Masih di Jogja. Minggu siang, setelah menghadiri resepsi pernikahan kerabat, saya menuju ke rumah di dukuh Balong, Samigaluh, Kulon Progo. Tidak sendirian, tapi ditemani sahabat saya, Dita dan Heroe. Rencananya sih mau menginap di rumah sambil merasakan udara yang masih bersih.
Siang itu dari jendela rumah terlihat beberapa warga sedang bergotong royong membangun sumur di pekarangan mbah Atmo. Ya musim kemarau yang panjang ini membuat sumur maupun mbelik surut airnya.
Di pekarangan mbah Atmo ada mbelik yang airnya dimanfaatkan warga untuk keperluan minum atau memasak. Airnya bersih. Dan tak pernah kering meskipun kemarau. Karena ada sumber air, musyawarah warga mengutus pak Dukuh untuk minta izin pada mbah Atmo agar dibangun sumur untuk keperluan bersama.
Kebetulan pekarangan saya bersebelahan dengan pekarangan mbah Atmo. Hanya dibatasi jalan setapak yang berfungsi sebagai batas pedukuhan. Meskipun saya dan mbah Atmo bertetangga namun pekarangan kami beda dukuh. Pekarangan Mbah Atmo yang luasnya 1 hektar lebih, berada di Dukuh Sendang Mulyo. Sementara pekarangan saya yang kecil berada di Dukuh Balong.
Menurut cerita Heroe, mbah Atmo berusia 115 tahun. Jadilah siang itu saya dan Dita sengaja menemui mbah Atmo yang sedang nyangkul di ladangnya. Sengaja mencari tahu rahasia panjang usia. Apalagi, meskipun usianya telah lanjut namun mbah Atmo dengan perawakannya yang kecil masih rajin mengurus ladangnya sendiri.
Di rumahnya, di Dukuh Sendang Mulyo, mbah Atmo saat ini hanya tinggal bersama cucu keponakan. Sebab, istri dan dua putranya sudah lama meninggal.
Sambil duduk di tanah, Mbah Atmo berkisah. Kisah hidupnya yang panjang. Ia juga telah menjadi Kepala Dukuh Sendang Mulyo sejak jaman Belanda. Terus-menerus hingga mengalami pergantian empat lurah. Kalau dihitung-hitung, mbah Atmo adalah kepala dukuh tertua, karena masa kepemimpinannya sudah 35 tahun.
Mendengar itu, saya membayangkan perjalanan panjang mbah Atmo memimpin pedukuhan Sendang Mulyo. Dulu, saat pertama menjadi Pak Dukuh, tentu, usianya yang masih muda.
Tidak hanya menjadi usia kepemimpinannya sebagai Pak Dukuh yang panjang. Umur mbah Atmo juga panjang, melintasi generasi demi generasi. Saya kagum. Lalu, secara serius, bertanya rahasia umurnya yang panjang.
Sebelum menjawab, mbah Atmo tersenyum. Saya tidak tahu arti senyuman itu, tapi kemudian ia berkata agak pelan. Begini katanya jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: hidup itu harus gemi, nestiti, ngati-ati, supaya ayem, tentrem.
Saya tahu. Prinsip mbah Atmo, adalah prinsip umum orang Jawa. Hidup, bagi orang Jawa memang harus hemat, cermat, berhati-hati agar tenang dan tentram. Selalu bersyukur atas apa yang dimiliki dan tidak iri terhadap apa yang dimiliki orang lain.
Mendengar rahasia umur panjang mbah Atmo, saya agak kecewa. Bukan apa-apa. Karena yang ia ucapkan, bukan lagi rahasia, melainkan sudah menjadi rahasia umum.
Semua orang Jawa, saya percaya, tahu dengan rahasia itu. Tapi tidak semua orang bisa dengan mudah menjalani hidup seperti mbah Atmo.
Sayang sekali, saya belum sempat bertanya cara menjalankan prinsip hidup yang membuatnya awet usia. Padahal kami ngobrok cukup lama. Tapi saya harus pamit karena akan melihat matahari terbenam di Samigaluh. Saya berjanji akan menemuinya lagi, untuk berguru cara meramu sikap gemi, nestiti, ngati-ati dalam kehidupan, sehingga bisa menemui harmoni hidup. Selaras.(*)