Jakarta, Koranpelita.com
Tokoh senior Partai Golkar Lalu Mara Satriawangsa mendesak DPD-DPD I Partai Golkar untuk segera menentukan sikap atas terancamnya masa depan partai akibat tatakelola yang tidak dijalankan sebagai mana mestinya oleh Ketua Umum Airlangga, sehingga menuai ‘mosi tidak percaya’ dari sejumlah pengurus pleno DPP Partai Golkar.
“DPD I tingkat propinsi Partai Golkar tidak boleh diam apalagi tutup mata atas dinamika di DPP Partai Golkar. Karena dengan diam apalagi membiarkan, itu akan merugikan Partai Golkar secara keseluruhan.” ujar Lalu Mara di Jakarta kemarin di Jakarta.
Lalu Mara menegaskan, bahwa Sebaiknya DPD I melalui Forum DPD I meminta DPP untuk melaksanakan Rapimnas meski tanpa ada rapat pleno, agenda pembentukan Komite Pemilihan, waktu dan tempat Munas dan hal – hal lain yang dianggap penting untuk organisasi partai golkar.
Rapimnas adalah forum pengembalil keputusan, yang kekuatan hukumnya di bawah Munas/Munaslub, ujar wartawan senior itu lagi seraya menjelaskan, saat ini, apa pun yang dilakukan pengurus DPP Partai Golkar untuk mendesak Ketua Umum melaksanakan Rapat Pleno sudah dianggap sebagai angin lalu, ujar dia.
Sekarang, tambah Lalu Mara, waktunya DPD I bersuara demi menjaga citra dan nama baik Partai Golkar. Dengan bersikap diam, DPD I artinya tidak peduli dengan dinamika DPP Partai Golkar yang bisa menggerus tingkat kepercayaan publik/rakyat pada Partai Golkar.
Sebelumnya dalam opini calon Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo mengatakan, anomali atau keanehan praktek kepemimpinan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan para pengikutnya semakin menjadi-jadi, ngawur, dan mempermalukan Golkar sebagai partai politik moderen berhaluan nasionalis tengahan.
Sebagaimana video yang sedang viral, dalam suatu ruangan acara, Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi, mengeja sumpah di hadapan para pengurus DPD kabupaten/kota yang mengulangi sumpah politik tersebut. Tampak seorang tokoh agama Islam mengangkat tinggi Alquran pada posisi di atas kepala para pengucap sumpah. Terlihat dalam video itu, Airlangga berdiri mendengarkan sumpah yang diucapkan para bawahan partainya. Beberapa elite DPP Partai Golkar kubu Airlangga juga terlihat menyaksikan pengucapan sumpah itu, diantaranya Melchias Markus Mekeng, Ketua Korbid Wilayah Timur.
Sejatinya, dalam setiap agama, sumpah yang diucapkan di bawah Kitab Suci (Alquran, Alkitab, dan lainnya), dengan membawa nama Allah sang pencipta alam semesta, merupakan sesuatu yang sakral, mulia, dan sarat pesan amanah. Lazimnya seremoni pengucapan sumpah di muka Kitab Suci itu dilakukan oleh para pejabat di level jabatannya masing-masing, agar yang bersangkutan mengingat dengan sungguh-sungguh amanah yang diberikan melalui jabatan tersebut. Amanah itu berkorelasi denga harapan-harapan warga negara atau rakyat yang telah menitipkan amanah kepada sang pejabat, agar dapat berlaku adil, jujur, dan bertanggungjawab bagi kemaslahatan umum. Intinya, pejabat yang disumpah tidak boleh berkhianat kepada rakyat atau warga negara yang sudah menitipkan amanah mulia kepadanya.
Apabila dihubungkan dengan situasi riil yang menimpa Partai Golkar hari-hari ini, maka aksi sumpah para pengikut Airlangga itu tampak tidak lazim dan cenderung aneh. Bagaimana bisa di tengah kerusakan organisasi Partai Golkar yang telah ditimbulkan oleh Airlangga, para pengurus harus mengucapkan sumpah dengan membawa nama Allah untuk tetap mendukung Airlangga? Itu artinya, sumpah tersebut merupakan ikrar bersama untuk mendukung berbagai kerusakan organisasi yang telah ditimbulkan Airlangga.
Yang sungguh mengherankan, para pengurus Partai Golkar di Jawa Barat itu juga bersumpah bahwa siapa yang berkhianat atau membuat penghianatan terhadap Airlangga, akan mendapatkan laknat. Bagaimana mungkin, Airlangga yang sudah berkhianat terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar, serta berlaku semena-mena misalnya dengan aksi pendudukan sepihak Kantor DPP Partai Golkar, meminta para pengurus Golkar untuk tidak mengkhianatinya?
Sumpah tersebut menjadi proporsional dan logis diberikan kepada Airlangga, apabila Airlangga terbukti sebagai pemimpin yang amanah, menjadi sumber keteladanan, dan bijaksana. Ini malah sebaliknya, pemimpin yang telah menimbulkan banyak kerusakan di dalam organisasi, malah disumpah atas nama Allah untuk tetap dipilih. Pada titik ini, jelas terlihat, bahwa Airlangga, para loyalis, dan pengikutnya hanya menjadikan agama sebagai perkakas politik. Padahal, agama itu simbol kejujuran yang harus tercermin dalam setiap jabatan yang diemban oleh pemeluk agama termasuk yang sedang menjabat sebagai ketua umum.
Agama sebagai simbol moral tertinggi dimana aktualusasinya tercermin dalam kehidupan pribadi, penuh tanggung jawab, respinsif terhadap aspirasi, rela menderita demi orang yang di pimpinnya, berbelarasa dan melayani. Sayangnya perilaku mulia sebagai karakter pemimpin itu tidak tercermin pada diri Airlangga saat dia memimpin Partai Golkar semenjak Munaslub 2017. Itu artinya Airlangga, para loyalis dan pengikutnya hanya menjadi agama sebagai alat bagi pemuasan kepentingan kekuasaan politik belaka.
Dari perspektif kebangsaan dalam konfigurasi dan anatomi politik Indonesia, aksi sumpah politik bernuansa agama yang dilakukan oleh para pengurus Golkar di wilayah Provinsi Jawa Barat itu, semakin mengaburkan karakteristik Partai Golkar sebagai partai nasionalis tengahan.
Sedangkandari dimensi psikopolitis, apabila terjadi salah tafsir atas aksi sumpah politik ber-Alquran kepada Airlangga itu, maka Golkar menghadapi situasi bahaya secara ideologis. Anggota, kader, atau pengurus Golkar yang belum matang wawasan dan kurang memiliki kedalaman religiositas, dengan serta-merta menularkan sentimen agama secara tidak proporsional ke dalam praktek berpartai. Kalau kondisi negatif seperti ini terjadi, maka yang bertumbuh adalah embrio intoleransi, yang pada gilirannya bakal mengubur karakter kebangsaan Partai Golkar. (kh/rel)