Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
SAAT virus korona mewabah, semua aspek kehidupan jadi berubah. Wabah ini mengubah dunia, sampai kepada performance manusia sebagai penghuninya. Di Indonesia, secara administratif perubahan konerja itu diberi payung hukum oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu No. 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan perekonomian Nasional dan /atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Sebagai turunan dari Perppu dibuatlah Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam, Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid 19). PP ini juga ditetapkan pada tanggal 31 Maret 2019. Secara hirarkhis UU dalam hal ini Perppu setingkat UUU dilaksanakan oleh Peraturan Pemerintah (PP).
Sebagai perangkat teknis kemudian dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres No. 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedarurartan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid 19). Berikutnya disusul dengan Peraturan Menteri, khususnya Keputusan Menteri Kesehatan No. 33 Tahun 2020 Tentang keharusan melaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang akan ditindaklanjuti di seluruh kawasan provinsi di Indonesia.
Ihwal penyamarataan ini kemudian menyulut kontroversi dari berbagai kalangan, karen karakter tiap daerah, yang tidak sama. Apa lagi jika dipetakan sampai ke tingkat kecamatan dan atau kelurahan/desa, kondisinya sangat berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Ada yang zona merah, zona hijau dan sebagainya. Ini permasalahan yang memerlukan klarifikasi Panjang.
Ihwal kinerja Notaris, sebagaiman diketahui didasarkan pada ketentuan pasal Pasal 16 ayat (1) e, bahwa Notaris harus memberi pelayanan sesuai ketentuan kecuali ada alasan untuk menolaknya. Ketentuan ini ketika dihadapkan dengan ketentuan tentang PSBB menjadi bertentangan. Pada satu sisi ada keharusan memberikan pelayanan, sementara pada sisi lain ada keharusan untuk tidak bekerja. Bahwa dalam masa PSBB semua pekerjaan harus dihentikan dan tidak boleh melaksanakan aktivitas kecuali pada aktivitas tertentu yang disebutkan dalam ketentuan peraturan dimaksud adalah benar. Pastinya tidak termasuk pemberian jasa oleh Notaris.
Keadaan Darurat
Kosa kata pembentuk peraturan dipahami sangat terbatas untuk mengatur seluruh aspek kendatipun hanya satu bidang. Untuk itu diperlukan klarifikasi berdasarkan interpretasi tertentu manakala peristiwa konkret terjadi. Legal reasoning (logika hukum) dari pemasalahan ini, yang konkretnya berkisar pada : bagaimana kinerja Notaris pada wilayah yang diberlakukan PSBB, maka jawabnya ditelusuri berdasaarkan norma hukum, kemudian turuannya dalam UU dan Peraturan Pelaksana. Dengan klarifikasi sebagaimana dimaksud kiranya masalahnya menjadi jelas dan tidak membenturkan atau mempertentangkan antar peraturan perundangan, secara vertikal yaitu antara Kepmenkes dengan UUJN.
Di dalam norma hukum ada adagium, “salus populi suprema lex”, keselamatan rakyat adalah hukum yg tertinggi. Bahkan lebih tinggi dari Konstutusi sekalipun. Artinya kondisi obyektif untuk saat ini, ketika dunia dilanda wabah korona dan banyak yang meninggal dunia, maka penyelamatan rakyat adalah prioritas utama.
Apakah Indonesia termasuk kawasan yang memenuhi syarat berlakunya adagium ini?. Secara normatif bisa saja diperdebatkan. Namun sebagian besar orang akan berpendapat bahwa Indonesia termasuk dalam kualifikasi ini. Dengan ini pula pemerintah mengambil kebijakan yang secara administratif kemudian dituangkan dalam ketentuan Peraturan perundangan mulai dari PP sampai kepada Kepmenkes dimaksud. Artinya bahwa secara substansi kualifikasi dari Kepmenkes yang memerinci apa saja yang boleh dijadikan sebagai alasan untuk melakukan pekerjaan dan tidak, itu merupakan ketentuan yang sah dan harus ditaati.
Klarifikasi Lanjut
Membandingkan kinereja Notaris yang diatur dalam UUJN dengan kinereja dokter dan tenaga Kesehatan yang diatur dalam UU Praktik Kedokteran, adalah hal yang secara konkret tidak sebanding. Secara yuridis memang setingkat tetapi secara substansi berbeda. Profesi dokter apa lagi dalam keadaan darurat justru mengharuskan berfungsinya para dokter dan tenaga Kesehatan dalam menolong nyawa manusia. Kondisi darurat benar benar secara konkret berhadpan dengan nyawa manusia. Jika tidak dilakukan pertolongan dipastikan nyawa seseorang akan hilang.
Sementara pada sisi lain, apakah hal yang sama menimpa profesi Notaris?. Klausula bahwa tidak boleh menolak terhadap keahadiran seseorang untuk melakukan hubunga hukum dan mengharuskan Notaris sebagai pejabat publik yang menangani, harus dimaknai negara dalam keadaan aman. Tidak ada kondisi darurat wabah seperti saat ini.
Pelayanan Notaris kepada subyek hukum yang minta pelayanannya masih dapat ditunda. Kalaupun muncul kerugian materi, hal itu lumrah. Sama lumrahnya dengan adanya buah buahan yang busuk di Pelabuhan karena tidak boleh ada kegiatan di kawasan itu sebagai akibat virus korona. Ini prinsip umum. Namun jika secara khusus memang dapat dibuktikan bahwa jasa ini tidak mungkin ditunda, taruhlah semisal seorang yang akan meninggal dunia dan akan membuat wasiat, maka di sini berlaku ketentuan bahwa Notaris tidak boleh menolak memberikan pelayanan kepada subyek hukum yang memerlukan kehadirannya secara fisik di sana.
Dengan demikian sifatnya kasuistik dan tentunya ukuran ukuran demikian dikembalikan kepada nurani sang Notaris tentang peristiwa hukum yang dihadapi. Tetapi dasarnya adalah bahwa sepanjang pelayanan yang diberikan itu dapat dilakukan penundaan maka wajib ditunda, dan kinerja Notaris tunduk kepada Kepmenkes sebagai pihak yang didelegasikan UU untuk menetapkan kawasan tertentu sebagai kawasan yang harus diterapkan PSBB.
Pada tingkat asas hukum, ada asas lex specialis derogat leg generali. Bahwa ketentuan yang khusus mengenyampingkan ketentuan yang umum. Dalam kaitan ini kendatipun tidak selevel, disebabkan oleh substansi kondisi darurat maka Kepmenkes dimaknai sebagai spesialisasi dalam keadaan dariurat. Sementara UUJN merupakan UU yang bersifat umum, dalam substansi ketika wilayah dalam keadaan aman. Kondisi yang jika direkonstruksikan untuk pelaksanaan kinerja ternyata justru membahayakan sang Notaris sendiri, menjadi dasar meggapa UUJN justru diletakkan sebagai UU yang umum.
Umum dalam arti mengatur kondisi yang aman dan khusus mengenai kinerja Notaris. Sementar Kepmenkes itu mengatur keadaan umum, yaitu kondisi darurat sebagai faktor obyektif dan secara khusus megatur profesi dan pekerjaan apa saja yang masih dapat dilakukan pada saat darurat itu. Jabatan Notaris yang bekerja dalam kondisi aman adalah faktor khusus, yang tidak boleh dilaksanakan. Perkecualiannya adalah jika memang ada hal hal yang tidak bisa ditunda, karena sifat yang berhubungan dengan situasi, kondisi yang hanya sekali dan tak akan bisa diulangi lagi. Jika ini yang terjadi, maka kedaruratan boleh dikesampingkan, dan pekerjaan Notaris dapat dijalankan.***