Kemarin, saya berlari. Tak terlalu jauh yang ditempuh. Tapi cukup untuk menguras peluh. Ikut acara Relay Marathon bpjamsostek hari Minggu 15 Desember 2019. Sebuah acara dalam rangkaian hari ulang tahun penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan yang ke-42.
Persiapan sudah saya lakukan. Ini penting agar momen kemeriahan bukan malah menjadi momen kesedihan. Tidak jarang jika tanpa persiapan membuat otot kram, badan terasa sakit, atau yang paling ekstrem jantung terkaget-kaget.
Saya memang tergolong penggemar olah raga. Aktivitas fisik mungkin menjadi sebuah kebutuhan lantaran latar belakang saya yang dibesarkan di desa. Dusun Nganjir menjadi saksi bagaimana dari pagi harus menimba air, jalan atau bersepeda ke sekolah, membantu mencangkul atau dangir. Lalu, ngarit yang rutin harus saya kerjakan. Belum lagi yang olah raga betulan semisal pingpong, voli, atau sepakbola.
Merasakan betul manfaat olah raga, lantas memacu diri untuk terus bergerak. Suatu saat sekitar 25 tahun lalu, saya sering terserang flu. Dokter yang memeriksa menyarankan untuk rutin berolah raga. Mulai dari situlah saya kembali menekuni olah raga murah meriah: pingpong dan mencoba belajar bulutangkis.
Hampir tiap hari pingpong saya lakukan bahkan dengan bantuan pelatih untuk memperbaiki pukulan. Sementara bukutangkis dilakukan seminggu sekali karena buat saya itu olah raga yang agak mahal dan kurang terjangkau apalagi sewaktu di kampung dulu.
Di waktu tertentu bermain bola lapangan besar juga saya coba sebelum akhirnya muncul futsal. Kini praktis saya menikmati jalan/lari pagi, pingpong, bulutangkis, dan nggowes.
Tapi meski biasa olah raga, tubuh saya harus dipersiapkan menuju event Relay Marrathon. Tentu, agar tidak malu-maluin bertanding dengan para pelari. Jadilah, Selasa, 10 Desember 2019 lalu menjadi persiapan terakhir menjelang Relay Marathon bpjamsotek.
Saya berlari memutari Stadion Senayan dengan langkah kecil tapi tanpa henti. Cara lari yang disebut slow jogging technique ini tak membuat cepat lelah. Bahkan untuk waktu yang relatif lama, kita tak akan dibuat ngos-ngosan. Saya habiskan waktu sekitar 45 menit sebelum akhirnya saya menjajal sepeda yang sedang naik daun, Sepeda Brompton.
Sepeda yang katanya membuat para istri marah setelah tahu harganya ini sekitar empat bulan lalu saya dapatkan. Mendapatkannya pun dengan cara yang unik. Alhamdulillah istri justru mendukung tanpa marah sedikitpun.
Sepeda brompton yang saya dapatkan tentu brompton asli namun harganya tidak semahal brompton selundupan yang ramai dibicarakan itu. Karena hanya Rp 200.000 (dua ratus ribu rupiah). Warnanya biru terang dan tidak bisa mengganti pilihan. Berikut cerita lengkapnya.
Ketika rekan kantor sedang senang nggowes, tentu saya ingin menunjukkan dukungan untuk tercipta work life balance. Masalahnya saya tak punya sepeda. Tapi saya tahu adik ipar punya sepeda brompton dan saya sangat mengenal adik ipar ini tak suka olah raga. Benar. Ia hanya ikutan trend membeli brompton. Selama tiga tahun dimiliki, sepeda itu hanya dipakai untuk menggowes tiga kilometer.
Singkat cerita, saya diperbolehkan menggunakan sepeda tersebut. Saat mengambilnya, saya tawari adik ipar dibawakan makanan untuk sarapan keluarganya. Dan, ia menyebut makan cepat saji yang sudah buka pagi-pagi. Makanan yang saya belikan seharga Rp 200.000. Jadilah saya bawa pulang sepeda brompton itu.
