Oleh: Dr. H. Joni.SH.MH.
PERKEMBANGAN masalah sosial, politik dan kehidupan sehari hari begitu mobile. Usai pengumuman Pemindahan Ibu Kota Pemerintahan Republik Indonesia ke Kalimantan Timur, Daerah mulai mennggeliat. Ada janji pemekaran Provinsi Papua atau Irian Barat yang diinisiasi oleh Pemerintah Pusat. Ada motivasi kuat dari Kalimantan Tengah, juga minta untuk dimekarkan.
Tuntutan pemekaran baru tak hanya berlaku di Papua. Tuntutan juga datang dari pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan konkretnya ada 384 Daerah otonom lain yang juga berkeinginan sama. Untuk Tim pembentukan Provinsi baru Kalimantan Tengah yang dulu dikenal dengan sebutan Kotawaringin Raya memunculkan kembali rencana pemekaran Kalteng tersebut. Secara administratif pemerintahan, ada lima kabupaten di wilayah Kesultanan Kotawaringin yang ingin lepas dari Kalteng yakni Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Lamandau, Sukamara dan Seruyan. Kelimanya berkeinginan kuat untuk dijadikan satu provinsi baru, dengan memisahkan diri dari Provinsi Kalimantan Tengah.
Semenjak lama, tepatnya pada tahun 2006 Keinginan memisahkan diri tersebut diinisiasi oleh para tokoh pembentuk provinsi baru. Namun sampai dengan tahun 2016 pembentukan Provinsi Kotawaringin Raya yang diinisiasi oleh Badan Pembentukan Provinsi Kotawaringin (BP3K) dan telah mencapai kajian akademik, hingga penentuan ibukota provinsinya itu tak juga berhasil.
Terakhir, kata kunci dari ketidakberhasilan itu adalah karena alasan moratorium. Pusat masih belum rela memekarkan provinsi Kalteng dengan alasan moratorium pemekaran wilayah dimaksud
Moratorium Politis
Bahwa secara administratif, persyaratan mulai dari luas wilayah, sampai pada kajian dari sisi Ideologi, Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya (Ipoleksosbud) sbagai dasar pemekaran melalui kajian mendalam sudah dilakukan. Tentu sangat mengecewakan, ketika alasan yang sifatnya sumir yaitu moratorium pemekaran wilayah menjadi dasar untuk mementahkan usulan. Bahwa moratorium berlaku untuk seluruh wilayah NKRI sebagai satu kebijakan nasional dapat dimaklumi. Namun khususnya untuk Papua, mengapa tidak berlaku moratorium dimaksud. Padahal Daerah Papua dalam soal moratorium ini juga berlaku ketentuan yang sama dengan Daerah lain.
Sejatinya secara politis pemekaran wilayah itu intinya menjawab satu permasalahan: apakah pemekaan itu akan menjadi benih disintegrasi NKRI atau tidak?. Jika iya, maka layak ditolak. Namun jika tetap dalam bingkai KKRI, bahkan memperkokoh perekatan negara, tentu alasan itu tidak layak untuk tidak diakomodasi atau tidak layak untuk ditolak. Tentu setelah berbagai persyaratan administrasi yanhg mencerminkan kondisi riil mulai dari sejarah, luas wilayah, dan sebagainya telah memenuhi syarat. Dengan demikian, jika pemerintah memberikan ruang pembentukan Daerah otonom baru bagi Papua, maka Kementerian Dalam Negeri harus membuka moratorium pemekaran wilayah untuk kawasan lainnya. Ini merupakan dasar dari keadilan, dengan satu aturan untuk seluruh wilayah NKRI.
Maknanya bahwa pembentukan Daerah otonom baru melalui pemekaran wilayah tidak bisa hanya memberi keistimewaan khusus kepada Daerah tertentu. Ketika Daerah otonom baru Papua dibuka, Daerah lain juga harus dibuka, moratorium itu harus dibuka. Bahwa Kalteng sangat strategis karena Daerah ini merupakan Daerah penyangga calon Ibukota negara yang baru di Kalimantan Timur. Apa lagi, sekali lagi seluruh persyaratan administratif untuk pemekaran sudah terpenuhi.
Dengan demikian alasan moratorium yang disampaikan Pusat melalui Kemendagri sifatnya sangat politis. Bahkan alasan itu dinilai sangat sumir. Bagaimana tidak, untuk pemekaran itu sendiri tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan wilayah yang seluruhnya didasarkan pada pendekatan yang bersifat mandiri. Dalam arti seluruh pembangunan didasarkan pada model sistem bottom up, atau inisiasi, pelaksanaan dan mekanisme kontrol sepenuhnya dilakukan oleh Daerah yang punya wilayah.
