Dan akhirnya, rasa kecewa karena gagal ikut Gayeng Regeng Mlaku Bareng Pak Hasto Wardoyo, hari Minggu 13 Oktober 2019 harus segera dilupakan. Lebih baik begitu. Tidak baik buat jiwa dan raga jika berlama-lama dalam kecewa. Apalagi berlama-lama tak bisa move on.
Maka, saat bangun di tanggal 14 Oktober 2019, saya sudah niatkan untuk mlaku. Tidak mlaku bareng, karena sendirian. Juga tidak gayeng regeng, sebab hanya berteman angin pagi. Berbeda dengan Pak Hasto yang mlaku bareng 4.000 warga Kulon Progo. Sudah pasti gayeng tur regeng.
Jalan kaki pagi-pagi, walau mlaku dewekan. Sendirian, nggak bareng siapa-siapa, tapi asyik. Toh sudah besar ini. Lagi pula Brussel bukan kota yang menakutkan untuk jalan kaki sendiri. Kali ini saya menjadi anggota Perjaka Brubel, Perkumpulan Pejalan Kaki Brussel Belgia. Bukan hanya anggota Perjaka Senja (Perkumpulan pejalan Kaki Senayan Jakarta).
Waktu di Brussel, lima jam lebih lambat dari waktu di Jakarta. Jadi, saya terlihat lebih muda lima jam. Suhu udara sudah mulai dingin, walau musim dingin belum benar-benar resmi dimulai.
Waktu sholat subuh di kota tua Brussel, adalah 06.12 pagi. Matahari mulai terbit pada pukul 08.02 pagi. Beruntungnya acara World Social Security Forum dimulai pukul 9.30 pagi. Ada waktu yang cukup banyak untuk sekadar mlaku, jalan kaki, mengitari area penting kota Brussel.
Tapi memang. Mlaku dewe sebagai pengobat kecewa tidak bisa ikut mlaku bareng, membuat dingin terasa lebih menggigit. Apalagi matahari cenderung aras-arasen alias malas bangun untuk ukuran orang Indonesia. Mosok jam 8 belum kelihatan.
Biar ada yang percaya saya benar-benar jalan pagi, selfi adalah barang bukti. Kadang foto sendiri, tapi sesekali meminta tolong difoto saat bertemu turis lain yang sama-sama butuh bantuan. Simbiosis fotoalisme mungkin namanya.
Misalnya saat melewati Grand Place Brussels yang kondang itu. Ya, Grand Place. Ini merupakan tujuan wisata wajib. Sekaligus tengara paling berkesan di Brussels. Grand Place dianggap sebagai salah satu tempat paling indah di Eropa. Dan, sejak 1998, UNESCO telah menjadikannya sebagai situs warisan dunia.
Mlaku pagi seorang diri, tidak memungkinkan mlaku-mlaku menikmati grand place lebih lama. Nah sekarang waktunya wong Nganjir, Kulon Progo, breakfast ala orang Eropah. Tentu bukan dengan nasi goreng, gethuk, growol, atau geblek tempe benguk kesukaan saya.
Ini benar-benar sarapan pagi layaknya orang Eropah. Cokelat panas dan jus jeruk. Sungguh pilihan yang agak ajaib, karena perpaduan dua dua minuman itu, akan membuat perut diremet-remet.
Belum lagi masih ditambah dengan croissant, cereal, scrambled eggs, dan waffle. Ada pula salmon asap dan keju. Lengkap tapi perut apa muat? Saya juga tidak yakin, perut Nganjir rela disusupi makanan begitu rupa.
Bikin cokelat panas dan waffle harus dilakukan sendiri jika ingin tersaji hangat. Untung dulu waktu kecil sudah ikut Balai Latihan Kerjanya milik keluarga yang dipimpin oleh simbok saya sendiri agar kelak bisa memasak. BLK gaya simbok saya, ternyata berguna di saat-saat seperti di Brussel ini. Saya tidak bisa membayangkan anak-anak yang dimanja oleh orangtuanya jika harus diminta memasak. Saya kok yakin, anak-anak model itu, masak air saja bisa-bisa gosong.
Sudah. Perut sudah kenyang. Rasanya cukup menjadi modal untuk tenang mengikuti World Social Security Forum (WSSF). Jalan kaki 12 menit sampai lokasi. Ternyata saya agak telat, karena sudah ada beberapa sahabat saya yang mendahului selfie.
Dengan latar belakang megahnya gedung tempat penyelenggaraan WSSF 2019, Pak Teguh Purwanto, Pak Hendra, Pak Muhammad Izzadin, dan Pak Ucus sudah bergaya padahal acara belum juga tiba. Saking asyiknya, mereka tak sadar ada orang lain yang memotret kegiatan keselfian mereka.
Puas jadi paparazi, saatnya masuk ruang acara WSSF 2019 yang super besar. Sangat mengagumkan. Apalagi acara dibuka dengan sebuah performance artis terkenal, tapi maaf saya lupa namanya. Hall yang besar itu penuh. Panitia menyebut yang hadir berjumlah lebih dari 1.400 delegasi dari sekitar 149 negara.
Untuk sebagian orang, acara pembukaan dianggap acara tidak terlalu penting. Seremonial belaka. Tapi sejatinya tidak demikian. Saya sangat menikmati pembukaan event bergengsi WSSF yang hostnya Belgian Social Security ini. Mengapa? Banyak pesan penting justru terselip dalam sambutan para pimpinan ISSA atau pun dari host Belgian Social Security.
Lihat saja tema WSSF 2019. Protecting people in changing world. Atau dalam terjemahan bebasnya melindungi orang (semua orang bahkan) di dunia yang terus berubah. Sebuah pesan yang sangat dalam. Pesan bahwa jaminan sosial adalah hak setiap orang. Bahwa dunia yang berubah menambah rentan orang terkena risiko. Risiko sakit, risiko kecelakaan kerja, risiko kehilangan pekerjaan, risiko panjang usia, risiko meninggal, dan sebagainya.
WSSF 2019 memamerkan atau kata lebih halusnya mempertunjukkan (sekaligus memperdebatkan) bagaimana lembaga jaminan sosial, melalui upaya mereka untuk mencapai keunggulan. Dan melalui investasi dalam inovasi, memainkan peran penting dalam melindungi orang-orang di dunia yang berubah.
President ISSA dalam sambutannya menyampaikan bahwa per hari ini, masih ada lebih dari separo penduduk dunia belum tersentuh jaminan sosial jenis apapun. “Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk belerja lebih keras lagi. Terutama untuk memperluas jaminan sosial, selaras dengan UN SDGs. Dan, WSSF 2019 ini hendaknya menjadi milestone untuk jaminan sosial.”
Seorang pejabat Brussel, dalam forum internasional itu, melempar gagasan, memilih hari jaminan sosial dunia. Dalam skala nasional, sebenarnya saya punya ide yang sama. Jika ada hari asuransi, ada hari dana pensiun, seyogyanya (bukan karena saya orang Yogya) Indonesia punya Hari Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas). Tujuannya agar masyarakat semakin sadar pentingnya, minimal teringat saat kita memperingati hari Jamsosnas.
Banyak hal yang mau saya tulis dari WSSF 2019 ini. Namun ada kekhawatiran tersendiri akan menjadi bacaan yang terlalu serius. Jadi walau belum selesai, saya tuliskan secara pendek, topik hari demi hari dalam 5 hari ini:
- Tantangan jaminan sosial dan jawaban-jawaban inovasinya
- Bentuk jaminan sosial masa depan
- Keunggulan dan inovasi dalam jaminan sosial
- Memperkuat dampak sosial dari jaminan sosial
- Tidak meninggalkan siapa pun: mewujudkan komitmen global.
Di sela-sela acara yang serius itu, ada yang sangat penting. Penting bukan hanya untuk saya. Tapi untuk BPJS Ketenagakerjaan, alias BPJSjamsostek. Rabu pagi, 16 Oktober 2019, saya diminta panitia untuk duduk di kursi paling depan bersama dengan Pak Direktur Utama. Bahkan kursi juga disiapkan untuk Direktur Pelayanan bpjamsostek yang memilih duduk agak belakang.
Tepat pukul 10 pagi, bpjamsostek dipanggil untuk naik ke panggung. Deg-degan juga, karena tiba-tiba saja, kami semua mendapat tepuk-tangan. Tepuk-tangan panjang itu, menandai diterimanya Penghargaan dari International Social Security Association (ISSA).
Bukan hanya satu, tapi dua penghargaan sekaligus. Certificate of Excellence untuk bpjamsostek yang pertama terkait dengan penerapan ISSA Guidelines dalam ICT (Information and Communication Technology). Dan yang kedua terkait dengan penerapan ISSA Guidelines dalam Return to Work and Reintegration.
Tentu yang membuat surprise, penghargaan di bidang ICT. Salah satu bidang yang kebetulan sejak 2016 menjadi bagian hari-hari saya selama di bpjsjamsostek. Pasti, penghargaan ini didapat karena kerja keras semua tim, terutama Pak Direktur Utama yang sangat concern pada masalah ini. Juga rekan direksi lain. Termasuk, yang tidak kalah luar biasa adalah tim di deputi Pengembangan TI dan Operasional TI.
Jelas. Penghargaan ini bukan jerih payah saya. Apalagi saya sendiri. Saya hanya simbol yang mewakili tim TI hebat bpjamsostek untuk menjemput penghargaan. Tak lebih dari itu. Yang kerja keras dan kerja cerdas justru tim yang dikomandani Pak Diddi Siswadi (yang sekarang memasuki masa persiapan pensiun-MPP) dan Pak Nasipiyanto (yang bulan depan juga memasuki MPP).
Kerja keras Pak Diddi dan Pak Anto, yang tak kenal lelah, berbuah menis. Mereka mampu membuktikan kapasitasnya, meski semula banyak yang menyangsikan kemampuannya. Selama ini, juga tidak sedikit cibiran datang, lengkap dengan ‘gangguan’ serta ‘serangan’ dalam berbagai bentuk.
Tapi mereka memang luar biasa. Tetap bekerja. Abai pada rasa sakit akibat dicibir, diganggu, dan diserang tanpa alasan yang jelas. Salut dan terimakasih untuk dedikasi Pak Diddi dan Pak Anto. Selayaknya, penghargaan tersebut untuk dedikasi mereka yang tinggi.
Seperti selalu saya pesankan (pesan yang saya teruskan dari simbok saya) bahwa niat baik dan kebaikan, tidak selalu dan serta merta memunculkan kebaikan pula. Kadang justru kebaikan kita dibalas dengan hal yang buruk.
Menanam kebaikan, bisa saja tumbuh keburukan. Tapi jika yang kita tanam adalah keburukan, jangan berharap akan berbuah kebaikan untuk kita. Pesan itu, sebenarnya sekadar terjemahan dari petuah simbok, “Yen kowe nandur pari, mungkin thukul suket teki. Ning nek kowe nandur suket teki, ojo ngarep bakal thukul pari.” Cek di buku NKS untuk artinya.
Jadi begitulah. Kini ISSA, lembaga internasional yang kondang, telah memberi pengakuan. Tak banyak negara sehebat Indonesia yang mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari ISSA. Maka secara khusus, lewat tulisan ini saya ingin mengucap kata matur nuwun, terimakasih.(*)
…bersambung lagi. Salam NKS