Dan hari Minggu 15 Desember 2019, akhirnya datang juga. Semua persiapan sudah maksimal. Saya merasa sangat siap berlari. Bersama 5.000 pelari lain saya sudah berada di lokasi sejak hari masih sangat pagi. Bahkan masih sempat melepas yang kategori 10K dan wheel chair.
Saat lari untuk kategori family run 4.2 K yang harus saya ikuti, saya pun turut melepas sehingga saya berada di urutan akhir setelah seluruh peserta meninggalkan garis start. Tentu hal yang sama untuk Dewan Pengawas dan Direksi bpjamsostek. Panitia sepertinya tidak ingin jika kami lah yang memenangkan lomba ini.
Walau start di urutan akhir, saya yang ditemani istri dengan slow jogging technique dapat melalui banyak peserta lain yang ngebut di awal namun ngos-ngosan baru pada kilometer kedua. Kami juga melewati keluarga yang membawa putera-puterinya atau bahkan cucunya.
Tidak lama. Saya sampai juga di garis finish. Lalu medali pun dikalungkan. Buah pisang dan minum melengkapi suasana. Lumayan untuk mengembalikan energi dan air yang hilang dari tubuh.
Hal yang menyenangkan dari kegiatan sehat ini adalah bertemu banyak rekan dari berbagai kalangan, berbagai klub lari, dari berbagai instansi, dan dari berbagai kota. Saya bertemu Mas Didik Djunaedi dan mbak Yenny, kakak angkatan sewaktu kuliah.
Mas Didik ini jika lari selalu menggunakan blangkon sebagai ciri khasnya. Bang Pebriyanto dari OJK juga ikut dalam kategori 10 K, yang menurut cerita berkompetisi menurunkan berat badan hingga 15 kg dengan rekan seukurannya.
Saya pun bertemu dengan Pak Asep Suwanda rekan sewaktu di Kementerian Keuangan yang kini berkarir di KPK. Nah yang saya sudah lama nggak bertemu pun bisa berfoto ria di arena lari. Mbak Sinta Aryani yang saya kenal sewaktu di Oregon State University ini susah untuk ditemui kecuali di acara lari.
Even lari mana pun diikuti. Sampai-sampai mendapatkan jodoh, Mas Arif, di lintasan lari. Mungkin semboyan mereka: kejarlah daku, kau kunikahi. Selamat ya Mbak Sinta dan Mas Arif. Dan masih banyak lagi rekan yang saya jumpai.
Saya diarahkan untuk menuju tenda putih setelah pendinginan selepas lari. Di sinilah tersedia berbagai hidangan yang bisa-bisa membuat gagal diet. Lari hanya 4.2 K, makannya 5 K atau bahkan 10 K (kilogram maksudnya).
Sambil menunggu yang lari 21 K dan Relay Marathon 42 K, peserta yang sudah menyelesaikan lintasannya dihibur oleh Project Pop yang dipandu oleh MC yang super kocak Mas Reza Chandika dan Kak Melanie Putria.
Ada yang spesial dalam acara Relay Marathon bpjamsostek ini. Peserta race yang kebetulan dari kaum penyandang cacat yang menggunakan wheel chair. Semangatnya luar biasa untuk berkompetisi dan untuk menjalani kehidupan agar lebih berguna lagi. Ini yang perlu dicontoh untuk kita terus membangun negeri.
Ucapan terimakasih untuk seluruh peserta relay marathon bpjamsostek dan tentunya panitia yang luar biasa. Ajang lari ini diperuntukkan juga agar peserta mulai familiar sebuatan sayang untuk BPJS Ketenagakerjaan yang baru.
“Panggil kami bpjamsostek,” begitu Direktur Utama berpesan. Pesan yang tolong bisa disampaikan saat peserta nanti lari di mana pun juga. Sehat terus pekerja Indonesia, sejahtera selalu hingga masa tua.
Dan, lantunan lagu Goyang Duyu dari Project Pop membuat semua peserta bergoyang. Serta ditutup dengan lagu Ingatlah Hari Ini. Sebuah pesan yang baik agar momen Relay Marathon ini terus diingat, demikian juga ingat pada panggilan baru kami, bpjamsostek. (*)
Depok, 16 Desember 2019
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS