Jakarta, Koranpelita.com
Indonesia yang secara geo-politik dan geo-ekonomi berada pada posisi sangat strategis sering disebut sebagai “Pusat gravitasi serta kawasan masa depan dunia”. Posisi strategis ini mengandung arti bahwa pertumbuhan dunia, permasalahan dunia, bahkan kejahatan dunia, akan pindah ke kawasan ini. Dengan demikian, bangsa Indonesia punya saham, punya andil, dan ikut menentukan masa depan dunia.
Apakah kita menyadari posisi ini? Dan mengapa dengan posisi strategis seperti ini serta kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, Indonesia masih belum beranjak dari posisi sebagai negara berpendapatan menengah?
“Saya mempunyai keyakinan ada konspirasi besar yang tidak menghendaki Indonesia ikut mengatur dunia. Oleh karena itu, mereka tidak ingin Indonesia menjadi kuat, maju, jaya, dan kaya raya, makmur sentosa, bahkan kalau mungkin terus menjadikannya negara miskin, ribut-ribut, rusuh, terpecah, dan bergejolak yang berkelanjutan. Kalau kondisi Indonesia terus seperti ini lantas siapa yang diuntungkan? Tentu bukan bangsa kita yang diuntungkan,” ujar Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo menegaskan dalam pembahasan utama dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Aliansi Kebangsaan di Jakarta yang mengangkat tema Urgensi Pembentukan Dewan Keamanan Nasional. FGD ini bertujuan untuk menyatukan persepsi, membangun kewaspadaan kolektif, dan menyadarkan masyarakat akan ancaman yang kini menggerogoti pilar-pilar kedaulatan nasional, di Jakarta Jumat (9/5/2025).
Satu fakta lainnya yang tidak bisa dihindari lanjutnya, bahwa Indonesia berada dalam kawasan yang menjadi ajang kontestasi dominasi (hegemoni) dua kekuatan besar dunia yaitu Amerika Serikat dan China. Mereka terus berusaha meningkatkan hegemoninya di kawasan Indo-Pasifik yang dipandang sebagai pusat pertumbuhan dunia.
Sebagai “global leaders determination”, mereka akan selalu mencoba mengendalikan rantai pasok dunia (global supply chain) dan lini produksi negaranegara di kawasan. Kita punya nikel, tetapi siapa yang memproduksi baterai lithium?
Lantas siapa yang mendapatkan nilai tambah atas logam ini? Mereka juga memanfaatkan teknologi informasi lewat berbagai aplikasi media sosial untuk mengontrol politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan keamanan sebuah negara. Dari pengamatan saya, melalui teknologi informasi, spektrum ancaman terhadap keamanan nasional kita menjadi begitu luas, dapat berbentuk penyusupan berbagai ideologi/paham yang tidak sesuai dengan Pancasila dan nilainilai ke-Indonesia-an, penetrasi budaya, penyesatan pikir melalui hoax, cyber terrorism, bahkan cyber-war.
Dalam era ini, sebuah negara bisa kehilangan kedaulatannya melalui serangan informasi atau digital.
Dan tanpa kita sadari, teknologi informasi juga dapat digunakan untuk penggalangan elit politik, elit birokrasi, lembaga kajian, aktivis lapangan untuk dijadikan proxy sehingga dapat mengendalikan mindset-nya.
“Kalau demikian yang terjadi, bukankah sesungguhnya ancaman itu sudah berada di rumah kita sendiri?. Bukankah tanpa kita sadari, kita sudah tidur dengan musuh (sleeping with the enemies), menari dengan srigala (dancing with wolves)?. Tidak bisa dibedakan mana kawan mana lawan yang dikenal dengan sebutan “unknown threat”?. Inilah menurut hemat saya ancaman aktual dari Perang Generasi-V yang sering tidak disadari bahkan banyak di antara kita yang tidak peduli.
