Semarang,KORANPELITA.Com- Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ke X yang akan digelar akhir pekan ini, dinilai menjadi awal penentu nasib partai. Apakah partai berlambang Kabah ini menuju kepunahan atau sebaliknya menuju kebangkitan.
Pengamat dari FISIP Universitas Diponegoro (Undip), Wahid Abdulrahman menyampaikan, bukannya tanpa alasan. Ia mencatat, dalam sejarah pemilu di Indonesia belum ada partai politik yang mampu kembali ke parlemen “reborn“ setelah sebelumnya gagal karena tidak lolos parliamentary threshold.
Kekhawatiran akan kepunahannya semakin logis ketika mencermati dinamika perolehan suara dari pemilu ke pemilu. Dalam tiga pemilu terakhir PPP mengalami penurunan suara yang signifikan. Pada Pemilu 2014, PPP memperoleh 8.152.957 suara (6,53%), menurun pada Pemilu 2019 menjadi 6.323.147 (4,52%), dan pada Pemilu 2024 menjadi 5.878.777 (3,87%).
Meski mnggunakan pendekatan teori pelembagaan partai politik, penurunan signifikan yang terjadi di PPP dalam tiga pemilu terakhir, disebabkan oleh faktor internal yakni kegagalan dalam mengelola konflik. Mulai dari dualisme kepengurusan hingga kristalisasi persaingan antar faksi menjelang pemilu 2024.
“Faktor tersebut diperparah dengan kegagalan PPP dalam menjaga basis pemilih tradisional. Sementara pada saat yang sama kurang cakap dalam merespon perubahan demografi pemilih serta ketidakcermatan membaca arah politik nasional,” kata Wahid ketika dihubungi di Semarang, Rabu (24/9/ 2025).
Menurutnya, jika mihat sejarah dan kontribusi PPP bagi Indonesia, sejak Pemilu 1977-1997, PPP adalah “rumah besar umat Islam” yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah menjalankan fungsi artikulasi kepentingan umat.
” Wajar jika kemudian PPP telah memiliki basis pemilih tradisional-ideologis khususnya di wilayah kantong-kantong santri. Basis inilah yang semestinya terus dijaga,” ujarnya.
Dituntut selalu Adaptif
Disaat yang sama, lanjutnya, pihaknya menilai PPP semakin dituntut untuk adaptif atau mampu beradaptasi dengan perubahan karakter demografis pemilih Indonesia khususnya generasi millennial dan zillenial.
” Mengingat mereka inilah kedepan yang akan mendominasi. Tentu tantangan lain adalah konsolidasi organisasi ditengah demokrasi liberal yang memerlukan sumber pendanaan besar serta kompetisi partai yang semakin ketat.”
Di tengah dinamika internal dan eksternalitas PPP, Wahid melihat komposisi antara Ketua Umum yang akan dipilih melalui Muktamar dan Sekjen akan sangat menentukan nasib PPP. Sebagai bagian dari suksesi kepemimpinan dalam Muktamar yang semestinya disikapi oleh para pemilik suara secara jernih.
“Menentukan komposisi (paket politik) antara Ketua Umum dan Sekjen yang dapat menjawab kebutuhan dan tantangan PPP,” ujarnya.
Meski demikian, untuk menjaga basis pemilih tradisional maka figur santri yang memiliki nasab langsung dengan ulama-ulama tokoh PPP menjadi sangat penting.
“Ekosistem utama dalam PPP adalah pesantren dan santri sehingga figur santri penting untuk mengisi komposisi Ketua Umum atau Sekjen,” tandasnya.
Figur Mampu Menggerakkan Jaringan Santri dan Konsolidator
Dalam perspektif elektoral, tambahnya, figur tersebut sebaiknya memiliki daya tarik sekaligus mampu menggerakkan jaringan santri. Dalam perspektif kelembagaan, figur tersebut dibutuhkan sebagai konsolidator partai.
” Figur yang relatif bisa diterima oleh semua kalangan yang setidaknya berperan dalam menyatukan seluruh struktur maupun komponen internal.”
” Hanya akan lebih baik jika figur santri tersebut memiliki pengalaman tidak saja di internal PPP, namun juga di lembaga legislatif atau bahkan lembaga eksekutif,” urainya.
Pada sisi lain, figur dengan latar belakang pengusaha penting untuk menjawab kebutuhan finansial partai lima tahun kedepan. Banyak studi menunjukkan bahwa, pendanaan menjadi salah satu persoalan partai politik di Indonesia saat ini.
“Demikian halnya secara kalkulatif, untuk bisa kembali ke parlemen diperlukan biaya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Pemilu 2024 silam.”
Oleh karena itu, kesiapan dan komitmen secara finansial sangatlah vital. Tentu tidak saja dari perspektif kemampuan dan akses finansial, namun juga karakter kepemimpinan yang memiliki kecenderungan cepat dalam merespon perubahan.
” Komposisi pengusaha-santri inilah yang bisa menjadi alternatif penentu masa depan PPP lima tahun kedepan,” ujarnya.(***)