Mengubah Pemimpi jadi Pemimpin

Sebuah kisah entah harus disebut apa. Saya sampai kesulitan mencari kata yang pas antara haru, senang, bangga, dan terkejut. Berpadu menyatu. Ini terjadi pekan kemarin, sepulang saya dari menikmati Jogja.

Saat itu, tiba-tiba saja, saya diminta oleh Pak Desto, Deputi Direktur Bidang Learning Office di institusi saya bekerja, untuk membagi pengalaman. Soal bercerita pengalaman menjadi orang susah, memang sudah biasa. Paling tidak, dalam lingkaran dekat.

Tapi kali ini berbeda. Karena saya harus bercerita secara lebih lengkap, seperti cerita dalam buku NKS. Sejatinya ini sudah kali kedua saya mendapat keberkahan membagi pengalaman menjadi orang susah. Di dua kota berbeda: Jakarta dan Sentul (Bogor).

Saya mencoba menerka maksud Pak Desto. Benarkah agar peserta diklat dapat memetik hikmah dari sebuah memoar? Bisa jadi. Siapa tahu bisa NKS alias Niru Kepemimpinan Seseorang. Bukankah meniru bukanlah hal yang tabu?

Meniru untuk kemudian meramu gaya kepemimpinan orang yang dikagumi, sudah biasa. Mungkin karena kharismanya. Atau bisa karena kerendahan hatinya. Nah masalahnya mengapa saya yang diminta beriwayat? Ada apa dengan saya? Sebuah pertanyaan yang belum berujung jawab. Ah, ada ada saja.

Saya ingat, undangan pertama saat akhir bulan lalu. Persisnya tanggal adalah 25 September 2019 dengan tempat yang tidak jauh dari kantor pusat. Ndilalahnya, salah satu peserta diklat itu adalah Mbak Lina, orang yang sudah pengalaman mengatur jadwal saya sejak saya bergabung di BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK).

Sudah pasti saya tidak bisa mengelak. Memang pada jam tersebut saya belum terjadwal acara lain. Saya pun hanya pasrah dan bilang, “Baiklah”. Dan, oleh Mbak Lina langsung dijadwalkan. Tentu setelah berkoordinasi dengan panitia.

Nah, masalah baru muncul. Materi yang diminta oleh panitia cukup serius. Saya tak cukup siap untuk hal yang seserius ini. Memang tak berlebihan jika memang harus serius. Karena ini untuk program pengembangan SDM yang dikemas dengan sebutan ILDP, Intermediate Leadership Development Program.

Program ini dirancang untuk menyiapkan calon pemimpin pada level tertentu di BPJAMSOSTEK. Sebelum menjadi pemimpin, sudah seharusnya mereka dibekali dengan ilmu kepemimpinan yang diharapkan dapat dipraktekkan di lapangan.

Karena Mbak Lina juga menjadi peserta (merangkap sekretaris), saya tanyakan materi yang sudah disampaikan apa saja dan siapa narasumbernya. Mendengar penjelasan Mbak Lina, rasanya semua materi sudah lengkap. Materi yang berat dan serius.

Para pembicara yang berasal dari internal dan eksternal BPJAMSOSTEK, juga mumpuni semua. Terlebih sudah ada nama Direktur Umum SDM dan juga Ketua Dewan Pengawas. Jadi, apa masih perlu saya?

Itu belum apa-apa. Sebab, bicara tentang ilmu kepemimpinan, pasti saya gelagepan. Saya segera ingat nasihat simbok, petuah mewah untuk menjadi manusia yang berbudi: harus ukur baju badan sendiri. Tahu diri oleh karena kapasitas yang tidak tinggi.

Perlu dengar pendapat tentang materi, saya berkonsultasi dengan panitia selain meminta masukan dari Mbak Lina sebagai peserta diklat. “Mengapa tidak Bapak membagi pengalaman hidup hingga bisa menjadi seorang pemimpin? Kalau kami ini kan masih pemimpi, nah bagaimana bisa mengubahnya menjadi pemimpin.”

Saya terkaget-kaget dengan kalimat dan diksi merubah pemimpi jadi pemimpin. Masukan dari panitia dan perwakilan peserta ini, memberi suntikan percaya diri. Apalagi, panitia berusaha meyakinkan saya bahwa sebuah perjalanan panjang menundukkan kerasnya kehidupan, bisa menjadi inspirasi bagi calon pemimpin.

