Oleh: Dede Farhan Aulawi
Sebagaimana sebuah negara yang berdaulat, selalu ada tarik menarik kepentingan strategis nasional dalam menentukan sikap dalam menghadapi suatu persoalan. Persoalan sendiri sebenarnya merupakan sebuah realitas kehidupan, dimana ia akan selalu ada selama manusia itu hidup. Benturan kepentingan satu dengan yang lain seringkali menimbulkan persoalan yang pada akhirnya bermuara pada pilihan sikap dan tindakan yang akan dan harus diambil.
Termasuk permasalahan memanasnya situasi di wilayah kepulauan Natuna akhir – akhir ini akibat ulah masuknya kapal-kapal nelayan asal China yang dikawal kapal coast guard-nya yang dinilai masuk ke perairan Natuna secara ilegal. Apakah sikap keras selalu dinilai sebagai tindakan yang tegas ? Apakah mengembangkan pendekatan diplomasi dinilai sekedar strategi tarik ulur yang bernilai basa basi ? Atau mungkinkah semua dikembalikan pada fungsi pengadilan internasional yang akan memutuskan suatu wilayah milik siapa ? Semua pilihan pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Tinggal kita bersikap mau yang mana ?
Penulis sudah membahas soal situasi Laut China Selatan ini sekitar 7 – 8 tahun yang lalu. Persoalan besarnya adalah pengakuan yang tulus atas sebuah teritori. Mau mengakui UNCLOS atau tetap kukuh dengan nine dash line-nya. Atau mungkin hanya karena melihat betapa besarnya sumber daya alam yang tersedia di sana.
Sebagaimana yang diketahui, bahwa laut Natuna memiliki cadangan minyak dan gas ( migas) yang sangat besar. Blok migas Natuna D-Alpha dan gas Dara memiliki sumber migas yang luar biasa menurut survei seismik laut Agip. Terdapat cadangan migas terbesar dalam sejarah permigasan Indonesia dengan cadangan gas 222 triliun kaki kubik (TCF) dan 310 juta bbl minyak, dengan luas 25 x 15 km2 serta tebal batuan reservoir lebih dari 1.500 meter
Dasar klaim China atas perairan Natuna yang dianggap masuk wilayahnya, adalah Nine Dash Line. Nine dash line merupakan sembilan garis putus – putus yang dibuat sepihak oleh China tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Padahal UNCLOS sudah metetapkan batas-batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang dikaitkan dengan hak negara dalam melakukan eksploitasi dan kebijakan lain di wilayah perairannya sesuai hukum laut internasional. Persoalannya adalah meskipun Beijing merupakan anggota UNCLOS, tetapi ia tetap tidak mengakui ZEE di Laut China Selatan.
.Adapun luas wilayah yang diklaim masuk dalam nine dash line mencakup Kepulauan Paracel yang juga sama-sama diklaim Vietnam dan Taiwan, hingga laut di Kepulauan Spratly yang juga diklaim oleh Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunai Darussalam.
Hal inilah yang menjadi tumpang tindih dengan wilayah ZEE negara-negara tetangga Indonesia tersebut. Sengketa China dengan negara-negara ASEAN di atas sebenarnya sudah diputuskan dalam South China Sea Tribunal 2016, yang pada pokoknya menyatakan bahwa China tak memiliki hak atas Laut China Selatan. Termasuk putusan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang tertuang dalam UNCLOS 1982 memutuskan perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Untuk memahami Nine Dash Line, yang dimaksud oleh China tersebut bersumber pada sebuah buku kuno yang dijuluki “holy grail” dan diyakini sudah ditulis lebih dari 600 tahun silam. Buku ini dianggap sudah menjadi warisan turun-temurun nelayan China sejak ditulis, dan menjadi panduan navigasi tradisional yang dikenal sebagai “genglubu”. Dimana didalamnya menjelaskan petunjuk navigasi ke kepulauan Spratly di Laut China Selatan yang dalam bahasa China disebut dengan nama Kepulauan Nansha dan Huangyan. Namun oleh Filipina dan Taiwan juga diklaim dengan nama Scarborough Shoal. Apa yang tertulis dalam buku tersebut, dinilai China sebagai Hak Sejarah, Hak Pelayaran dan Hak Kedaulatan sekaligus Kepemilikan.
Di lain pihak, Indonesia tidak mengakui nine dash line-nya China, karena penarikan garis putus – putus tersebut dinilai bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016.
Kalau kita perhatikan dari perjalanan waktu atas rentetan kasus – kasus pencurian ikan seperti di atas, dasar negara China itu selalu merujuk ke alasan kesejarahan (History). Padahal berdasarkan artikel 51 ayat 2 hanya mengenal Traditional Fishing Right (TFR). Itupun harus ada persyaratan yang ketat dan berdasarkan perjanjian. (Penulis, pemerhati masalah Laut China Selatan)