Sampit,Koranpelita.com.
Otonomi daerah setelah diberlakukan tumbangnya rezim orde baru. Harapannya, model pemerintahan yang tidak lagi sentralistik , karena banyak kewenangan yang diserahkah ke daerah.
Ternyata dalam realitanya, tidak sediikit melahirkan raja raja kecil di daerah. Kondisi ini jauh dari harapan ketika otonomi daerah ketika itu diterapkan.
Menurur Irwan Fakhrudin seorang warga Sampit di Kabupaten Kotawaringin Timur( Kotim) Provinsi Kalteng yang juga pemerhati berpendapat, penting yang membidani pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pasca reformasi,
Prof Ryaas Rasyid,merasa kecewa. Dia mengaku pelaksanaan otonomi daerah tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan.Otonomi daerah yang didasarkan pada UU Nomor 22 tahun 1999, yang direvisi menjadi UU Nomor 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sudah 20 tahun lebih otonomi daerah diimplementasikan, tapi belum mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di sebagian besar daerah-daerah di Indonesia.
“Bayangan kita dulu ketika kewenangan dan uang diberikan ke daerah, mereka akan berlomba mensejahterakan daerahnya.Ternyata tidak.Ini kekecewaan kita,”kata Prof Ryaas Rasyid.
Meski begitu, mantan Menteri Otonomi Daerah dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara di era Presiden Abdurrahman Wahid, itu, menegaskan kesalahannya tidak pada Otonomi Daerah. Namun, lebih pada ke persoalan figur Kepala Daerah yang dipilih. Diterapkannya sistem Pilkada langsung, lanjut Prof Ryaas Rasyid, telah menjadi antitesis dari Otonomi Daerah.
“Birokrasi menjadi kacau balau. Baru terpilih satu bulan, sudah memutasi ratusan orang karena bisikan tim sukses. Bagaimana melayani rakyat, kalau ketenangan di lingkungan birokrasi tidak bisa dijaga,”ujar Prof Ryaas Rasyid.
Dia mengingatkan Pilkada langsung yang telah dilaksanakan selama ini, pasca reformasi, telah menyedot dana APBD lebih dari Rp 100 triliun.
“Hasilnya ratusan Kepala Daerah bermasalah dan tersangkut korupsi. Sementara kesejahteraan rakyat tidak meningkat,”kritiknya.
Lemahnya supervisi dan kontrol Pemerintah Pusat, menurut Ryaas, menjadi salah satu akar permasalahan.
Karena itu, dia mendorong revisi RUU Pemerintahan Daerah yang drafnya menggeser titik berat Otonomi Daerah dari kabupaten/kota ke provinsi.Kewenangan yang sudah dimiliki kabupaten/kota tetap tidak berubah.
Hanya kewenangan provinsi yang ditambah.Sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, provinsi nantinya akan mengkoordinir investasi, kepegawaian, sampai pengelolaan dana dekonsentrasi di daerahnya.
.”Perilaku Bupati atau Walikota yang suka pergi ke mana-mana tanpa izin akan berhenti dengan sendirinya.Konsolidasi ekonomi bisa lebih baik, begitu juga supervisi,”tegas Ryaas Rasyid.
Esensi pemerintahan daerah adalah pelayanan publik yang prima.Untuk memberikan pelayanan yang baik, pemerintah daerah harus proaktif kepada publik yang dilayani, ini titik berat dari Otonomi Daerah sebenarnya.( Ruslan AG).