Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Memasuki Idul Fithri 1441H di tengah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) karena pandemi COVID-19, tentu memiliki makna berbeda bagi umat Islam. Takbir yang bergema bukan lagi terpusat di masjid-masjid, musholla-musholla, tetapi di rumah-rumah, begitu pula shalat Idul Fithri. Kesederhanaan di saat Idul Fithri juga nampak di kebanyakan umat Islam, terutama di lapisan bawah dan juga lapisan menengah, karena memang hidup harus berhemat di tengah perekenomian yang lesu. Juga karena adanya PSBB, tidak banyak aktivitas saling kunjung mengunjungi dari umat Islam untuk bermaaf-maafan yang membuat tuan rumah perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk berpenampilan dengan pakaian yang baru dan mahal serta makanan yang berlimpah untuk para tamu.
Puasa dan kesederhanaan merayakan Idul Fithri 1441H ini karena pandemi COVID-19 sesungguhnya cermin dari kebangkitan masyarakat baru, masyarakat Islam, yaitu kebangkitan kaum sufi baru.
Kaum sufi baru ini adalah nasyarakat Islam yang hidup di tengah Pandemi COVID-19 yang mau tidak mau, siap atau tidak siap, harus mengamalkan ajaran sufi dalam kehidupan sehari-hari agar kehidupannya tetap berjalan (survive), tetap merasakan ketenangan batin dan tetap merasakan kebahagiaan walau dalam keterbatasan, kekurangan fasilitas dan materi. Qana`ah atau merasa cukup, tawakkal atau menyandarkan kepada Allah SWT untuk kepentingannya sehingga melahikan sikap husnudzhan, berperasangka baik kepada Allah SWT atas segala kebaikan dan keburukan yang menimpa dirinya; zuhud; dan wara bukan lagi menjadi ucapan tetapi menjadi perilaku dari masyarakat sufi baru ini.
Namun menurut seorang ulama sufi Betawi terkemuka, yaitu KH Abdurrahim Radjiun bin Muallim Radjiun Pekojan, di dalam makalahnya yang berjudul _Krisis Keimaman dan Keadaban Islami_, bahwa dijuluki Sufi, apabila seorang mu’min, Muslim, muhsin, sungguh-sungguh dengan jujur mengaktualisasi iman, Islam dan ihsannya, dengan menggunakan tolok ukur keteladanan Rasulullah SAW. Karena Sufisme bukan ditandai dengan kekumuhan, kelusuhan, tarian, lirik syair atau sikap kontroversial dan kontraproduktif yang dituduhkan kebanyakan orang. Seorang kepala negara, sultan, raja, perdana menteri, menteri, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, mandor, konglomerat, pengusaha, kyai, ustadz, muballigh, supir, kernet, pedagang kaki lima-asongan, pengamen, ibu rumah tangga, mahasiswa, pelajar atau pengangguran sekalipun, mereka dapat menjadi seorang sufi yang baik, sejauh mengimani dan membuktikan keimanannya bahwa jiwa dan harta mereka adalah dari Allah, diperoleh karena rahmat Allah dan bermanfaat di jalan Allah.
Sufi juga selalu beraktivitas di wilayah Quraniyah dengan mempedomani ayat 9 : 111:
“ Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan jannah (surga) untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah ; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar”
Masih menurutnya, sufi merupakan sosok yang memiliki keadaban Islami, Sedangkan keadaban Islami merupakan Sunnatullah, sebuah gerak dinamika kehidupan yang memiliki kepastian hukum secara Qurani, yang harus dijaga keutuhan pertumbuhan dan perkembangannya oleh setiap pribadi Muslim, dalam mengisi dan memberi nilai murni pada upaya penegakan hukum-hukum Allah di muka bumi. Namun, sufisme bukanlah agama dan tidak akan dijadikan sebagai agama oleh para pengikutnya. Maka keberadaan kaum Sufi di berbagai lini kehidupan sosial dan kebangsaan, tidak menjajakan komoditas atau melakukan launching atau pemasaran produk baru keagamaan. Mereka adalah siapapun yang mewarisi dan hidup segaris dengan Kenabian. Mereka adalah kaum tengah yang santun dan tidak menyemai ambisi kekuasaan.
Akhir kalam, kaum sufi baru ini harus memilki kecerdasan sufistik yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari penggalian, pembangunan dan pengembangan keeadaban Islami. Kecerdasan sufistik ini sangat diperlukan dalam menyikapi tajam keadaan potensialitas-impotensialitas ummat, dengan terus menyeruak ke tengah-tengah masyarakat untuk memberi warna kehidupan yang teduh dan pasti di tengah kegalauan, kegelisahan dan stress yang sedang melanda bangsa ini karena pandemi COVID-19. Selamat Idul Fithri 1441H, selamat datang kaum sufi baru!. (Penulis, Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre)