Jakarta, Koranpelita.com
Berbicara manajemen resiko (risk management) pada umumnya dikenal dalam bidang ilmu ekonomi. Terutama dipakai dalam menganalisa pemberian kredit atau resiko – resiko yang mungkin terjadi dalam analisa investasi. Lama kelamaan penerapan ilmu tersebut terus berkembang dalam beberapa bidang yang lain. Termasuk di bidang ilmu hukum.
Pemerhati Neurosains dan juga Dewan Penasihat Neuro Leadership Indonesia Dede Farhan Aulawi ketika ditemui di Jakarta, Jum’at ( 6/3 ) menceritakan kejadian tahun 1978 dimana seseorang bernama Thomas Barefoot dihukum karena membunuh seorang petugas polisi di Texas. Selama masa persidangan, penuntut memanggil dua psikiater untuk bersaksi tentang “bahaya masa depan Barefoot, yang merupakan persyaratan tumtutan hukuman mati untuk menentukan apakah terdakwa masih bisa menimbulkan ancaman bagi masyarakat. Pada saat itu, Psikiater menyatakan Barefoot sebagai “psikopat kriminal , dan memperingatkan bahwa apakah dia ada di dalam atau di luar penjara, ada “peluang seratus persen dan absolut “bahwa dia akan melakukan tindakan kekerasan di masa depan yang akan merupakan ancaman berkelanjutan bagi masyarakat.
Merujuk pada prediksi klinis tersebut, akhirnya hakim menjatuhkan hukuman mati bagi Barefoot. Meskipun peramalan psikiatris seperti itu tidak lazim diterapkan, namun penilaian risiko sejak saat itu telah dikembangkan yang bertujuan untuk membantu pengadilan menentukan hukuman yang tepat, masa percobaan dan pembebasan bersyarat. Banyak dari penilaian risiko ini menggunakan algoritma untuk menimbang faktor-faktor pribadi, psikologis, historis dan lingkungan untuk membuat prediksi perilaku di masa depan.
Dede mengingatkan ilmu manusia itu tentu tidak sempurna, jadi keakurasian dalam melakukan analisa menjadi sangat penting sekali. Beberapa tahun kemudian Tim Peneliti ilmu syaraf dari University of New Mexico mengusulkan untuk menggunakan teknologi pencitraan otak agar mampu meningkatkan keakurasian penilaian risiko tersebut. Prof. Kent Kiehl seorang pakar psikologi, ilmu saraf, dan hukum di kampus tersebut mengatakan bahwa dengan mengukur struktur dan aktivitas otak, dapat memprediksi dengan lebih baik kemungkinan perilaku seorang di masa yang akan datang.
“ Keahlian guna menjamin keakurasian hasil analisa melalui alat bantu pencitraan otak, kemungkinan besar akan terus berkembang dan menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan jenis dan lama waktu penghukuman bagi pelaku kriminal. Azas “efektivitas dan efisiensi” dalam teori manajemen akan memberikan sumbangsih besar dalam penerapan risk management untuk memberikan penghukuman. Sebuah tantangan hukum di masa depan yang tidak mudah. Bergemuruh dalam riuh ruang diskusi para pakar hukum berbasis penerapan ilmu syaraf, serta dibumbui oleh pertimbangan – pertimbangan manajemen keadilan,” ujarnya. (djo)