Jakarta, Koranpelita.com
Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 kembali menjadi perhatian publik setelah muncul perdebatan mengenai kesesuaiannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Menanggapi hal tersebut, Koordinator Pusat BEM Nusantara, Muksin Mahu, menilai perbedaan tafsir yang muncul perlu diletakkan dalam kerangka hukum tata negara dan administrasi pemerintahan. Peraturan tersebut bersifat konstitusional dan tuduhan bahwa Perpol ini melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berdasar.
Muksin menilai Perpol 10/2025 hadir untuk memberikan kepastian hukum terkait tugas anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian. Ia menyebut Perpol tersebut tidak menabrak Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan MK menghapus frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, namun tidak melarang anggota aktif Polri menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan internal yang jelas dan administratif.
Muksin menyampaikan bahwa pembacaan terhadap Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tidak bisa dilepaskan dari konstruksi hukum yang dibangun Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 114 PUU XXIII 2025.
Menurutnya, putusan tersebut menekankan penghapusan frasa tertentu dalam penjelasan Undang Undang Polri, bukan pembatasan absolut terhadap mekanisme penugasan internal.
“Kita perlu membedakan antara larangan normatif yang bersifat eksplisit dengan penataan administratif yang menjadi kewenangan institusi. Dalam konteks ini, Perpol harus dibaca sebagai instrumen teknis,” ujar Muksin saat ditemui di Jakarta, Kamis (20/11/2025).
Ia menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi secara konsisten memposisikan dirinya sebagai penjaga konstitusi, bukan pembentuk norma teknis. Oleh karena itu, regulasi turunan seperti Perpol tetap memiliki ruang sepanjang tidak menegasikan substansi putusan MK dan tidak menciptakan norma baru yang bertentangan dengan undang undang.
Dalam percakapan tersebut, Muksin juga menyoroti pentingnya pendekatan akademik dalam membaca isu ini. Ia menilai perdebatan publik kerap terjebak pada potongan norma tanpa melihat keseluruhan bangunan hukum.
“Kalau kita membaca secara utuh, Putusan MK berbicara soal kepastian hukum dan pencegahan penyalahgunaan kewenangan. Perpol kemudian berfungsi mengatur tata cara internal agar tidak terjadi kekosongan pengaturan,” kata Muksin.
Ia menambahkan bahwa ruang diskusi tetap terbuka apabila di kemudian hari ditemukan praktik yang menyimpang dari prinsip konstitusional. Namun, menurutnya, pengujian terhadap norma perlu dibedakan dengan penilaian terhadap implementasi.
“Dalam tradisi hukum, norma dan praktik itu dua hal yang berbeda. Kritik harus diarahkan secara presisi agar diskursus publik tetap sehat,” ucapnya.
Muksin berharap pembahasan mengenai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 dapat terus dilakukan secara rasional dan berbasis kajian hukum. Ia menilai pendekatan tersebut akan membantu masyarakat memahami posisi putusan MK, kewenangan lembaga, serta fungsi peraturan pelaksana dalam sistem hukum nasional.
Muksin mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk berdiskusi secara objektif tentang implikasi aturan ini. Ia menilai dialog berbasis fakta akan memperkuat pemahaman publik tentang hubungan antara Perpol 10/2025 dan Putusan MK. (Vin)
www.koranpelita.com Jernih, Mencintai Indonesia