Sesungguhnya, kalau mau, saya bisa dengan mudah menjawab pertanyaan pemimpi jadi pemimpin. Lha wong, tinggal menambahkan huruf ‘n’ di bagian akhir kata tersebut. He…he…he…

Tentang hal itu, saya jadi teringat ketika memberi wejangan (wejangan warisan dari bapak-simbok dan mbah-mbah saya di Nganjir dulu) pada puteri pertama agar tidak terlalu banyak waktu untuk tidur.

Memang. Saya agak sebal juga, karena setiap libur, dia selalu menghabiskan waktunya untuk tidur. Mendengar wejangan tadi, dia menjawab bahwa semuanya itu diawali dari mimpi. Dan, untuk bisa bermimpi maka kita perlu tidur. Asem tenan,  iso wae, tukang ngiler.

Tapi okelah. Selama ini saya beberapa kali diundang oleh institusi lain untuk (secara gagah) melakukan bedah buku berjudul Nami Kulo Sumarjono. Membagi cerita perjalanan hidup. Bahkan diminta bercerita di depan mahasiswa dan pelajar. Sementara untuk institusi sendiri, saya hanya berani sharing untuk kalangan terbatas. Apalagi untuk sebuah acara sangat penting seperti leadership training, belum pernah.

Jadilah saya hari itu menjadi motivator sesaat. Mengisahkan perjuangan mengubah langkah hidup. Sangat rinci. Mulai lahir hingga kini. Terutama tentang nama untuk saya dan 6 saudara saya yang bertujuh memiliki nama dengan awalan Su, sehingga kami punya julukan tujuh ber’su’dara.

Petuah simbah-simbah yang mengalir lewat simbok, tidak lupa saya buka. Padahal ini sesuatu yang privat, rahasia, dan sinengker. Saya sengaja membuka rahasia ini, agar kita selalu menanam kebajikan walau tak selalu kebajikan yang kita tanam, berbuah kebajikan.

Kisah perjuangan tidak hanya saat sekolah, kuliah, atau kerja. Tapi juga kisah asmara berbalut romantisme layaknya anak muda. Kadang saya agak malu karena ketahuan pernah ditolak dan dijauhi gebetan.

Beruntung, saya tidak menyerah. Saya fikir, memperjuangkan cita-cita saja tak kenal lelah, masak memperjuangkan rasa cinta harus menyerah.

Jadilah dengan tekad bulat, bangkit diungkit doa. Doa orang teraniaya hatinya. Doa yang kuat berharap agar Tuhan menurunkan seleranya, sehingga saya bisa masuk dalam kriterianya. Doa yang lebih logis dibanding meminta bertambah ganteng seketika. Doa, perjuangan, dan kesabaran menunggu waktu yang akhirnya berbuah nyata.

Dalam kerja, banyak kiat diungkap. Agar tak hanya jadi staf yang rata-rata. Atau jika telah jadi pemimpin, bukan pemimpin yang biasa saja. Namun dapat lebih menonjol dan lebih mumpuni. Pemimpin yang hormat, respek, dan loyal pada atasannya dan yang ingat dan royal pada bawahannya. Pemimpin yang paham bahwa bawahan sangat penting, sama pentingnya dengan atasan. Tak akan terbayang malunya jika hanya atasan yang diingat tapi terlupa tak pakai bawahan.

Maka begitulah. Kesempatan itu datang. Tanggalnya, 8 Oktober 2019. Diklat BLDP, Basic Leadership Development Program bertempat di Sentul. Tapi ya itu, untuk mencapai lokasi, sudah penuh perjuangan. Saya harus berjibaku untuk bisa mencapai lokasi Diklat, karena bertepatan waktu dengan konser Shawn Mendes. Hujan juga turun begitu deras.

Dan saya sepakat membawakan materi yang sama dengan di Diklat ILDP. Panitia mungkin terkesan dengan tampilan pertama sebelumnya. Hingga saya diundang kembali. Lagi pula, kali ini panitia tak meminta sebuah topik secara spesifik. Saya tentu senang berbagi cerita.

Membagi kiat mengubah pemimpi menjadi pemimpin. Dan, kebahagiaan seorang pemimpin adalah saat banyak dari yang dipimpinnya mampu menjadi pemimpin-pemimpin baru yang sukses.

Peserta diklat juga bahagia karena semua mendapat buku NKS. Kisah sedih yang diceritakan justru dengan banyak tawa. Kali ini diceritakan kepada orang yang dipimpin. Dan mereka semua bertambah statusnya bukan sekedar hubungan atasan bawahan tapi mereka menjadi Sedulur NKS.

Salam NKS: Nanti Kamu Sukses

About redaksi

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca