Jakarta,Koranpelita.com
Indonesia adalah negara besar dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia. Namun, potensi demografi dan geografi tidak menjadikan Indonesia negara yang kaya. Dukungan dan perhatian yang kurang dari pemerintah daerah dianggap salah satu kendala perkembangan perpustakaan dan minat baca belum membaik.
“Banyak daerah yang belum paham persoalan tentang minat baca,” terang Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat membuka kegiatan Rapat Koordinasi Nasional Perpustakaan Nasional 2020 di Jakarta, Selasa, (25/2/2020).
Mendagri Tito menyayangkan hal tersebut. Padahal Rakornas ini penting. Menentukan arah dan keberhasilan bangsa. Bukan sekedar kegiatan lips service. Namun, tidak lebih dari lima persen dari 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota yang diundang yang hadir.
Sudah banyak penelitian internasional yang mengatakan minat baca Indonesia rendah. Itu adalah alarm. Semacam wake up call. Meski terakhir, world culture indeks menampilkan update terbaru bahwa angka minat baca Indonesia berada di posisi menengah.
Dalam berbagai kesempatan, Perpustakaan Nasional melansir bahwa bukan bahan bacaan yang kurang tapi ketersediaan akses terhadap bahan bacaan. Apalagi mayoritas penduduk tinggal di daerah pelosok, terpencil.
“Kepala Daerah harus mulai sadar dan berupaya untuk menyediakan bahan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya,” terang Tito.
Pengetahuan menjadi sangat penting. Kunci untuk memunculkan sumber daya yang unggul. Selain faktor kesehatan, SDM unggul juga harus terdidik dan terlatih. “Semakin banyak bahan bacaan tersedia, maka makin terbuka inovasi yang bisa dihasilkan, mengembangkan ide, dan juga opsi-opsi sehingga mampu menghasilkan keputusan yang cepat,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Syaiful Huda menilai rendahnya minat baca masyarakat Indonesia saat ini dapat diatasi dengan adanya sinergi seluruh pemangku kepentingan melalui gerakan literasi nasional. “Gerakan literasi harus berada di garda depan, menjadi ujung tombak dan program prioritas di masa mendatang,” ujarnya
Rendahnya tingkat literasi di Indonesia tersebut katanya, bukan dikarenakan masyarakat yang tidak mau membaca tapi lebih disebabkan minimnya akses yang menjadikan buku barang yang langka terutama di pelosok Indonesia. Padahal, menurut Syaiful, buku dibutuhkan untuk menciptakan sumber daya manusia unggul, cerdas, terdidik yang dibutuhkan untuk membangun bangsa yang kuat di masa mendatang. “Buku tidak bisa digantikan oleh apapun,” tegasnya.
Syaiful juga mendorong adanya gerakan literasi nasional di jajaran anggota dewan legislatif yakni dengan menginisiasikan setiap anggota legilatif untuk menghibahkan minimal 3 buku setiap bulannya. Dengan adanya 18.000 anggota legislatif di tingkat pusat dan daerah seluruh Indonesia, maka diharapkan setiap anak di pelosok Indonesia bisa memiliki akses terhadap buku. “Ini komitmen kami setiap tanggal 17, setiap anggota dewan memberikan buku sehingga anak-anak yang selama ini susah mendapatkan buku bisa menemukan dan membaca buku,” jelasnya.
Syaiful menuturkan dibutuhkan inovasi dan kreasi untuk mengefektifkan fungsi perpustakaan, tidak hanya di tingkat provinsi tapi juga di kelurahan dan kecamatan, termasuk revitalisasi perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi. “Pemerintah menjadi fasilitator, kita akan ajak kolaborasi stakeholder lain, baik BUMN, pelaku bisnis agar Gerakan literasi akan menjadi komitmen kita,” ujarnya. (Vin)