Selalu ada cerita dari Jogja. Juga saat saya pulang ke kota ini, beberapa waktu yang lalu. Inilah yang tak berhenti memberi bahagia, karena ke Jogja adalah bertemu segala yang berbudaya.
Pagi itu, saya sudah menuju ke Terminal 2 Soeta karena pesawat yang akan saya tumpangi dialihkan dari Halim ke Soeta. Untung lalu lintas Sabtu pagi tidak terlalu ramai sehingga dalam waktu yang singkat bisa sampai ke Bandara.
Saat sedang antre check in di counter salah satu maskapai penerbangan, tiba-tiba ada yang menyapa. Aha…ternyata Pak Joni mantan atasan saya ketika di pengawasan bank bersama istrinya juga akan ke Jogja.
Jadilah kami asyik mengobrol, bernostalgia sambil menunggu saat boarding. Obrolan tak putus sampai disitu. Saat sampai di Adisucipto, Pak Joni mengajak bareng satu mobil karena kebetulan arah tujuan kami sama yaitu daerah keraton.
Tidak sekar menumpang, saya juga ditraktir mampir sarapan soto Pak Soleh. Hemm… tentu saja tawaran yang menarik itu saya terima dengan suka cita.
Perut kenyang, jalan menuju Ndalem Gamelan menjadi lebih tenang. Di sana, telah menunggu Heroe dan Dita, sahabat sekaligus pemilik rumah tamu atau guest house Ndalem Gamelan. Terlihat di meja tamu tersaji minuman beras kencur dan kunir asem dingin. Ini kesukaan saya.
Memang sudah jadi tradisi, setiap menginap atau datang ke Ndalem Gamelan akan disuguhi minuman yang dibuat dari jamu atau empon empon itu. Terasa menyegarkan, di tengah terik matahari Jogja yang menyengat.
Setiap minum beras kencur, saya selalu memimpikan suatu saat nanti masyarakat kita terutama kaum milenialnya dapat menyukai minuman tradisional warisan leluhur. Dan mereka rela antri untuk mendapatkan segelas beras kencur atau kunir asem.
Kedatangan saya Jogja kali ini agak istimewa. Sebab, menghadiri pernikahan putra seorang kerabat di dekat Gamelan. Sebelum berangkat Dita sudah berpesan supaya saya membawa kain jarik dan kebaya dua pasang karena akan diminta untuk ikut acara siraman calon pengantin pria selain acara akad dan resepsi.
Mengingat waktu siraman masih nanti sore maka Dita mengajak saya ke Malioboro dan Pasar Beringharjo. Mencari kain jarik. Setelah mendapat kain jarik yang dicari, kami lebih masuki ke tengah pasar Beringharjo. Yang kami tuju adalah warung rantengan empal bu Warno di sudut belakang lantai dua.
Bu Warno tidak hanya menjual empal tapi juga ada paru, babat, iso dan lidah goreng serta abon yang rasanya enak gurih tanpa MSG. Makan siang terasa asyik ditambah dengan sayur lodeh. Bagi wong Jogja, tempat ini legendaris, laris, dengan harga yang tak membuat miris. Usaha Olahan empal matang atau rantengan ini telah dirintis sejak tahun 1930 dan diteruskan hingga kini.
Setelah makan, kembali saya menyusuri pasar Bringharjo menuju arah pintu utama di Malioboro. Tentu saja, sambil melihat lihat aneka pakaian batik yang harganya sangat terjangkau oleh wisatawan lokal.
Sebenarnya saya ingin mencari buah sukun kuning yang biasanya dijual di samping depan pasar Beringharjo. Tapi dicari-cari, tidak menemukan penjual sukun surgawi itu. Saya menyebutnya sukun surgawi karena saking enaknya. Sukun Jogja berbeda dengan sukun lainnya karena memiliki rasa yang manis dengan tekstur yang lembut.
Tapi ndilalah, saat sudah berada dalam mobil menuju arah keraton, saya melihat ada satu penjual sukun kuning di pojok luar pasar. Maka sesampai di Ndalem Gamelan segera saya meminta tolong penjaga rumah untuk membeli buah sukun tersebut di pasar Beringharjo. Akhirnya kesampaian juga menikmati sukun surgawi.
Tak terasa acara siraman sudah hampir tiba. Segera kami bertiga berjalan menuju rumah pak Santoso yang akan menikahkan putra sulungnya. Para tamu undangan sudah memenuhi halaman belakang yang dihiasi untuk acara siraman.
Terlihat juga ada kuali yang berisi dawet yang menggoda. Dawet ini, nanti setelah acara siraman, akan dijajakan oleh ibu mempelai. Untuk mendapat segelas dawet, para tamu membayarnya dengan uang kreweng (pecahan genting dari tanah) yang akan diterima oleh sang bapak.
Tradisi ini menunjukkan bahwa kehidupan manusia berasal dari bumi dan mengajarkan bahwa suami istri harus bekerjasama dalam membangun mahligai rumah tangga.
Cukup lama juga kami menunggu. Ternyata acara baru dimulai setelah dukun manten membawa sesaji yang diletakkan didekat tempat siraman. Ada tumpeng, jajan pasar, kembang boreh, kembang setaman dan beberapa toples berisi air yang konon berasal dari 7 sumber mata air di sekitar Jogja. Rupanya tidak hanya sesaji tetapi juga ada ayam yang diletakkan dibawah.
Saya kurang paham maknanya, namun upacara tersebut tentunya bertujuan untuk memohon berkah kepada Allah, menghilangkan segala pengaruh buruk, membersihkan jiwa dan raga sehingga sukses menempuh hidup baru. Tak lama kemudian setelah melakukan tradisi sungkeman, calon pengantin pria diapit oleh kedua orang tuanya berjalan menuju tempat siraman.
Saya mendapat giliran untuk memberikan siraman sebagai tanda doa restu pembersihan lahir batin kepada sang calon pengantin.
Setelah semua sesepuh mendapat giliran melakukan siraman kepada calon pengantin, tiba giliran sang ibu pengantin melakukan jualan dawet. Ikut mengantre membeli dawet, rasanya tidaka lengkap jika t idak berfoto sebagai penjual dawet.
Seluruh rangkaian siraman hari itu, dijalankan keluarga calon pengantin dengan tulus karena ingin menjaga tradisi leluhur. Sayang sekali pembawa acaranya tidak menjelaskan makna dari setiap tahapan siraman agar tamu yang hadir bisa memahami tradisi dimaksud dan tentunya kita ambil sisi positifnya.
Semoga upaya menjaga tradisi ini bisa dimaknai dengan bijak untuk menjaga kearifan lokal sehingga warisan leluhur tetap terjaga dengan baik.(*)