Jakarta, Koranpelita.com
Barisan Relawan Nusantara (Baranusa) menilai hingga kini perhatian pemerintah kepada Pekerja Migrant Indonesia (PMI) masih sangat kurang. Pasalnya, warga negara yang paling banyak menyumbangkan suara untuk Jokowi-Ma’ruf Amin ini masih merasakan penganiayaan hingga siksaan dari majikannya saat bekerja di luar negeri.
Ketua Bidang Advokasi Hukum dan HAM Baranusa, Dato’ Muhammad Zainul Arifin (Dato’) mempertanyakan komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada para PMI. Sebab menurutnya, sejak diubahnya Undang-undang (UU) Nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri menjadi UU Nomor 18 tahun 2007 tentang perlindungan PMI, ia melihat tidak ada langkah kongkrit dari pemerintah dalam melindungi para pahlawan devisa itu.
“Hingga saat ini belum ada kelihatan komitmen pemerintah untuk menjaga dan melindungi Pekerja Migran Indonesia (PMI) yg bekerja di luar negeri. Padahal UU tersebut sudah mengatur bahwa negara wajib meilidungi PMI bahkan sebelum PMI kerja ke negara tujuan, PMI sudah dilindungi dan dilayani pada saat sebagai Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) sebelum berangkat, pada saat berangkat, pada saat bekerja dan kembali lagi ke kampung halaman, negara wajib hadir dan memastikan PMI tetap terjaga dan terlindungi,” ujar Dato’ melalui keterangan tertulisnya kepada wartawan Rabu (11/03/20) di Jakarta.
Direktur Pusat Penyelesaian Permasalah Warga Negara Indonesia (P3WNI) ini juga menyayangkan sikap Presiden Jokowi yang lebih fokus mencari investor daripada memberikan perhatian kepada PMI. Padahal, WNI yang bekerja di luar negeri ini telah memberikan pemasukan kepada negara lewat devisa.
“Sangat disayangkan hingga saat ini komitmen pemerintah tidak kelihatan, karena Jokowi lebih sibuk dengan urusan ekonomi dan memperbayak PMI yg bekerja di luar negeri, Pemerintah berharap PMI manjadi salah satau tulang punggung Devisa negara sehingga terkesan pemerintah menjual Orang dengan cara yang legal. Sebab Berdasarkan data Bank Indonesia, remitansi atau kiriman devisa dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengadu nasib di luar negeri sepanjang 2018 mencapai US$ 10,971 miliar atau setara Rp 153,6 triliun (dengan kurs Rp 14.000/dolar Amerika Serikat). Nilai tersebut naik 25,22% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka yang sangat besar dan tidak ternilai atas apa yg dilakukan pemerintah selama ini terhadap PMI jahu dari rasa keadilan terhadap PMI yang bekerja diluar negeri,” tuturnya.
Selain itu, pihaknya juga menyoroti rencana pemerintah tentang RUU Cipta Kerja yang dimasukkan dalam omnibus law. Menurutnya, omnibus law yang dinilai pemerintah akan membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia sama sekali tidak menyinggung perlindungan terhadap PMI namun hanya bicara penempatan saja.
“Apalagi sekarang Pemerintah disibukan dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang menggabungkan 76 UU mulai dari ketenagakerjaan, perizinan, otonomi daerah, lingkungan hidup dan sampai kepada sertifikasi terdiri dari 1224 Pasal. Barang tentu Omnibus Law ini akan berdampak terhadap PMI karena ada proses perizinan perusaahan penempatan PMI dan ada juga campur tangan pemerintah daerah, kalau dilihat dari 1224 pasal tidak ada meyentuh perlindungan terhadap PMI, hanya bicara penempatan PMI artinya, apa Pemerintah kerjanya hanya nemapatkan orang kerja di luar negeri saja karena tidak sanggup membuka peluang kerja di dalam negeri namun disisi lain Pemerintah abai didalam perlindungan terhap PMI,” kata Dato’.
Lebih jauh, ia mempertanyakan sejumlah fungsi lembaga instansi pemerintah yang bekerja khusus menangani PMI seperti Kemenlu, KBRI, KJRI khususnya BNP2TKI yang sekarang berubah nama menjadi BP2MI. BP2MI, kata dia, terkesan mati suri sejak dipimpin Nusron Wahid, bahkan terkesan tidak bekerja apa-apa dalam memberikan perlindungan terhadap PMI. Sebab itu, pihaknya meminta Jokowi untuk segera melakukan pembenahan di BP2MI serta segera mengganti kepala BP2MI kepada orang atau tokoh yang betul-betul memahami segala persoalan yang ada di tubuh PMI itu sendiri. (djo)