Bandung, Koranpelita.com
Istilah linguistik forensik bagi orang awam mungkin termasuk pada kosa kata yang sangat jarang didengar. Begitupun ketika disiplin ilmu tersebut akan diimplementasikan dalam proses penegakan hukum, sebagian orang akan bertanya lagi tentang maksud dan fungsinya.
Padahal ilmu ini sangat penting, karena sangat terkait dengan teknik dan metode pencarian keterangan. Bahkan sebagian ahli mengatakan bahwa hal tersebut akan sangat terkait dengan validitas keterangan yang diperoleh oleh penyidik saat melakukan interogasi.
Komisioner Kompolnas Dede Farhan Aulawi dalam sebuah forum diskusi di Kota Bandung, Ahad (12/1) mengatakan bahwa penguasaan linguistik forensik dalam penegakan hukum itu sangat penting sekali, karena menyangkut penerapan pengetahuan, metode, dan wawasan linguistik pada konteks forensik hukum, bahasa, investigasi kejahatan, persidangan, dan prosedur peradilan. Istilah linguistik forensik pertama kali muncul pada tahun 1968 ketika Prof. Jan Svartvik menggunakannya dalam analisis pernyataan Timothy John Evans, dimana ia menemukan berbagai penanda gaya yang terlibat, dan Evans tidak benar-benar memberikan pernyataan kepada petugas polisi seperti yang telah dinyatakan dalam persidangan. Sejak saat itu, linguistik forensik difokuskan pada pertanyaan validitas interogasi polisi.
Sementara itu di AS juga ada kasus Ernesto Miranda tahun 1963. Kasusnya mengarah pada penciptaan Hak Miranda dan mendorong fokus linguistik forensik pada pernyataan saksi daripada pernyataan polisi. Berbagai kasus muncul yang menantang apakah tersangka benar-benar memahami apa artinya hak-hak mereka – yang mengarah ke perbedaan gaya interogasi koersif versus sukarela.
“ Secara substantif ada tiga bidang penerapan ilmu linguistik forensik dalam proses penegakan hukum, yaitu (1) memahami bahasa hukum tertulis, (2) memahami penggunaan bahasa dalam proses forensik dan peradilan, dan (3) penyediaan bukti linguistik. Jadi linguistik forensik itu merupakan bidang linguistik terapan yang melibatkan hubungan antara bahasa, hukum, dan kejahatan. Istilahnya (1) Language as legal instrument, (2) Language as legal process, dan (3) Language as legal evidence. Jadi penerapan yang paling banyak pada proses penyidikan dan dalam pengadilan “, ungkap Dede.
Kemudian mungkin muncul sebuah pertanyaan, kenapa linguistik forensik perlu berperan dalam proses penyidikan dan dalam pengadilan ? Jawabannya sebenarnya sederhana saja, yaitu karena kedua proses hukum tersebut menggunakan bahasa sebagai instrumen untuk menjalankan proses hukum. Apalagi para pengguna bahasa di dalam proses penyidikan dan persidangan tidak memiliki peran dan kedudukan yang sama, antara satu dengan yang lainnya, misalnya posisi penyidik dengan terperiksa. Dalam kondisi seperti ini tentu rentan kemungkinan terjadinya praktik penyimpangan. Oleh karena itu, linguistik forensik diperlukan untuk memastikan bahwa proses peradilan (penggunaan bahasa) telah steril dari penyimpangan, serta sesuai dengan kepentingan institusional para aparat penegak hukum.
Jika dilihat dari sisi tugas penyidikan, terutama saat pemeriksaan sebenarnya ada dua tujuan yang ingin dicapai, yaitu proses verbal van verhoy dan proses verbal van bivinding. Kedua proses itu sama-sama dilakukan untuk mencari bukti agar dengan bukti itu perkara pidana yang terjadi dapat menjadi terang-benderang dan terungkap siapa pelakunya. Secara teori, proses verbal van verhoy adalah tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari keterangan melalui pemeriksaan orang-orang yang mendengar, mengetahui, melihat, dan merasakan terjadinya tindak pidana. Sementara, proses verbal van bivinding adalah upaya yang dilakukan penyidik untuk mendapat keterangan, atau bukti dengan alat-alat tertentu, seperti foto, visum, dan lain-lain.
Pengumpulan bukti secara verbal merupakan pemeriksaan dalam bentuk wawancara atau interview. Pada tahap ini penerapan linguistik forensik sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa pemeriksaan berlangsung adil dan benar. Jika pemeriksaan tidak berlangsung dengan adil dan benar, maka hal itu bisa menggagalkan dakwaan primer/materil (batal demi hukum) atas perkara yang diduga pidana. Paradigma lama seringkali mengejar pengakuan dari terperiksa, padahal semestinya tujuan institusional pemeriksaan adalah memperoleh keterangan yang disampaikan secara sukarela dari terperiksa. (djo)