Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
PENGHUJUNG Tahun 2019, tepatnya 31 Desember 2019, Mahkamah Agung (MA) sebagai Lembaga peradilan tertinggi, membuat kejutan sangat berani dan harus diapresiasi. MA yang berwenang melakukan uji materiil terhadap peraturan perundang undangan di bawah Undang Undang itu memutuskan pencabutan aturan tentang konversi lahan, tepatnya konversi lahan dari hutan lindung menjadi kawasan perkebunan. Aturan itu sendiri dituangkan dalam Peraturn Pemeringtah (PP) No. 104 Tahun 2015, Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Legal Reasoning
Sebagaimana publikasi pada website MA, substansinya bahwa lembaga peradilan tertinggi dimaksud mengabulkan permohonan uji materiil atau judicial review yang diajukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 Tahun 2015. Perintahnya, bahwa aturan yang membolehkan hutan lindung diubah menjadi perkebunan harus dicabut. Perintah ini harus segera dilaksanakan tanpa ada upaya hukum lebih tingi, alias final and binding.
Substansi pengujian adalah ketentuan dalam Pasal 51 ayat (2) yang isinya bahwa dalam hal kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh pemerintah daerah berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang ditetapkan dengan peraturan daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan berdasarkan tata ruang yang berlaku tetap sesuai dengan tata ruang sebelumnya.
Namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang Undang, areal tersebut menurut peta Kawasan Hutan yang terakhir merupakan Kawasan Hutan dengan fungsi konservasi dan/atau lindung, diberikan kesempatan untuk melanjutkan usahanya selama 1 (satu) daur tanaman pokok.
Logika hukum (legal reasoning) dari putusan itu bahwa terbitnya PP yang merupakan kebijakan pemerintahan SBY dimaksud adalah sebagai dasar untuk melegalkan ketelanjuran perizinan dan aktivitas perkebunan di kawasan hutan dengan fungsi produksi. Dalam bahasa sosial dimaksudkan sebagai semacam pemutihan terhadap konversi lahan yang saat itu sedang marak, dsan hanya didasarkan kepada perijinan yang tiak berproses sebagaimana mestinya
Dalam perkembangan berikut, pada Pemerintahan Jokowi, keterlanjuran perizinan dan aktivitas perkebunan di kawasan hutan diperluas hingga kawasan hutan fungsi konservasi dan lindung. Dengan demikian Penerbitan PP No. 104 Tahun 2015 merupakan salah satu kebijakan di tahun awal Pemerintah Jokowi yang dinilai paling buruk, dalam hal konversi lahan khususnya kawasan hutan. Kebijakan yang dinilai pure ekonomi tanpa memedulikan dampak terhadap lingkungan.
Pada sisi lain dengan penerbitan PP ini melanjutkan sekaligus memperluas upaya penghapusan kejahatan dan perilaku buruk konspirasi korporasi perkebunan khususnya kelapa sawit dengan penerbit izin. Hal demikian menimbulkan dampak pencemaran lingkungan yang luas, dan pendegradasi kualitas rona lingkungan yang berakibat luas pula pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lain pada umumnya.
Kebijakan Mendua
Bahwa saat itu, seluruh lapisan masyarakat tanah air sedang memusatkan perhatian dan mencurahkan tenaga untuk pemberantasan Karhutla. Kebijakan yang secara awam justru dapat menjadi pemicu Karhutla dimaksud diambil dengan “mencuri” perhatian masyarakat.
Pada perspektif hukum, sikap pemerintah (Cq Kementerian Lingkungan Hidup) sangat jelas, dengan menilai bahwa Karhutla merupakan tindak kejahatan yang serius dan luar biasa. Hal itu dilandasi risiko yang diakibatkannya. Dalam kaitan ini semua mahluk hidup bias punah atau minimal sangat terganggu. Pastinya Karhutla berdampak pada kesehatan dan ekosistem. Seperti, terhentinya rantai makanan yang berpotensi mengakibatkan spesies yang lain punah.
Pada rentetan berikutnya, dipahami bahwa Karhutla berdampak langsung pada ekonomi, baik itu penerbangan maupun dunia usaha. Secara alamiah berdampak pula pada pada ruang wilayah. Dampak terus-menerus yang diakibatkan ini 99 persen disebabkan oleh perbuatan manusia, baik oleh perorangan maupun korporasi. Oleh karena itu kebijakan apapun yang berpotensi mendukungKarhutla harus dilawan atau dihentikan.
Tentu kendatipun masih harus dibuktikan, faktanya bahwa pemberantasan Karhutla terpengaruh, dan kalausaja kebijakan itu tidak dibuat sekurangnya dapat turut membantu kondisi dan situasi pemberantasan. Jadi, penerbitan aturan dalam situasi Indonesia sedang sibuk menghadapi persoalan Karhutla 2015 itu sama sekali tidak populer. Namun karen kebijakan itu sebagaimana ditengarai disiapkan sebagai bagian dari peningkatan investasi dan pemanfaatan hutan, masih terus berlangsung tanpa ada upaya penghentian.
Pada perspektif regulasi, semangat melawan Karhutla dalam Inpres 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang diterbitkan pada 24 Oktober 2015 seolah runtuh dengan adanya PP ini. Hal ini dinilai sebagai langkah awal dari kebijakan yang bersifat mendua. Pada satu sisi pemberantasan Karhutla dilakukan baik dengan cara langsung ke obyeknya maupun melakukan penegakan hukum terhadap pelanggar dan menjadi extra ordinary crime.
Namun pada sisi lain justru membuat kebijakan yang tidak searah bahkan bertentangan dengan pemberantasa Karhutla itu sendiri dilanggengkan. Ke depan, tugas instansi terkait tidak semata melakukan penghentian (moratorium) terhadap penerbitan ijin konversi. Lebih dari itu harus dilakukan kaji ulang terhadap ijin yang telah diterbitkan. Dibutuhkan konsistensi dalam penegakan hukum sehingga kebijakan yang dicetuskan oleh putusan MA itu benar benar efektif untuk tidak melakukan konversi. ***