Ke Jogja saya kembali. Atau saya ke Jogja kembali. Mana yang lebih pas dari dua kalimat itu, monggo dirasa-rasa. Namanya juga ke Jogja, semua diukur dengan rasa. Roso lan pangroso. Nah, kali ini, saya juga akan cerita soal rasa.
Cerita dimulai dari pertanyaan, mengapa acara dibuat di Jogja (lagi). Apa yang membuat Jogja menjadi pilihan? Mungkinkah sekadar modus? Tapi barangkali, ingin menjebak minat saya, agar tertarik untuk hadir jika acara dibuat dalam balutan suasana Jogja.
Jadilah pekan lalu, saya kembali ke Jogja. Eh, ke Jogja saya kembali. Apalagi, acara ini sangat penting. Kerjasama antara BPJS Ketenagakerjaan dengan Universitas Gajah Mada (UGM). Tapi sejatinya, saya lebih mengikuti agenda dari Deputi Direktur Bidang Learning, Pak Desto Bagus.
Ada dua acara sekaligus diadakan di Jogja. Sudah sangat lama dirancang sehingga susah jika dibilang ini sekedar penyerapan anggaran menjelang akhir tahun. Sebelum acara kolaborasi dengan UGM, agenda sudah diawali dengan penyiapan pembuatan blue print program pensiun sistem jaminan sosial nasional.
Ini merupakan kajian penting yang digawangi oleh Aktuaris Badan (jika tidak mau menggunakan istilah yang lebih umum Aktuaris Perusahaan) yang sekaligus sebagai Deputi Direktur Bidang Aktuaria, Pak Pramudya.
Jangan dulu ada yang tersinggung dengan pembuatan blue print ini. Tentu kami tahu sebatas mana kewenangan yang ada. Blue print ini kelak disampaikan kepada para pengambil keputusan negeri ini. Sebagai masukan didasarkan pada data dan pengalaman mengelola jaminan pensiun walau untuk waktu yang belum lama.
Pesan penting yang saya sampaikan di awal bahwa blue print sedapat mungkin disusun dengan niat baik dan terhindar dari konflik kepentingan selaku badan penyelenggara. Dasarnya pun jelas. Data, pengalaman, asumsi, dan proyeksi, serta benchmarking ataupun belajar baik dari kisah sukses maupun pengalaman gagal negara lain.
Tentu pada bagian akhir akan ada semacam rekomendasi atau alternatif langkah agar program jaminan pensiun dapat memenuhi tiga hal: sustainable, adequate, dan affordable.
Dalam diskusi tentang jaminan pensiun, hadir pula ahli jaminan pensiun dari Korea Selatan. Namanya Mr. Bae. Sesuai dengan namanya, beliau memang baik. Sangat baik malahan. Bukan hanya baik, tapi kecerdasan dan pengalamannya luar biasa.
Pengalamannya bekerja di National Pension Services Korea lebih dari 30 tahun. Tentu Mr. Bae bukan sebagai artis drakor atau K-POP. Entah sewaktu mudanya. Tapi Mr. Bae sebagai ahli yang membantu Indonesia, khususnya BPJS Ketenagakerjaan. Pembiayaannya pun dari pemerintah Korea Selatan.
Sharing Pak Bae tidak hanya kisah enaknya saja. Tapi juga pasang surutnya membangun jaminan pensiun di Korea. Tidak semudah membalik telapak tangan. Tidak kalah penting peran dari pemimpin negara untuk mensejahterakan rakyat dan menyiapkan kehidupan yang lebih baik di saat memasuki usia tua.
Bagaimana mengedukasi banyak pihak untuk paham pentingnya jaminan pensiun. Lalu sharing bagaimana Korsel memikirkan kaum yang penghasilannya rendah untuk tidak dibiarkan nelongso di masa tuanya. Justru jaminan sosial ini hadir untuk dapat mengajak kaum yang berpenghasilan pas-pasan atau kurang ini bergabung sehingga terjamin masa tuanya.
Waktu makin larut tatkala diskusi jaminan pensiun semakin seru. Saya minta izin kepada teman-teman untuk mengajak Pak Bae meminggalkan rapat. Waktu sudah hampir pukul 22.00 wib. Rasanya perlu saya mengenalkan Jogja kepada pak Bae yang baru pertama kali ke Kota Gudeg ini.
Saya ajak Pak Bae mengenal istimewanya Jogja dengan diawali dengan menjelaskan Tugu Yogyakarta atau Tugu Golong Gilig saat melewati tugu paling masyur itu. Tugu atau pal berwarna putih (makanya disebut juga Tugu Pal Putih) ini berada di perempatan antara Jalan Sudirman, Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan AM Sangaji dan Jalan Pangeran Diponegoro.
