Hingga hari ini, masih ada duka mendalam. Duka atas kehilangan Mas Didi Kempot yang terlalu terburu-buru, mendadak, dan tiba-tiba. Saya yang baru akan mengenal lebih dekat, sampai semlengeren, kamitenggengen. Tak percaya dengan lelakon ini.
Ada yang menyebutnya Mas Didi terlalu cepat pulang. Ada yang menulis Mas Didi pergi terlampau dini. Entahlah kepergian atau kepulangan yang lebih pas cara penyebutannya, tapi jelas, semuanya menyisakan duka.
Saya percaya Tuhan Maha Tahu siapa yang harus dipanggil terlebih dahulu. Tak harus yang renta dan tak perlu sakit mendera. Sebab semua dalam kewenangan-Nya. Manungso sakdermo nglakoni.
Walau Mas Didi Kempot sudah tiada, namun contoh teladannya tak pernah sirna. Sudah banyak yang menulis perjuangan Didi Kempot yang tak malu mbarang atau ngamen di jalanan. Padahal, di Solo keluarganya adalah seniman terpandang.
Ia pergi dari Solo ke Jakarta berbekal gitar yang dibelinya dari menjual sepeda miliknya yang seharusnya untuk pergi ke sekolah. Tapi ia memilih sekolah di jalanan, di sekitar Slipi. Inilah lelaku, laku tirakat, atau dalam kisah pewayangan sering disebut sebagai topo broto yang akan menjadi bekal Didi Kempot memahat karir.
Didi Kempot muda tak ingin sukses di bawah bayang-bayang nama besar ayahnya atau kakak kandungnya. Tapi sukses karena usaha dan doa lewat laku topo brotonya.
Tradisi lelaku dan topo broto seolah telah mengakar kuat, bahkan di kalangan bangsawan. Jika membaca sejarah, nyaris semua tokoh besar, pernah hidup dalam situasi loro-lopo alias prihatin.
Anak-anak raja di tanah Jawa misalnya, dibesarkan oleh (biasanya) kakek-neneknya, atau guru spiritual bapaknya, sebelum kembali ditarik ke istana untuk dipercaya ikut menggerakkan roda kekuasaan.
Semua itu, bertujuan membentuk karakter, selain memberi tempaan batin, sebelum memetic kejayaan. Dari sini, orang Jawa merasa bahwa lelaku adalah keniscayaan hidup.
Jadi, rasa-rasanya tidak aneh, jika membaca perjalanan hidup Didi Kempot yang memutuskan menjadi pengamen. Menyadari itu, saya lama merenung sebelum akhirnya menuliskan kisah usang ini.
Lalu, saya bawa angan ke masa yang sangat lampau. Apakah saat saya ngarit, gojok (membersihkan bumbung tempat untuk mengambil nira) dan menempuh perjalanan baik dengan berjalan kaki atau paling banter bersepeda dari rumah ke sekolah dan sebaliknya termasuk lelaku yang saya harus tempuh?
Lelaku yang saya mesti dijalani tanpa perlu malu, karena sejatinya ingin bahagiakan bapak dan ibu. Sepertinya memang begitu. Saya tanpa ragu mengakui itu. Lelaku, loro-lopo, topo-broto yang saya lakukan, bahkan hingga ke Amerika Serikat, ketika saya sekolah di sana.
Tulisan kali ini mengenai perjalanan hidup puluhan tahun lalu. Bagian dari menjelajahi sewu kutho. Tulisan ini sekaligus jawaban daripertanyaan SEdulur NKS. Pertanyaan saat saya cerita tentang kuliah di luar negeri di sebuah chanell youtube. Sedulur NKS yang kuliah di UGM itu, menanyakan apa nilai tambah dari kuliah S2 di luar negeri.
Ini, cerita usang memang, yang barangkali tak mesti pas di masa kini. Tapi saya percaya ada detail yang masih relevan, bahkan hingga masa yang akan datang.
BACA JUGA NKS Menulis Jogja-2: Ke Imogiri Dibawa Naluri
Jadi gini. Kita tahu tak punya pilihan untuk dilahirkan oleh orangtua yang seperti apa, di desa atau di kota, orangtua yang berpunya atau nestapa. Dan ketika saya ditakdir terlahir dari seorang simbok di sebuah dusun Nganjir di Kabupaten Kulon Progo, sudah selayaknya rasa syukur meluncur lewat lisan dan tindakan.
Saya tidak bisa membayangkan, seumpama saya terlahir di kota, mungkin saya tak tahu rasa rindu kampung halaman itu seperti apa. Ini hanya satu contoh kecil. Belum lagi cerita tentang memiliki simbok dan bapak yang mendidik tentang budi luhur dan makna sejatinya hidup. Hidup yang bukan melulu soal materi, tapi kemanfaat bagi banyak umat.
Lalu tentang cita-cita. Saat kecil dulu, melihat pesawat melintas di ketinggian, ada pertanyaan besar yang (sebenarnya memalukan) seperti apa pergi jauh naik pesawat terbang. Yang juga memalukan adalah berharap dibagi uang oleh mereka yang berada di pesawat. Montor mabur nyaluk duwit e..
Nah, saat kuliah di Bandung, saya sering mendengar orang disekolahkan oleh negara dan diberi beasiswa. Mimpi masa kecil bangkit kembali. Apalagi selepas lulus kuliah, saya yang masih rajin ke kampus, mengetahui Kementerian Keuangan membutuhkan banyak lulusan jurusan matematika untuk direkrut. Ada iming-iming disekolahkan S2 yang membuat niat menjadi pegawai negeri kian menguat.
Sebuah perlakuan yang istimewa saat saya dan belasan rekan lain mendaftar sebagai pegawai Departemen Keuangan (kini namanya menjadi Kementerian Keuangan). Kebutuhan mendesak sangat dirasa agar tugas Kementerian Keuangan dalam mengawasi industri keuangan non bank khususnya industri asuransi dan dana pensiun.
Perlakuan spesial itu terasa karena meski belum menjadi pegawai tetap sudah diminta bersiap untuk berangkat sekolah S2. Bersiap untuk menjalani tes dan kursus bahasa Inggris untuk mengejar persyaratan dapat diterima sekolah yang bagus.
Tes pertama yang saya ikuti ternyata hasilnya membuat saya mesti gigit jari. Sekitar lima orang terseleksi langsung mengikuti pemantapan Bahasa Inggris tanpa perlu masuk kerja. Sementara itu, saya perlu menyiapkan secara mandiri sepulang dari bekerja.
BACA JUGA Mengejar Rindu ke Kalibiru
Kesempatan kedua yang sering dibilang jarang, akhirnya datang. Dengan penuh drama, saya lulus dan menjalani masa persiapan di PPSDM Kemenkeu yang berlokasi di Kampus STAN yang penuh kenangan. Itu, terjadi tak lama setelah saya menjadi seorang suami. Pelatihan intensif saya jalani, selama satu tahun.
Ketika yang lain mendapatkan tingkat TOEFL yang cukup untuk selanjutnya berangkat ke Boulder Corolado, saya tidak beruntung. Mungkin tidak pas jika saya sebut sebagai keberuntungan, karena ini menyangkut kecakapan dalam penguasaan bahasa. Saya mesti meningkatkan TOEFL dan mencari universitas sendiri tanpa dibantu seperti rekan yang di Boulder tadi.(bersambung)
Nami Kulo Sumarjono, salam NKS