Oleh: Man Suparman
PENAKUT. Jangan jadi bupati atau jangan punya keinginan jadi bupati. Jadilah penjual cingcaw atau penjual es, jika datang musim hujan selalu dihantui rasa takut, takut dagangannya tidak laku. Begitu candaan sebagian orang.
Jadi seorang bupati harus berani, bahkan pemberani (misalnya mengambil kebijakan yang tidak populer asalkan demi kepentingan rakyat). Ya, berani, berani demi kepentingan rakyat, karena hakikatnya seorang bupati adalah pelayan rakyat, bukan sebaliknya ingin dilayani seperti priyayi.
Tentu saja harus beraninya seorang bupati, bukan harus berani untuk melakukan korupsi, bukan harus melakukan pungli seperti menyunat dana alokasi khusus. Bukan harus mewajibkan bawahan menyunat anggaran kegiatan dinas lembaga kantor dan bagian, dan badan usaha milik daerah, sekian persen dan “mengembalikannya” untuk pribadi bupati.
Bukan, harus berani memasang tarif jual beli jabatan “wantun sabaraha”, bukan harus berani alih fungsi lahan sawah berpuluh-puluh hektar, lahan sawah diperkosa jadi pabrik industri. Bukan harus berani mengizinkan pelanggaran, mengkondisikan perizinan agar setor uang fee dari pabrik-pabrik bermiliar-miliar ke kantong bupati.
Tentu saja, bukan harus berani melakukan nepotisme melibatkan anak isteri, saudara, menantu, dan ipar dalam urusan kekuasaan, merecoki urusan mutasi, proyek dan politik. Bukan harus berani bargaining dengan DPRD untuk saling meloloskan program oriented menyelinap dibalik nama program berbaju aspirasi.
Juga, bukan harus berani memaksakan kehendak kepada bawahan dengan selogan “sing bisa pabisa-bisa” yang diartikan secara nyeleneh (negatif).Tetapi yang dimaksud seorang bupati atau yang akan menjadi bupati, yaitu harus berani meng-enyahkan sikap perilaku dan keinginan seperti itu, jika dijalani dan bernasib sial bisa masuk bui, kecuali jika memililiki ilmu menghindari nasib sial. Kalau memang ada guru yang seperti itu, belajarlah. Konon di negeri Jin sana ada Dalem Sepuh yang sakti mandraguna.
Dalam era demokrasi, era kebebasan, bebas berpendapat, bebas berbicara, bebas berserikat, seorang bupati, dituntut harus berani atau memiliki keberanian , bukan hanya berani saat kampanye meminta dipilih agar terpilih jadi bupati. Tetapi sangat dituntut berani menghadapi masyarakat atau rakyat yang menyampaikan aspirasi, menyampaikan suara rakyat, baik melalui aksi unjukrasa, melalui media cetak, melalui media online dan tentunya melalui medsos mainan baru masyarakat yang hidup di zman now yang karut marut.
Ketika ada aksi demo, seorang bupati harus berani menghadapi pendemo, bukan menghilang dari Pendopo dengan alasan ada acara lain. Padahal setiap yang akan demo dipastikan sudah medapatkan ijin dari kepolisian (Antara kepolisian dengan pemkab sudah terbangun koordinasi). Sehingga mustahil tidak tahu ketika akan ada yang demo ke Pendopo, sehingga tidak pergi kemanapun pergi mengelana untuk pilkada nanti.
Keberanian seorang bupati yang berani menghadapi pendemo, yaitu ada ditengah-tengah pendemo, medengarkan aspirasi yang mereka sampaikan. Tentunya, pendemo akan merasa senang, suaranya didengar. Suasana pun akan menjadi cair, tidak akan terjadi ketegangan, apalagi sampai terjadi anarkis. Soal aspirasinya nanti akan dilaksanakan atau tidak urusan lain, bupati yang memiliki waenang atau kebijakan.
Seorang bupati harus pula berani menerima kritikan-kritikan, hakikatnya kritik adalah masukan untuk perbaikan-perbaikan. Bukan sebaliknya, marah, tidak mau dikritik atau “pundung” tidak mau kenal lagi. Eh jadinya anti kritik.
Penakut, tidak berani menghadapi pedemo, tidak berani menerima kritik, berhentilah jadi bupati atau jangan punya niat jadi bupati. Uzlah-lah ke hutan, agar tidak dapat mendengar hingar binger, suara-suara manusia yang menyampaikan suara kebebasan berpendapat, menyampaikan aspirasi suara rakyat. Suara rakyat yang kata orang suara Tuhan.
Melalui proses Pilkadal tahun 2020, ditunggu atau dicari calon bupati yang siap menghadapi masyarakat yang unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasinya. Artinya, ketika mereka datang, bupati ada di tempat, ada di Pendopo. B menemui para pendemo. Berdiri tegak dan gagah ditengah-tengah pendemo, mendengarkan aspirasi yang mereka sampaikan. Para pendemo pun senang, dijamin tidak akan anarkis ! Sesudahnya bersama-sama minum air putih gratis.
Sungguh indah, andaikan di suatu daerah memiliki bupati yang memiliki keberanian seperti itu. Begitulah barangkali. (Penulis, wartawan Harian Umum Pelita 1980-2018/Koranpelita.com).
0000