Oleh: Dr. H. Joni.SH.MH.
Masalah besarnya biaya yang bersumber dari BPHTB (biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) menjadi sorotan. Pasalnya besarnya yang tidak sama antara satu kawasan dengan kawasan lain. Juga relatif mahal kendatipun sudah ada aturan normatifnya. Mahalnya biaya ini menjadi keluhan publik yang seharusnya segera diapresiasi oleh pihak berwenang, khususnya kantor pertanahan dan pihak terkait lainnya.
Alasan karena itu sebagai pemasukan bagi negara tentu terasa sumir. Pemasukan negara dari sektor ini menduduki prosentase besar, apa lagi jika digabungkan dengan perolehan dari pajak. Menjadi pemasukan terbesar yang boleh dikatakan menyamai perolehan negara dari cukai rokok. Oleh karena prosentase perolehan tiap tahun ditargetkan terus meningkat, akibatnya BPHTB juga terus menanjak.
Perolehan BPHTB
BPHTB adalah Perolehan uang yang bersumber dari BPHTB berdasarkan aktivitas administratif ketika akan melakukan jual beli tanah dan bangunan. Di sini penjual pasti akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) atau uang pembayaran harga tanah yang diterima, sedangkan untuk pembeli dikenai pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atau perolehan hak atas tanahnya. Bahwa pada saat transaksi jual beli tanah yang menjadi subjek pada pajak biaya BPHTB kepada pribadi ataupun Badan. Yaitu pembeli dasar pemberian BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak NJOP atas harga transaksi. Sedangkan untuk nilai tukar menukar hibah atau warisan maka dikenai pajak NPOP.
Dalam kaitan ini berdasarkan implikasi aturan yang ada NPOP bisa saja lebih kecil atau lebih besar dari NJOP tergantung dari kesepakatan pembeli dengan penjual. Artinya manakala harga transaksi lebih kecil dari NJOP maka dasar penentuan NPOP adalah nilai NJOP dan begitupun sebaliknya. Hal lain, bahwa yang menentukan besarnya nilai BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Hal Ini merupakan nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan pajak BPHTB. Untuk ini berdasarkan aturan ditetapkan besarannya yaitu sekitar 5 persen.
Permasalahannya, ternyata besaran biaya tersebut secara kuantitas tidak sama besarnya antara satu kawasan dengan kawasan lain. Setiap Daerah atau kawasan mempunyai peraturan berbeda mengenai NPOPTKP tersebut. Dalam hal ini ada yang tinggi dan ada yang rendah tergantung kepada kebijakan Daerah masing masing, yang dasarnya diambil berdasarkan mobiitas ekonomi dan harga tanah di Daerah setempat. Untuk Jakarta misalnya, ditetapkan sebesar Rp 80.000.000 untuk transaksi jual beli tanah Rp 350 juta untuk perolehan hibah wasiat.
Perbedaan itu, secara normatif didasari atas filosofi pembayaran pajak yaitu kemampuan dari pembayar pajak, yang bertumpu pada peran serta masyarakat dalam pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat. Dalam hal ini melalui peningkatan penerimaan negara dengan cara pengenaan pajak. Permasalahannya, mengapa BPHTB dinamai bea, bukan pajak?. Dalam kaitan ini ada beberapa ciri khusus yang membedakan bea dengan pajak.
Pertama, bahwa pembayaran pajak terjadi lebih dahulu daripada saat terutang. Contohnya, pembeli tanah bersertifikat sudah diharuskan membayar BPHTB sebelum terjadi transaksi atau sebelum akta dibuat dan ditandatangani. Hal ini terjadi juga dalam bea materai. Siapapun pihak yang membeli meterai tempel, berarti ia sudah membayar bea materai, walaupun belum terjadi saat terutang pajak.
Kedua, adalah frekuensi pembayaran bea terutang dapat dilakukan secara insidensial atau berkali-kali dan tidak terikat oleh waktu. Misalnya, membeli atau membayar materai tempel dapat dilakukan kapan saja. Demikian pula dengan membayar BPHTB terutang. Hal ini tentunya berbeda dengan pajak, yang harus dibayar sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan dikenakan terhadap orang atau Badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan atas suatu hak atas tanah dan atau bangunan ini bisa diartikan bahwa orang atau badan tersebut mempunyai nilai lebih atas tambahan atau perolehan hak tersebut, di mana tidak semua orang mempunyai kemampuan lebih untuk mendapatkan tanah dan atau bangunan.
Untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997 dan telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 (selanjutnya hanya disebut UU BPHTB). Disebutkan bahwa BPHTB adalah bea yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Untuk itu, setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, warga negara diwajibkan membayar BPHTB. Dalam bahasa sehari-hari BPHTB juga dikenal sebagai bea pembeli, jika perolehan berdasarkan proses jual beli. Tetapi dalam UU BPHTB, BPHTB dikenakan tidak hanya dalam perolehan berupa jual beli. Semua jenis perolehan hak tanah dan bangunan dikenakan BPHTB.
Terus Meningkatnya BPHTB
Meskipun besarnya BPHTB antara satu Daerah dengan Daerah lain tidak sama namun berdasarkan ketentuan UU Tentang BPHTB yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Adapun, perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi 13 (tigabelas) item, yaitu : Jual beli; tukar-menukar; Hibah; Hibah wasiat; Waris; Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; Penunjukan pembeli dalam lelang; Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; Penggabungan usaha; Peleburan Usaha; Pemekaran Usaha; dan terakhir Hadiah.
Kendatipun demikian dari perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang sering terjadi dalam masyarakat adalah: Jual beli; Tukar-menukar; Hibah (Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dari pemberi hibah, namun pemberi hibah masih hidup); dan Hibah wasit (Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada penerima hibah namun belaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia); dan terakhir yang berasal dari Waris.
Sebagai realisasinya diperlukan persyaratan administrative dan untuk ini bersifat dwiggen ataumemaksa. Tanpa kelengkapan dokumen dimaksud maka secara yuridis administratif tidak dapat diproses lebih lanjut. Untuk persyaratan ini sifatnya juga sama, dalam arti di seluruh Kawasan atau Daerah mengisyaratkan peersyaratan yang sama. Tidak bias disimpangi.
Untuk peralihan hak berupa jual beli, pajak dikenakan kepada kedua belah pihak baik kepada penjual ataupun pembeli. Kepada penjual dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan pembeli dikenakan BPHTB yang besarnya dihitung berdasarkan harga perolehan hak atau Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Dalam bahasa sehari-hari, NPOP bisa juga diartikan sebagai nilai transaksi atau nilai kesepakatan harga antara penjual dan pembeli.
Dalam prakteknya, nilai NPOP ini bisa lebih besar atau lebih kecil dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Banyak faktor yang mempengaruhi nilai NPOP, seperti perkembangan yang luar biasa di suatu Daerah dalam waktu singkat sehingga harga tanah meningkat dengan cepat. Daerah seperti ini nilai NPOP bisa jauh lebih besar dari NJOP. Sebaliknya, ada daerah yang nilai NPOP-nya lebih rendah dari nilai NJOP seperti daerah yang direncanakan akan dijadikan tempat pembuangan sampah, daerah yang berdekatan dengan area pemakaman, lokasi yang berada di dekat saluran udara tegangan ekstra tinggi atau sutet, daerah dengan potensi konflik, atau sengketa di kemudian hari.
Catatannya, bahwa jika nilai NPOP lebih besar dari NJOP, yang dijadikan sebagai dasar pengenaan PPh dan BPHTB adalah NPOP. Akan tetapi, jika NPOP lebih kecil dari NJOP, yang dijadikan dasar untuk perhitungan PPh dan BPHTB adalah NJOP. PPh atas peralihan tanah dan bangunan dihitung sebesar 5% dari NPOP atau NJOP. Sedangkan untuk perhitungan BPHTB, NPOP dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) kemudian dikali 5%.
Dengan demikian permakluman mengenai semakin meningkatnya BPHTB bisa dipahami sebagai sesuatu yang tidak terelakkan. Jadi tidak bisa dinyatakan bahwa ini merupakan bentuk kezholiman negara terhadap rakyatnya. Secara logis tidak mungkin terjadi penurunan pungutan, karena mobilitas ekonomi dan kebutuhan akan tanah semakin hari pasti semakin meningkat. ( Penulis, Notaris, Dosen STIH Habaring Huring, Pengamat Hukum dan Sosial tinggal di Sampit Kalimantan Tengah)