Semarang, Koranpelita.com
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta anak-anak peserta dialog sangat terbuka, saat menyampaikan pendapat dan keluh kesahnya. Sebagaimana yang dialami salah satu siswa SMPN di Semarang dan Melati dari Komunitas Satu Harapan.
Pengungkapan secara terbuka tersebut, dianggap Ganjar lebih baik daripada kelak jadi bom waktu bagi anak.
“Anak-anak begitu terbuka mengekspresikan dan bercerita masalah mereka tentang bullying. Karena kalau ini akumulatif, akan menjadi beban psikologis bagi anak,” katanya.
Ganjar mengatakan, pihaknya telah mengutus seseorang untuk menyelesaikan persoalan tersebut dan memfasilitasi pertemuan antara anak, wali murid, guru dan kepala sekolah. Diharapkan dengan terbukanya ruang komunikasi akan lebih menghangatkan jalinan antara guru dan murid.
“Mudah-mudahan gurunya juga tahu dan berbagi pikiran, kenapa anak itu menjengkelkan bagi guru, dan kenapa sang guru bagi anak itu sangat menjengkelkan. Kalau hari ini mereka bisa menceritakan, mereka juga akan tahu apa yang mesti dicegah, kalimat apa yang tidak boleh keluar, tindakan apa yang tidak boleh dilakukan,” kata Ganjar.
Terkait target PBB untuk menghapus kekerasan terhadap anak pada tahun 2030, Ganjar mengatakan dalam beberapa tahun terakhir program itu telah mengarah ke sana. Namun untuk tahun depan, baik program maupun kebijakan yang berorientasi ramah anak akan lebih diintensifkan.
“Nah sepuluh tahun ini momentum untuk membuat kebijakan publik. Maka ini dengan yang saya minta kepada seluruh sekolah, sekolah wajib inklusi, wajib ada metode dan metodologi yang benar, wajib dipahami juga oleh pengelola sekolah dan pengajar,” katanya.
Untuk merealisasikan hal tersebut, Ganjar menggandeng para akademisi untuk melahirkan formula yang tepat. Universitas Sebelas Maret salah satunya, lembaga yang sampai saat ini masih menyelenggarakan pendidikan guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Ganjar pun menyinggung sampai saat ini sudah terlalu banyak program pemerintah maupun kebijakannya tentang ramah atau perlindungan terhadap anak hanya sebatas lipstik.
“Sekolah inklusi masih jauh. Itu yang layak anak, inklusi selama ini hanya statement tidak boleh. Sekarang dengan banyaknya kasus maka inklusi harus benar-benar disiapkan termasuk by anggaran. Mudah-mudahan provinsi bisa memberikan contoh dengan tahun ini belajar sambil mendesain untuk tahun depan,” katanya.(sup)