Tak lupa sejarah dibangunnya tugu yang dulu dinamai Tugu Golong-Gilig pada masa Hamengkubuwono I. Bumbu kisah magis tentang Tugu Yogyakarta ditambahkan agar cerita menjadi lebih istimewa.
Membuka jendela mobil saat melewati Tugu Jogja memberi pandangan yang lebih jelas pada Pak Bae. Banyak orang yang berkerumun untuk berfoto tak peduli ramai lalu lintas. Pak Bae makin terpana melihat padatnya orang yang menikmati malam di Jalan Malioboro.
Belum lagi para pengamen, penjual kerajinan, atau pun angkringan. Saya bilang ke Pak Bae bahwa kita bisa persamakan Malioboro itu dengan Myongdong di Seoul Korsel yang ramai saat malam tiba. Ada pertanyaan yang susah saya jawab dari Pak Bae, “Mereka (yang di Malioboro) itu terus tidurnya jam berapa?” Bagaimana saya bisa menjawabnya, karena tak mungkin saya tanya satu per satu.
Keseruan berlanjut saat sampai di Alun-Alun Kidul (sebutan kerennya Alkid) Jogja. Bukan kendaraan berhias saja yang menjadi daya tarik Alkid. Tapi juga masangin. Masangin ini sebenarnya singkatan dari masuk dua beringin. Jadi, masangin adalah istilah berjalan melewati antara dua pohon beringin yang ada di tengah-tengah Alkid, dengan mata tertutup.
Tentu seperti biasa ada mitos yang menjadi pelengkap munculnya kegiatan masangin. Kepada Pak Bae saya bilang, “jika Pak Bae adalah orang yang baik maka walaupun dengan mata tertutup, Pak Bae akan bisa melewati antara dua beringin yang jaraknya lebar itu. Tetapi jika Pak Bae bukan orang yang baik-baik, maka akan melenceng ke kanan atau melenceng ke kiri atau bahkan berbalik arah.”
Mendengar penjelasan saya tadi, Pak Bae langsung menolak untuk mencoba masangin. Beliau mengaku, bukan orang yang tanpa dosa. Bukan orang yang masuk dalam kategori “good man”. Begitu kira-kira alasan penolakan Pak Bae.
Dan, saya harus minta maaf ke Pak Bae bahwa sebenarnya mitosnya tidak seseram itu. Tapi memang, untuk bisa melewati dua beringin di Alun-alun Kidul Jogja, dibutuhkan hati yang bersih. Setidaknya, ketulusan menjalani hidup.
Walaupun kelihatannya sangat mudah melewati di antara dua beringin itu, tapi banyak orang yang gagal. Nah, yang sukses dimitoskan bahwa apa yang dicita-citakan akan terkabul. Jika tak ingin terjebak pada mitologi, anggaplah ini sebuah permainan yang seru. Mungkin para ilmuwan bisa meneliti, kenapa banyak yang gagal melewati di antara dua pohon beringin tersebut.
Melihat banyaknya pengunjung yang mencoba permainan masangin ini, akhirnya Pak Bae mau mencoba keberuntungan. Setelah sewa penutup mata seharga Rp 5000, Pak Bae rela ditutup matanya dan berjalan menuju ruang luas antara dua pohon beringin itu.
Penasaran makin timbul karena sudah sangat yakin berjalan lurus dan yakin tidak berbelok, tapi nyatanya melenceng jauh dari sasaran. Diulanginya hingga empat kali. Dan hasilnya semuanya meleset dari sasaran.
Ada sekali saja Pak Bae berhasil. Itu pun saat saya tidak melihatnya karena tiba-tiba sakit perut dan harus mencari tempat yang pas untuk itu. Tentu bukan di bawah pohon beringin kembar Alkid.
Jangan ditanya apakah saya sukses melewati antara dua beringin dengan mata tertutup. Sebab, saya malah berbalik arah. Bukan menuju celah antara dua pohon beringin tapi membelakangi dan menjauhi dua pohon beringin.
Dengan langkah yang agak terbirit-birit. Dan tak kuat lagi, saya buka penutup mata itu dan ternyata saya berhasil. Ya, berhasil sampai tempat yang saya cita-citakan, yaitu tempat yang bertuliskan TOILET. Legalah malam itu. Meski harus tambah ongkos Rp 2000. (bersambung)
Salam NKS: Ngayogyakarto Kangen Selalu