Memahami Moratorium
Moratorium pada kaitan ini dimaknai sebagai penghentian sementara untuk kebijakan pemekaran wilayah. Ide untuk itu disampaikan pihak Kemendari sejak tahun 1999 yang lalu. Sampai saat ini secara administratif Pemerintah belum mencabut moratorium pemekaran Daerah. Evaluasi atas Daerah otonom baru yang lahir sejak 1999 dinilai lebih mendesak untuk dilakukan supaya tak ada lagi Daerah yang gagal berkembang.
Dari segi jumlah, akibat dari moratorium itu sejak tahun 2014 saja masih ada 384 daftar tunggu pemekaran Daerah di seluruh Indonesia. Ini terjadi akibat dari moratorium pemekaran Daerah selama 5 tahun oleh Presiden Joko Widodo. Di balik itu, faktanya bahwa selama moratorium pemerintah tidak melakukan apapun selama jeda waktu tersebut. Padahal seharusnya selama moratorium dilakukan berbagai evaluasi atau pembinaan terhadap Daerah pemekaran. Semuanya seolah mengalir dan hanya adem ayem tanpa kreativitas yang bermakna bagi Daerah yang minta pemekaran.
Secara faktual, tetap berpegang pada moratorium yang intinya adalah melakukan penekanan terhadap kreativitas rakyat di Daerah tentu tidak mudah. Sebegitu banyak daeah yang menuntut pemekaran, jika tidak dikabulkan akan membawa dampak tidak baik terhadap hubungan Pusat dan Daerah. Bahwa Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla sebagai Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) saat itu berhasil melakukan moratorium dengan dua alasan. Pertama soal anggaran untuk pemekaran Daerah dialokasikan untuk infrastruktur. Kedua diseretai denganpermintaan terhadap Pemda Provinsi untuk Pemda Provinsi tidak melakukan pemekaran tanpa menyerahkan 2 Rancangan Peraturan Pmerintah (RPP) tentang pemekaran dimaksud.
Kini moratorium pemekaran Daerah sudah berhasil dilakukan oleh Jusuf Kalla, dan dalam perkembangan terakhir sangat tergantung kepada kebijakan Wapres yang baru, Maruf Amin selaku Ketua DPOD.
Dari sisi administratif, ukurannya masih tetap yaitu sebagai wahana untuk merangkum empat hal yang diperjuangkan pemekaran Daerah sudah tercapai atau sebaliknya. Seperti kesejahteraan masyarakat yang meningkat, berjalan pemerintahan dengan baik (good government), perbaikan pelayanan publik dan daya saing Daerah. Artinya jika keempatnya ternyata tidak dapat diwujudkan maka tak ada alasan untuk tidak membuka moratorium.
Memahami penolakan pemekaran wiayah melalui kebijakan moratorium, selama ini dinilai bahwa kebijakan dimaksud hanya menguntungkan segelintir pihak.
Sebab, dalam proyek pemekaran Daerah biasanya hanya bermanfaat LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang memperjuangkan pemekaran Daerah, birokrat yang kesulitan naik pangkat, partai politik yang mendapat kuota penyaluran kader hingga dunia usaha yang melakukan proyek pembangunan pemekaran Daerah.
Mereka ini yang menikmati pemekaran wilayah, sementara nasib rakyat tetap diabaikan.
Berbagai alasan untuk penolakan yang secara global terangkum dalam moratorium itu dalam pandangan rakyat tentu tidak benar. Bahwa faktanya pembangunan di Daerah Kalteng dan Daerah lain berjalan di tempat, adalah fakta tak terbantahkan.
Oleh karena itu pemerintah Pusat bagaimanapun harus segera membuka moratorium, dan mempersilakan Daerah untuk mandiri sesuai dengan prinsip otonomi Daerah. Jangan hendaknya rakyat bergerak melakukan tekanan yang bersifat massal, yang pada gilirannya justru mempersulit posisi Pusat sendiri. Intinya adalah: segera buka moratorium pemekaran wilayah, baik untuk tingkat provinsi maupun untuk Kabupaten/Kota. (Penulis, Notaris, Dosen STIH Habaring Huring, Pengamat Hukum dan Sosial tinggal di Sampit Kalimantan Tengah)