Joseph Renyut: Hentikan Ekspor Mikel

Jakarta, Koranpelita.com

Direktur Lembaga Pengamat Pemanfaatan Pengelolaan Pertambangan Indonesia (LP4I) Joseph Renyut menanggapi pernyataan Ketua DPR Bambang Soesatyo sesaat menerima pengurus Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) yang menyatakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak perlu mengeluarkan peraturan menteri untuk mempercepat pelarangan ekspor tersebut menjadi akhir Desember 2019.

Pengusaha tambang nasional lanjutnya, mereka masih membutuhkan kuota ekspor sampai 2022, sebagaimana PP No. 1/2017.  Menyambut aspirasi mereka, DPR RI akan segera mengirim surat kepada Kementerian ESDM sebagai respon atas penjelasan Dirjen Mineral dan Batu Bara yang siang ini mengumumkan bahwa Kementerian ESDM akan mengeluarkan Peraturan Menteri yang intinya menghentikan insentif ekspor nikel bagi pembangun smelter per 1 Januari 2020.

Joseph Renyut menyatakan justru sebaiknya dihentikan ekspor nikel itu. Dasar pemberian ijin ekspor itu sebenarnya adalah karena pengusaha smelter awalnya memilih teknologi blast furnace, sehingga kadar 1,7 tidak terpakai, yang dipakai adalah kadar 1,8, sementara di China bisa pakai kadar 1,7 itu, bahkan kadar 1,5 pun bisa dipakai.

Selanjutnya pihak ESDM dalam hal ini Dirjen Minerba memberikan ijin ekspor kepafa pemilik smelter yang memiliki lahan sendiri atau memiliki konsesi lahan dengan syarat nikel ore 1,7 itu harus berasal dari lahan mereka itu sendiri, namun yang terjadi banyak pemegang ijin ekspor tidak mengekspor nikel ore itu dari lahan mereka sendiri, hal lain juga ditetapkan lahan harus memiliki JORC atau KCMI yang sampai saat ini ada beberspa diantara mereka yang tak memiliki JORC atau KCMI.

“Silahkan diperiksa,” tegas Josep Renyut. Selanjutnya pihak ESDM juga memberikan ijin ekspor kepada yang akan mendirikan smelter, maka untuk mereka ini diwajibkan membuat rencana dari awal sampai berproduksinya smelter mereka.

Banyak yang membuat rencana dan mulai memperlihatkan phisik pembangunan smelter sampai dengan 30 persen. Pertanyaannya apakah memang akan dilanjutkan sampai 100 persen, kemudian apakah mereka punya lahan sendiri atau kerjasama dengan orang lain.

“Saya meragukan hal itu, apalagi yang punya rencana membuat smelter tipe RKEF, keuntungan dari hasil ekspor bahan mentah nikel ore yanhg mereka dapatkan dari ESDM tidak akan mampu dan tidak bisa untuk mendirikan smelter tipe RKEF,” tegasnya..

Kesimpulannya kemungkinan hanya akal-akalan saja. Kenap para penambang itu resah??? Itu berarti mereka melakukan pelanggaran, karena sesuai aturan yang cukup ketat bahwa ijin ekspor yang diberikan dicantumkan nama lahan dari perusahaan smelter itu sendiri.

Joseph Renyut memberi contoh, Kalau Fajar Surya yang diberikan ijin ekspor maks nikel ore harus dari lahan milik Fajar Surya atau yang kerjasama dengan Fajar Surya sesuai yang tercatat di Dirjen Minerba, bukan dari lahan perusahaan lain yang tidak tercatat di Minerba.

“Saya pikir dihentikan saja, sebab tatanannya sudah rusak.
Jika saat ini banyak yang mau bangun smelter tipe RKEF, maka itu yang harus dikejar supaya tuntas, karena tipe RKEF bisa memproses nike ore kadar 1,5. (djo)

About redaksi

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca