PEPS Menilai Penahanan Kerry Terindikasi Cacat Hukum

Jakarta,Koranpelita.com

Kasus tuduhan tindak korupsi yang menimpa Muhamad Kerry Adrianto Riza, seorang pengusaha muda di bidang penyewaan kapal tanker dan penyimpanan (terminal) bahan bakar diduga mengandung unsur kriminalisasi. Dugaan tersebut menguat seiring proses peradilan yang terus berubah unsur dakwaan mulai dari dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina, broker, hingga beneficial owner.

Dalam keterangan tertulisnya, Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) mengungkapkan kejanggalan terhadap kasus Kerry sebenarnya sudah mulai terlihat dari jangka penahanan hingga persidangan.

“Kerry ditahan sejak 25 Februari 2025, dan baru disidangkan 8 bulan kemudian, yakni bulan Oktober 2025. Jangka waktu hingga persidangan awal yang sangat lama tersebut patut dipertanyakan,” kata Anthony.

Ia menduga, jangka waktu yang lama antara penahanan hingga persidangan tersebut guna mencari alat bukti seperti yang dituduhkan. Artinya, pada saat penahanan dilakukan pada Februari 2025, Kejagung diduga belum mempunyai alat bukti yang cukup seperti dipersyaratkan dalam kasus tindak pidana korupsi. “Dengan demikian, penahanan Kerry sejak awal memang terindikasi cacat hukum,” katanya.

Demikian pula ketika dakwaan diajukan dalam persidangan, ternyata jauh berbeda dan tidak sinkron sama sekali dengan tuduhan awal pada saat penahanan terhadap Kerry. Perubahan konstruksi perkara yang sangat mendasar ini jelas Anthony, menimbulkan dugaan kuat bahwa penahanan Kerry sejak awal bukan berdasarkan kecukupan alat bukti, tetapi harus dicurigai sebagai bagian dari sebuah misi tertentu.

Pada awalnya, Kerry dituduh terlibat dalam tindak pidana korupsi terkait “tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina serta subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023”. Ternyata, tuduhan tersebut tidak ada dalam dakwaan resmi, sehingga mencerminkan tuduhan palsu. Dalam persidangan pembacaan dakwaan hanya terungkap, Kerry melakukan pengaturan dalam pengadaan penyewaan kapal tanker dan fasilitas penyimpanan (terminal) bahan bakar yang diklaim oleh Kejagung tidak dibutuhkan oleh Pertamina.

“Kedua dakwaan ini sama sekali tidak berkaitan dengan tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, subholding dan KKKS,” tegas Anthony.

Gagal membuktikan dua tuduhan tersebut, Kejagung lalu menggiring Kerry dengan tuduhan broker, dan mendapat keuntungan dari mark up kontrak shipping (pengiriman) minyak mentah sekitar 13 persen sampai 15 persen dari harga asli. Tuduhan ini turut membentuk persepsi publik mengenai dugaan tindak pidana yang dituduhkan kepada Kerry.

Namun, tuduhan tersebut juga hilang dalam dakwaan resmi. Dalam persidangan, tidak ada dakwaan mark up seperti dituduhkan Kejagung pada saat penahanan. Fakta ini menunjukkan bahwa tuduhan kepada Kerry tidak mempunyai dasar hukum yang kuat, dan patut diduga hanya dijadikan alasan untuk melakukan penahanan, dengan tuduhan yang bersifat asal-asalan, bahkan cenderung palsu, yang kemudian terbukti tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya, Kerry dituduh terlibat dalam praktek BBM oplosan, yaitu pengubahan Pertalite menjadi Pertamax. Untuk hal ini, Pertamina sejak awal sudah membantah tuduhan tersebut, dan menegaskan tidak ada BBM oplosan seperti dituduhkan oleh Kejagung. Pertamina juga menegaskan secara eksplisit bahwa informasi yang beredar terkait hal ini merupakan disinformasi.

“Lagi-lagi, tuduhan Kejagung tidak berdasarkan fakta, alias ilusi. Tuduhan yang mengandung unsur fitnah ini sangat merugikan Pertamina bukan saja dari sisi reputasi tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang nyata, karena sebagian konsumen beralih ke SPBU swasta (asing),” tegas Anthony

Tuduhan BBM oplosan pada akhirnya juga menghilang dari dakwaan. Fakta ini secara jelas menunjukkan bahwa tuduhan awal yang disampaikan Kejagung sangat lemah. Hilangnya tuduhan ini semakin menegaskan, proses penetapan tersangka dan penahanan terhadap Kerry bermasalah hukum, dan patut diduga terjadi kriminalisasi.

Menguap dalam Dakwaan Resmi

Anthony mengatakan awalnya Kerry dituduh telah merugikan keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun, yang sekali lagi ternyata hanya ilusi Kejagung. Sebagaimana ilusi tuduhan BBM oplosan, mark up, maupun keterlibatan dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang, tuduhan kerugian negara pun menguap dan menghilang dalam dakwaan resmi.

Pada akhirnya, ternyata, Kerry didakwa terkait penyewaan kapal tanker dan fasilitas penyimpanan bahan bakar. Kerry didakwa merugikan keuangan negara sebesar 9,86 juta dolar AS dan Rp1,07 miliar untuk penyewaan kapal tanker, serta Rp2,9 triliun untuk penyewaan fasilitas penyimpanan bahan bakar. Nilai dakwaan tersebut tidak sebombastis pernyataan Kejagung pada saat penahanan Kerry pada Februari 2025 yang disebut-sebut mencapai angka “kuadriliun”.

Dakwaan merugikan keuangan negara tersebut tentu berdasarkan perhitungan auditor negara, yaitu BPK atau BPKP. Untuk itu, perlu dicermati secara kritis apakah perhitungan kerugian keuangan negara tersebut benar-benar bersifat faktual atau ilusi seperti yang terjadi pada kasus Tom Lembong.

“Terakhir, dan yang terpenting. Kerry ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi bukan karena perbuatannya secara langsung, tetapi karena Kerry disebut sebagai beneficial owner dari kedua perusahaan yang disangkakan melakukan tindak pidana korupsi di maksud di atas,” terang Anthony.

Kalau konsep beneficial owner, yaitu penerima manfaat akhir atau pemilik perusahaan sesungguhnya, dapat dijadikan dasar penetapan tersangka tindak pidana korupsi tanpa ada keterlibatan langsung, menurut Anthony, mencerminkan Indonesia dalam kondisi darurat hukum. Karena, aparat penegak hukum dapat dengan mudah menetapkan semua pemilik perusahaan sebagai tersangka ketika perusahaan milik mereka terseret kasus korupsi.

“Yang menjadi pertanyaan besar, mengapa Kejagung, atau KPK, tidak menerapkan standar yang sama terhadap pemilik perusahaan yang secara nyata perusahannya telah terbukti terlibat dalam tindak pidana korupsi?” tanyanya.

Menurut Anthony, jika beneficial owner dapat menyeret seseorang dalam tindakan melanggar hukum, harusnya KPK atau Kejagung juga menyeret satu Direktur Pajak dan tiga perusahaan (Bank Panin, Gunung Madu Plantations dan Jhonlin Baratama) dalam kasus suap pajak. Demikian juga dalam kasus skandal minyak goreng yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar seperti Wilmar Group, Permata Hijau Gorup, dan Musim Mas Group, yang mempunyai beneficial owner berkedudukan di Indonesia maupun Singapore, harusnya sebagai beneficial owner mereka bisa ditetapkan sebagai tersangka.

Mirip Kasus Tom Lembong

Anthony mengingatkan kasus dugaan kriminalisasi juga pernah menimpa Tom Lembong, Menteri Perdagangan periode 2015–2016. Tom Lembong dituduh merugikan keuangan negara sebesar Rp400 miliar, dengan alasan memperkaya pihak lain, bukan memperkaya dirinya sendiri. Tuduhan ini bersifat spekulatif, alias tidak nyata dan tidak pasti, dan tidak didukung fakta ekonomi yang riil.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembagunan (BPKP) dijadikan alat untuk pembenaran. BPKP ditugaskan melakukan audit investigatif untuk “menemukan” kerugian keuangan negara. Hasil audit BPKP selesai pada 25 Januari 2025, sekitar tiga bulan setelah Tom Lembong ditahan. Nilai kerugian keuangan negara kemudian membengkak menjadi Rp578 miliar, membengkak dari tuduhan awal Rp400 miliar.

Meski pada akhirnya Tom Lembong mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo, namun proses persidangan membuktikan bahwa Tom Lembong tidak melakukan tindak pidana korupsi, tidak menerima suap maupun gratifikasi dalam bentuk apapun. Artinya, Tom Lembong terbukti tidak melakukan perbuatan melawan hukum. (Vin)

About ervin nur astuti

Check Also

Kepala Suku Dani, Gome Dinamus Minta OPM Tidak Lagi Membunuh Perempuan dan Pekerja

Jakarta, Koranpelita.com Kepala Suku Dani distrik Gome Dinamus Waker meminta Organisasi Tentara Pembebasan Nasional Organisasi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca