahasa yang digunakan, budaya yang berkembang, makanan, tarian dan lain sebagainya beragam-ragam.
Pantai yang indah terhampar dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia, juga saya kisahkan, dengan sedikit bumbu penyedap agar mantap. Tapi yang paling saya lebih-lebihkan adalaha soal musim di Indonesia. Musim yang sangat nyaman dan memabukkan tanpa ada kondisi ekstrim dingin atau ekstrim panas.
Saya juga bercerita tentang Jogjakarta dengan berbagai keistimewaannya. Sangat istimewa karena di situ Kulon Progo berada, my hometown. Tentu cerita ini membuat Rita dan Ted tertarik untuk suatu saat berwisata ke Indonesia. Rasanya saat itu saya pas menjadi duta pariwisata Indonesia.
BACA NKS Menulis Corvallis-2: Nganjir, Mimpi Pertama di Amerika
Cerita cukup sampai di situ karena hari sudah diselimuti malam. Rita dan Ted memberi pelukan dan ucapan “good night” yang artinya selamat tidur. Herannya walau pelukan Rita dan Ted menenangkan jiwa, mata tak mau untuk dipejamkan dalam tidur.
Tak sedikitpun ada rasa kantuk dan ini yang justru menyiksa. Mungkin begini namanya “jetlag” itu. Memang di Indonesia bekebalikan dengan di Amerika Serikat. Malamnya di USA berarti siangnya di Indonesia.
Lapar menghantui malam saya malam itu. Saya mencoba ke dapur dan memanaskan air untuk minum serta mencari makanan yang mungkin tersedia. Subuh datang saya pun tak juga kunjung bisa memejamkan mata.
Setelah sekitar pukul 05.15, akhirnya saya terlelap. Ketika matahari sudah agak meninggi, saya bangun agak gragapan. Rita sudah siap di meja makan untuk sarapan dan mengingatkan acara yang sudah dirancang. Saya minta maaf kesiangan, karena tak mampu memejamkan mata semalaman. Rita seolah sudah terbiasa dengan kejadian yang menurut saya memalukan. Ia paham jika beda waktu, tak mudah untuk langsung badan bisa menyesuaikan.
Saya mandi secepat kilat dan berdandan serapi mungkin. Nah saatnya sarapan pagi yang tentu bukan nasi. Setelah itu, Rita membawa saya untuk mengenal lingkungan kampus. Saya ditunjukkan nama gedung-gedung kampus tanpa mendokumentasikan dalam foto saat itu. Tahun itu sekali lagi belum dikenal smartphone.
Rita sangat hafal kampus OSU yang dibangun 100 tahun sebelum tahun kelahiran saya ini. Gedung Memorial Union dengan hamparan rumput yang lapang di depannya, gedung jurusan matematika, gedung rektorat, letak asrama mahasiswa dimana saya akan tinggal mulai akhir bulan, kantin mahasiswa, dan sebagainya.
Tentu saja Rita mengenal baik kampus OSU lantaran ia memang mengajar di sana sebelum memutuskan untuk pensiun lebih awal.
Saya pun ditunjukkan sebuah apartement sederhana tak jauh dari kampus yang akan saya tinggali setelah 3 hari dengan host family sampai dengan asrama mahasiswa dibuka. Selama liburan musim panas, asrama mahasiswa ditutup lantaran sebagian besar mahasiswa kembali ke kota kelahirannya atau bekerja.
Masa orientasi lingkungan dilanjutkan dengan membuka rekening bank ke sebuah credit union. Tentu saja memiliki rekening bank sangat esensial untuk berbagai macam transaksi finansial. Termasuk untuk menerima transferan beasiswa tiap bulannya.
Saya ingat setelah membuka rekening saya dimintai alamat tempat tinggal agar bank bisa mengirimkan cek. Saat itu cek (cheque) menjadi alat pembayaran yang sangat praktis yang tentunya perlu terlebih dahulu membuka rekening bank.
Urusan membuka rekening telah selesai. Nama saya yang hanya satu kata menjadi pertanyaan petugas bank yang terlihat heran. Selanjutnya Rita menunjukkan masjid yang berada tak terlalu jauh dari kampus. Lebih tepatnya masjid itu disebut Islamic Center of Corvallis. Berada di pinggir jalan raya King Boulevard. Ini informasi penting untuk bisa menjalankan sholat Jumat dan ibadah lainnya termasuk tarawih dan sholat ied.
