Kembali ke Jogja. Kali ini untuk kontrol ke dokter. Terutama yang memproduksi ramuan obat herbal sekaligus ahli penyakit rhematik. Meskipun saya bukan penderita rematik namun penyakit scleroderma yang saya alami memiliki gejala kekakuan sendi seperti halnya penyakit rhematik.
Rencananya saya akan kontrol ke Prof Dr Wayan Kerta. Tokoh ini telah mematenkan ekstrak ciplukan yang berdasarkan hasil penelitian dapat mengobati penyakit yang saya alami. Pendaftaran di tempat praktek yaitu Apotek Dharma Husada, dimulai jam 14.00 WIB.
Meskipun sudah daftar lewat whatsapp sejak di Jakarta, namun petugas tetap mengatakan bahwa nomor antrian sesuai kedatangan. Apabila dipanggil nomornya pasien tidak muncul maka akan dilewati 3 pasien. Jadi, saya baru bisa masuk ke ruang dokter Kerta yang hari itu mulai praktek jam 16.45.
Tidak lama. Seperempat jam, selesai. Banyak waktu, saya jalan-jalan, menikmati Jogja di waktu malam. Jogja memang tak pernah bikin bosan. Sensasi kota Ngayogyakarta selalu menjadikan Jogja Ngangeni.
Dan, langkah pertama malam itu, yang saya datang ke Dagadu. Produk kaos khas Djokdja ini masih bertahan, bahkan sekarang membuat merk premium DGD. Produknya juga tidak hanya kaos, tapi topi, tas, dompet sampai jaket.
Yang unik, di depan toko, di pojok Alun Alun Utara terpasang papan dengan tulisan Awas Dagadu Aseli. Saya ingat 20 tahun yang lalu, orang selalu berebut membeli kaos Dagadu di Malioboro Mall. Seperti biasa, karena larisnya, datang para dompleng dengan Dagadu palsu yang dijual di kaki lima sepanjang Malioboro. Tentu, dengan harga dan kualitas yang jauh di bawah aslinya.
Memang, saat ini kepopuleran Dagadu sudah menurun. Namun saya salut karena pemiliknya terus berkreasi menambah jenis produk yang mengikuti jaman sebagai bagian dari langkah meningkatkan pasar atau market.
Rencana awal ke Dagadu adalah membeli topi dengan tulisan DGD, namun karena si mbaknya mengatakan kalau belanja 3 produk diskon 20 persen, andrenalin saya terpacu. Apalagi, ada iming-iming tambahan, kalau belanja di atas 500 ribu diskonnya 30 persen.
Saya semangat. Akhirnya topi, kaos, tas, jaket masuk ke dalam tas belanjaan hitam dengan merk DGD. Mungkin karena strategi marketing dengan pemberian diskon dan layanan yang ramah, membuat saya membeli aneka produk Dagadu.
Dari Dagadu di Alun Alun Utara, saya melesat ke Umbulharjo. Ada Gudeg Pawon di sini. Orang antre. Mereka bahkan berdiri mblusuk masuk gang. Padahal warung buka sejak jam 22 malam. Saat saya sampai, jam sudah 22.30. Mas tukang parkir mengatakan untuk langsung saja masuk gang.
Ternyata saya harus masuk gang dan berdiri agak lama sebelum bisa menikmati gudegnya. Untungnya malam itu belum terlalu banyak yang antre. Hanya 12 orang di depan saya. Lumayanlah tidak terlalu panjang.
Sambil antre saya ngobrol dengan seorang bapak yang menerima pesanan Go Shop. Kami sama sama baru pertama kali membeli gudeg Pawon sehingga obrolan berkisar apakah untuk Go Shop seperti si bapak ada jalur khusus dan berapa lama harus mengantri gudeg tersebut. Malam itu si bapak mendapat 2 pesanan makanan yaitu Gudeg Pawon dan Nasi Padang. Kasihan juga kalau antrenya lama, tentu dia sudah rugi waktu hanya untuk sebuah pesanan. gudeg Pawon dan kendala berikutnya belum tentu juga penjual nasi padangnya masih buka.
15 menit lewat. Sampailah saya di depan pintu masuk yang dibuka hanya sebelah pintu. Terasa lega karena perjuangan akan berakhir. Sudah terbayang sepiring gudeg dengan krecek yang kemebul. Tapi, sampai di depan pintu, ternyata bukan akhir dari antrean. Sebab di balik pintu yang merupakan dapur atau pawon, masih antre lagi sehingga perut yang lapar makin keroncongan. Apalagi, masih ditambah aroma gudeg yang mulai tercium.
Setelah antre 30 menit (tidak terasa karena diselingi ngobrol dengan si bapak Gojek sambil berfoto) sampai juga saya ke meja penjualnya. Panci panci berisi gudeg dan aneka lauk pendukungnya ada di depan mata. Menggoda selera.
Saya langsung memesan nasi gudeg dengan paha ayam kampung yang masih menempel cekernya. Ditambah telur pindang dengan warna cokelat tua, sambel goreng krecek yang sudah tidak kemebul dan oseng tempe dengan cabe rawit segar.
Ketika mau membayar, ibu penjual mengatakan dahar (makan) dulu bu, bayarnya nanti. Begitu percayanya ibu penjual gudeg Pawon kepada pelanggannya. Berbeda dengan lamanya antre untuk mendapatkan sepiring gudeg, proses melahapnya hanya kurang dari 10 menit. Semua ludes, tandas, berpindah ke perut. Lalu, membayar. 29 ribu saja.
Bagi saya yang menyukai kemanisan gudeg dengan areh (santan kental dengan blondo kelapa) maka gudeg Pawon terasa sedikit asin di lidah. Mungkin karena peminat gudeg Pawon yang penuh sensasi (karena harus antre dan terbatas persediaannya) kebanyakan adalah wisatawan lokal dari luar Yogya maka rasanya disesuaikan juga.
Sebenarnya keinginan saya untuk mencoba gudeg Pawon dipicu oleh pengalaman 6 tahun yang lalu. Pengalaman ketika bersama teman-teman SMA sangat penasaran dengan gudeg Pawon namun selalu kehabisan karena datangnya sudah jam 00.30.
Menurut salah seorang sahabat saya yang pecinta kuliner dan ahli makanan, kreceknya masih kemebul saat dituangkan ke piring. Cerita itulah yang membuat saya penasaran untuk mencobanya, meskipun harus rela berdiri, mengantre selama 30 menit.
Dalam hati, saya agak bertanya-tanya, untuk gudeg yang bagi saya keasinan itu, apa strategi marketing Guedg Pawon. Atau apa yang membuat pengunjung rela antre, berdiri dalam gang tengah malam untuk mendapatkan sepiring gudeg?
Mungkin sensasi antre tengah malam itulah yang memicu. Atau, karena terbatasnya gudeg yang dijual hingga tengah malam. Tapi bisa juga, karena strategi Gudeg Pawon yang tidak membuka cabang. Sebuah strategi marketing yang unik (yang pasti tidak ada di bukunya Philip Kotler) sehingga menimbulkan rasa penasaran orang untuk datang. Tapi apapun alasannya, yang penting, rasa penasaran saya sudah terjawab.
Meninggalkan Gudeg Pawon, sudah mendekati tengah malam. Tapi menikmati Jogja di malam hari, belum usai. Perjalanan masih berlanjut ke Cafe OASE di daerah Taman Siswa, Wirogunan. Suatu tempat nongkrong yang asyik dan santai karena bisa wedangan. Juga, makanan kecil seperti pisang goreng, singkong goreng, mendoan. Itu masih ditambah dengan live music dengan penyanyi yang menurut saya serba bisa.
Alunan merdu lagu-lagu country mengalir, diselingi dangdutan yang membuat pengunjung ikut bergoyang dan berdendang. Pengunjung yang hobby menyanyi, bisa ikut juga tampil membawakan beberapa lagu.
Saat itulah terdengar lagi berjudul I saw her standing there, Volare. Saya kenal lagu itu, dan suka. Sehingga, terjadi saling menghibur. Romantisme malam itu, lengkap sudah, digenapi oleh bulan purnama di langit Jogja. Akhirnya sebelum cafe OASE tutup jam 01.00 saya undur diri karena sudah menguap beberapa kali.
Esok harinya sebelum menuju ke bandara, saya sempatkan memesan Brongkos Handayani (isi daging, telur, tahu dan kacang tolo) di Alun Alun Kidul. Tempat makan enak ini, sudah buka sejak jam 07.00 pagi.
Perkenalan saya dengan brongkos ini terjadi ketika saya, Fili dan Erwandi berada di Jogja diundang makan siang oleh pak Heroe, pemilik Ndalem Gamelan beberapa bulan yang lalu. Rasa kuahnya yang gurih-manis berasal dari aneka bumbu membuat kami bertiga makan dengan lahapnya.
Meskipun sering ke Jogja tapi saya baru tahu ada brongkos yang lezat di daerah keraton yang konon telah berjualan sejak tahun 1960 an. Mungkin karena merasa sudah terkenal maka penjualnya tidak perlu memakai strategi marketing untuk memasarkan brongkos tersebut.
Jadi, mumpung tidak membawa tentengan, maka saya membawa brongkos tersebut. Ah, ternyata 5 bungkus brongkos berat juga. Untung pesawatnya parkir tepat di pintu gate keberangkatan sehingga tidak perlu berjalan jauh.
Sudah. Tepat jam 14.40 WIB, pesawat mendarat di Halim. Saya bersiap bertemu dengan cucu-cucu tercinta yang telah menanti di rumah. Senang rasanya, bisa membawakan sekaligus mengenalkan mereka dengan brongkos.(*)