Lantas pertanyaan lanjutannya, siapakah yang harus peduli dengan semua dinamika ini? Apakah Sistem Keamanan Nasional kita saat ini hasil reformasi dan amandemen UUD 1945 sudah mampu meresponse perkembangan tersebut dengan cepat dan tepat? Dan dalam keadaan seperti ini, apakah bangsa ini masih akan terus berpolemik, berseteru, bersilang pendapat, dan berdebat dalam membangun sistem keamanan nasional kita? Untuk merespons perkembangan lingkungan strategis dan ancaman seperti itu, menurut hemat saya, hal utama dan mendesak untuk kita lakukan adalah mengupdate konsep/paradigma, sistem, doktrin, dan strategi keamanan nasional kita menyesuaikan dengan kekinian tanpa meninggalkan ide dan cita keamanan para pendiri bangsa ini.
Hendaknya diingat bahwa salah satu “military blunder” dalam sejarah perang yang pernah terjadi adalah “menyiapkan diri untuk menghadapi perang masa lalu. Tentu kita tidak boleh mengulangi kesalahan fatal yang pernah terjadi tersebut.
Hal paling mendasar yang seharusnya diupdate dan kita sepakati adalah terkait dengan “konsep/paradigma” bangsa ini dalam memaknai “keamanan nasional. Kini, kita tidak mungkin lagi memilah secara diametris konsep pertahanan
Negara dan konsep keamanan sebagaimana dirangcang melalui reformasi dan amandemen UUD 1945.
Dijelaskan Pontjo, menghadapi perkembangan ancaman dewasa ini, sudah seharusnya bangsa ini bergerak menuju konsep keamanan komprehensif yang memaknai keamanan nasional secara holistik (holistic way) sebagaimana yang dicitakan oleh para pendiri bangsa dan kemudian dituangkan ke dalam pembukaan UUD 1945, yaitu: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Pontjo juga menjelaskan konsep keamanan komprehensif pertama kali diperkenalkan oleh Jepang pada tahun 1970-an kemudian dikembangkan oleh banyak negara di dunia. Terlebih setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui laporan UNDP pada tahun 1994, telah mendorong perlunya perubahan konsep dan fokus keamanan menuju paradigma yang lebih menekankan kepada keamanan manusia (human security).
Dengan demikian, keamanan nasional merupakan perwujudan konsep keamanan secara menyeluruh, meliputi dimensi: keamanan negara, keamanan masyarakat dan ketertiban publik, serta keamanan insani.
“Kalau kita menggunakan paradigma keamanan komprehensif seperti ini dalam memahami penyelenggaraan sistem keamanan nasional Indonesia saat ini, dapat dipastikan kita masih mengalami kekosongan (gap) dalam penanganan ancaman non-militer dan ancaman keamanan manusia (human security) karena memang belum ada regulasi pengaturannya. Padahal ancaman non-militer sudah menjadi ancaman aktual bagi bangsa dan negara kita serta keamanan manusia sudah menjadi komitmen global,” ujarnya.
Dengan konsep keamanan nasional yang komprehensif, tentu kita tidak mungkin lagi hanya bertumpu pada pelibatan aktor tradisional yaitu militer dan kepolisian, melainkan juga harus melibatkan aktor-aktor lain yang dimiliki Negaraa termasuk pelibatan setiap warganegara sebagaimana Sistem Keamanan Nasional yang kita anut yang bersifat semesta. Sistem keamanan semesta.
Sistem Keamanan Semesta
Terkait dengan tingkat kualitas keikutsertaan masyarakat dalam upaya keamanan nasional. Walaupun keikutsertaan tersebut merupakan kewajiban konstitusional setiap warga negara, namun harus didasari oleh kesadaran jiwa dan semangat pengorbanan. Menurut Benedict
Anderson (1992) kesadaran dan semangat pengorbanan masyarakat kepada bangsa dan negaranya. tidak akan berkembang dengan sendirinya, sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik (socially and politically constructed)”. Oleh karena itu, perlu upaya pemberdayaan masyarakat secara terus menerus, sistematis, dan terarah.
Untuk itu Pontjo menekankan, dalam menghadapi dinamika ancaman yang bergerak begitu cepat dengan dimensi yang begitu kompleks, setiap negara semakin dituntut untuk mampu melakukan respons yang komprehensif dan terpadu antara respons militer dengan non-militer secara efektif melalui pendekatan multi-agency dengan pengerahan segenap sumberdaya nasional yang ada. Tuntutan akan kebutuhan inilah akhirnya membawa banyak negara di dunia untuk membentuk lembaga/organisasi yang memungkinkan terjadinya kolaborasi dan koordinasi lintas sektoral yang biasanya dinamakan Dewan Keamanan Nasional (DKN) Dewan ini juga difungsikan sebagai wadah perumusan kebijakan strategis keamanan nasional dan assesment akhir terhadap ancaman yang dihadapi sebuah Negara.
Negara-negara yang memiliki forum koordinasi semacam DKN secara empirik ternyata lebih siap menghadapi berbagai jenis dan bentuk ancaman karena memliki struktur koordinasi yang lebih maju.
Banyak Negara yang telah memiliki Dewan Keamanan Nasional (DKN),seperti: Malaysia, Singapura, Australia, Amerika Serikat, dan lain-lain. Indonesia sendiri sampai saat ini belum memiliki lembaga semacam DKN yang berfungsi sebagai forum koordinasi tingkat tinggi yang dipimpin langsung oleh Presiden dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara untuk merespons isu-isu keamanan nasional.
Dengan mencermati tata kelola Keamanan Nasional kita saat ini dihadapkan dengan kebutuhan akan response terhadap dinamika ancaman, banyak pihak yang mengharapkan Indonesia segera membentuk DKN tersebut. Untuk itulah kiranya dapat kita diskusikan secara mendalam dalam kesempatan FGD hari ini.
Dewan Keamanan Nasional menjadi forum koordinasi tertinggi dalam pengambilan keputusan strategis yang berkaitan dengan keamanan nasional dan memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan seluruh kekuatan nasional dalam menghadapi ancaman. Dalam pemahaman saya, saat ini tata kelola keamanan nasional tersebar di berbagai lembaga negara/pemerintahan dan dikoordinasikan oleh Menko Polhukam atau melalui rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden.
“Kita memang memiliki Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 101 Tahun 1999 dan Dewan Pertahanan Nasional (lDPlN) yang baru saja dibentuk oleh Presiden Prabowo sebagai tindak lanjut amanat Pasal 15 Undang Undang Nomor: 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Tugas pokok yang diemban Wantannas dan DPN saat ini tentu sangat berbeda dengan tugas dan fungsi Dewan Keamanan Nasional sebagaimana berlaku di banyak Negara,” jelasnya.
Komisi I DPR-RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Sekjen Wantannas pada tanggal 14 Nopember 2024 yang lalu mendukung revitalisasi Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) untuk menjadi Dewan Keamanan Nasional Republik Indonesia sebagaimana National Security Council yang berlaku di banyak Negara. Barangkali usulan ini bisa menjadi momentum untuk terus menggulirkan ngagasan pembentukan DKN sebagaimana diharapkan oleh berbagai pihak.
“Kita tentu tidak punya cukup kemewahan waktu untuk mewujudkan gagasan ini karena harus berpacu dengan cepatnya perkembangan lingkungan strategis dan dinamika ancaman. Apalagi dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia. Oleh karena itu, gagasan pembentukan lembaga DKN ini harus jelas rencana waktunya (time-line) dan tidak dibiarkan berlarut-larut.
” Ungkapan Clausewitz dalam bukunya ”On War” yang diterbitkan pada tahun 1832 bahwa “Perang terlalu penting hanya dipikirkan oleh para Jenderal”, menyadarkan kita bahwa masalah keamanan nasional juga merupakan urusan kita semua segenap komponen bangsa: politisi, akademisi, budayawan, dunia usaha, dan setiap warga Negara sebagai kewajiban konstitusionalnya. Karenanya, saya berharap melalui FGD hari ini kita semua dapat menyampaikan pertukaran piikiran dan urun gagasan sebagai wujud keikutsertaan kita dalam membangun dan mengembangkan Sistem Keamanan Nasional Indonesia,” tutup Pontjo. (Vin)