Tasikmalaya, Kotanpelita.com
Permulaannya orang beternak untuk penggemukan agar bisa diambil dagingnya saja, perspektif ekonominya tidak sekedar itu.
Saat ini lahir peluang dengan berkembangnya peminatan dari ternak sapi perah untuk diambil manfaat ekonominya berupa susu. Spesies Bos Taurus ini memiliki kemampuan menghasilkan susu dalam jumlah besar.
Prospek bisnisnya juga sangat menarik karena peningkatan permintaan pasar yang sangat tinggi. Namun sentuhan teknologi dan profesionalitas dalam tata kelola ternak masih harus ditingkatkan, sehingga produktivitas peternak harapannya bisa semakin meningkat.
Pemerhati Peternak Sapi, Dede Farhan Aulawi.l mengungkapkan hal ini saat meninjau salah satu sentra peternak sapi perah di kawasan Guranteng – Ciawi, Tasikmalaya, Jum’at (14/2).
Saat ini memang terlihat adanya peningkatan populasi sapi perah sampai sekitar 8.832 ekor melalui skema importasi dengan realisasi investasi secara kumulatif mencapai nilai US$62,15 juta yang berasal investor Elemen Livestock, Greenfields Indonesia, dan Raffles Pasific Harvest.
Dede juga mengingatkan bahwa ada hal yang menarik jika merujuk pada data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) yang mencatat bahwa konsumsi susu Indonesia mencapai 3,91 juta ton setiap tahunnya dengan 56 persen konsumsi dalam bentuk susu segar, susu ultra high temperature (UHT), susu fermentasi, susu kental, dan krim.
“ Hal tersebut tentu menjadi tantangan sekaligus peluang bagi para peternak Indonesia. Namun yang ingin saya garisbawahi adalah peternak Indonesia harus ditingkatkan kesejahteraannya. Kenapa ? karena saat ini jauh lebih banyak “Buruh Ternak”, sehingga mereka belum tersentuh banyak dalam konteks peningkatan kesejahteraannya. Seharusnya ada road map bagi mereka yang saat ini sebagai buruh ternak, maka suatu saat mereka harus jadi peternak atas sapi – sapinya sendiri, sehingga masa depan mereka lebih terjamin dan lebih sejahtera,” tegasnya .
Masih banyak hal yang perlu disosialisasikan kepada masyarakat ternak sapi Indonesia, misalnya terkait manajemen kandang, pakan, dan pencatatan perkembangan sapi yang menjadi bagian dari ilmu administrasi peternakan. Termasuk perbaikan pola beternak, serta tata kelola pakan seperti menanam jagung dan rumput gajah. Jika keinginan beternak tersebut dipoles dengan pengetahuan dan keterampilan ternak yang baik, maka pasti kesejahteraan peternak akan semankin meningkat. Sebagai bahan perbandingan lihat saja data jumlah kepemilikan sapi oleh peternak di beberapa negara. Di Selandia Baru setiap peternak rata-rata memiliki 375 ekor sapi. Di Australia sekitar 220 ekor per peternak. Di Inggris peternak rata-rata memiliki 100 ekor. Sementara di Indonesia rata – rata setiap peternak memiliki 4 ekor sapi saja.
Secara umum sapi dapat hidup hingga usia 20 tahun, tetapi sapi yang dibesarkan untuk diperah jarang sekali dipertahankan hingga usia tersebut karena ketika sapi perah tidak produktif, umumnya akan disembelih. Sapi perah yang sudah tua rentan terhadap penyakit seperti mastitis yang dapat memengaruhi kualitas susu yang dihasilkan. Di India dan Nepal, sapi perah yang tidak produktif dapat terlihat berkeliaran di jalanan kota dan dibiarkan begitu saja sampai meninggal karena sakit atau usia lanjut. Beberapa organisasi Hindu membangun rumah singgah khusus sapi yang disebut dengan Goshala untuk tempat peristirahatan terakhir.
“ Di samping hasil produk berupa susu atau daging, sebenarnya bisa dikemas juga dalam paket wisata edukasi ternak. Prinsipnya rekreatif, edukatif, produktif dan prospektif. Kemasan kreatifnya tentu bisa didesain dengan melakukan kerjasama yang lebih luas. Tapi tentu teknik dan manajemen kemasan menjadi sangat penting agar memiliki daya pikat kunjungan wisata “, pungkasnya. (djo)