BACA NKS Menulis Corvallis-3: Tiga Hari Bersama Host Family
Rita selanjutnya mengarahkan mobilnya ke supermarket yang lokasinya di dekat Islamic Center of Corvallis. Nama supermarket yang kami datangi Fred Meyer. Rita berbelanja kebutuhan yang akan dimasak siang dan sore nanti.
Walau begitu, saya yakin ada maksud Rita untuk mengajari saya bagaimana berbelanja di Amerika yang cara transaksinya berbeda dengan di Indonesia. Rita benar-benar ibu yang memahami kerisauan hati anaknya agar bisa bertahan hidup dua tahun ke depan. Karena saya tak akan selalu bersama Rita, saya mesti bisa mandiri.
Kegiatan orientasi dirasa cukup. Kami kembali ke rumah the Powel Family untuk memasak dan makan siang. Lagi-lagi saya hanya bisa membantu menyiapkan bahan yang akan dimasak.
Agak malu juga sebenarnya saya tak bisa memasak. Setelah matang dan makan bersama Rita, saya ijin untuk istirahat. Ngantuk berat bukan hanya karena kenyang. Ini efek jetlag yang belum kunjung hilang. Saat itu, di Jakarta sedang tengah malam. Badan masih mengenali kalau waktunya tidur.
Dan benar, saya pulas hingga hampir petang tiba. Buru-buru saya mandi dan membantu Ted menyiapkan menu makan malam. Inilah bedanya bahwa dalam keluarga kewajiban dibagi antara suami istri termasuk dalam menyiapkan masakan. Istri ngambek tak mau masak, tentu tak masalah. Beda dengan saya yang memasak air saja terkadang gosong dan tak bisa diminum.
Rutinitas kembali dilakukan seperti hari kemarin. Setelah makan, Ted dan saya membawa Woody dan Nelson jalan menjelang petang. Tentu Woody dan Nelson bosan jika hanya dikurung walau halaman belakang sangat lapang.
Ketika malam tiba, lagi-lagi acara tidur terkendala. Rasa kantuk yang diingini, sayangnya tak juga menghampiri. Dan, baru pagi saya baru tidur pulas tanpa mimpi. Saya meminta maaf pada Rita karena tak bisa cepat badan ini beradaptasi. Syukurnya, Rita dan Ted sangat memahami.
Akhirnya datang juga hari ketiga atau hari terakhir saya bersama dengan keluarga Rita dan Ted. Berat tentu berpisah dengan keluarga yang sangat baik terhadap saya ini. Tapi ini aturan OSU. Baik saya dan the Powell Family harus mematuhi.
Setelah makan siang kami bersiap untuk ke Corvallis, meninggalkan rumah Rita di Albany. Rita memberikan selimut tebal untuk saya sambil berpesan bahwa selimut ini statusnya dipinjamkan. Nanti jika sudah lulus dari OSU selimut itu dikembalikan. Selimut ini akan diperuntukkan bagi mahasiswa lain seperti saya di tahun-tahun berikutnya.
Selimut tebal nan nyaman itu berwarna biru dengan warna sisi lainnya adalah hitam dan bergaris tebal berwarna putih. Selimut ini yang menyelamatkan saya sehingga terhindar dari kejamnya musim dingin yang menusuk tulang.
Ngringkel di balik selimut dalam dinginnya malam, memang hal yang biasa namun membahagiakan lagi sangat nyaman. Kesendirian di negeri Paman Sam itu akhirnya bukan lagi hal yang menakutkan. Selimut seolah menutupi banyak kerinduan. Kerinduan akan tiga pasang orang tua (bapak-simbok, bapak-ibu mertua, dan Rita-Ted) serta rindu anak-istri yang akan cukup lama tak bisa terobati.
Selimut yang mampu menutupi mata saya agar tak melihat roomate saya, Hiroto Murase, di campus dormitory kedatangan pacarnya. Tentu ini penting, agar tak ada kepengin memeluk pujaan hati yang terpisah oleh jarak ribuan kilometer. (bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS