Jakarta,Koranpelita
Cecilia Sagita, M. Psi., Psikolog, anggota tim psikolog di Klinik Hayandra, mengatakan dalam proses menjalani perawatan medis untuk kanker, pasien maupun keluarganya memerlukan pendampingan psikolog yang intensif. “Banyak pasien merasa divonis mengenai akhir hidupnya, saat didiagnosis mengidap kanker,” ungkap Cecilia di Jakarta, Kamis (5/3/2020).
Dijelaskan Cecilia, pendekatan bio-psiko-sosial menjadi dasar untuk melihat manusia secara utuh (holistik) dalam proses membantu penyintas kanker untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh karena itu diperlukan konseling dan psikoterapi sebagai langkah intervensi bagi pasien kanker untuk memberikan ketenangan dan membantunya menjalani perawatan medis dengan semangat positif.
Menurutnya, keluarga juga mengambil peran penting untuk memberi dukungan dan perawatan pada pasien kanker. Kendati demikian, sifat keluarga yang protektif justru dapat membuat tekanan pada kondisi pasien. Kerap kali keluarga justru bertindak sebagai ‘pengawas’ yang membatasi keinginan dan perilaku pasien yang dapat menjadi pemicu konflik antara pasien dan keluarganya.
“Psikolog dapat memberikan psikoedukasi dan konseling kepada anggota keluargasehingga tercipta suasana kondusif dan nyaman untuk pasien yang berdampak positif pada kondisi medisnya,” tutur Cecilia.
Penanganan nyeri dengan terapi sel
Sementara itu, Dr. I Putu Willy Adi Satria, SpAn, FIPM, kepala tim penanganan nyeri di Klinik Hayandra mengatakan, pada penderita kanker, rasa nyeri merupakan hal yang paling menimbulkan penderitaan, baik untuk yang sedang menjalani terapi maupun pada pasien paliatif pada kanker stadium lanjut.
”Kemajuan di bidang medis memungkinkan penanganan nyeri pada penderita kanker tidak hanya meliputi obat-obatan namun juga dapat menggunakan terapi yang lebih canggih yang bertujuan untuk melakukan blok ataupun ablasi saraf yang membawa rasa nyeri,” kata Dr. I Putu Willy.
Dr. Willy menambahkan,” Nyeri kanker atau cancer pain, bila diatasi dengan baik akan meningkatkan kualitas hidup penderita. Itulah sebabnya sangatlah penting untuk melibatkan tim penanganan nyeri dalam terapi komprehensif bagi penderita kanker.
Pada nyeri menahun lain yang tidak disebabkan oleh kanker lanjutnya, terapi regeneratif dengan menggunakan Platelet-Rich Plasma atau PRP saat ini mendapatkan perhatian di kalangan medis.
PRP, yang selama ini dikenal luas di bidang estetik dan anti aging, bila diolah secara khusus, memiliki kemampuan untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat proses degeneratif maupun cedera menahun. Penggunaan PRP pada intervensi nyeri yang dikombinasikan dengan fisioterapi diharapkan dapat meminimalisir penggunaan obat-obatan kortikosteroid atau penghilang rasa nyeri lain.
ICT dapat mengurangi rasa nyeri
Sementara itu untuk, terapi pendukung pada kanker yaitu Immune Cell Therapy (ICT), merupakan terapi yang berasal dari darah pasien sendiri, yang didapat dari hasil pengaktifan dan perbanyakan sel T, sel Natural Killer (NK), dan sel NKT dalam proses selama 2 minggu. Namun ternyata terapi ICT juga mampu mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien.
Pada kesempatan yang sama. Dr. dr. Karina, SpBP-RE, doktor bidang biomedik yang juga merupakan ketua Klinik Hayandra mengatakan, “ICT yang mengandung sel T, sel NK, dan sel NKT, tidak hanya secara alamiah bertugas sebagai pembunuh kanker, namun juga berguna dalam mengurangi nyeri akibat kanker.
“Dari banyak penelitian di dunia, hal ini diduga merupakan efek penekanan radang secara menyeluruh, serta dikeluarkannya zat-zat yang dinamakan sitokin dan peptida opioid endogen, oleh sel-sel imun yang terkandung dalam ICT, ” ujar Dr. Karina menambahkan.
Diakui Dr Karina, penanganan pengobatan kanker harus dilakukan secara komprehensif atau menyeluruh, tidak sekedar penanganan medis.“Untuk penyakit berat seperti kanker, kita harus melihatnya dari segala sudut, supaya nyaman bagi pasien. Sehingga penanganannya juga harus komprehensif, menyeluruh,” kata Dr Karina.
Menurut data dari riset kesehatan dasar (Riskesdas) Indonesia, prevalensi kanker dan tumor di Indonesia mengalami peningkatan dari 1,4 per 1000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk di tahun 2018. WHO memprediksikan jumlah kematian akibat kanker di seluruh dunia meningkat menjadi lebih dari 13,1 juta manusia per tahun pada 2030. (Vin)