MELALUI tulisannya pada media cetak kenamaan Indonesia, Yudi Latif mengatakan, “dalam konteks krisis multidimensi Indonesia hari ini , nabi-nabi pembebas dan pengungkit kemajuan bangsa agaknya sulit muncul dari lingkaran elite politik. Secara umum, elite politik bukanlah teladan yang baik, yang bisa menuntun para patriot muda menuju jalan cahaya. Sebaliknya mereka tega menggelapi masa depan bangsa dengan mengadu dan mempermainkan dukungan rakyat, memanipulasi, serta merancukan tatanan kenegaraan demi ambisi pribadi. Mereka perpaduan dari para orang tua yang lupa kapan harus berhenti yang kepeduliannya sebatas mengamankan karier politik keluarga; para pedagang yang memboncengi untuk meluaskan gurita kekayaannya; para demagog yang memanipulasi sentiment identitas; dan para politisi muda yang mengambil jalan pintas lewat rekayasa pencitraan picisan”.
Apa yang ditulis Yudi adalah fragmen rekaman suara hati mayoritas bangsa ini, yang sedang galau. Jejak trauma konflik politik pemilu serentak 2019 sangat membekas. Masa kampanye berdurasi panjang yang menggores luka pada masyarakat belum sepenuhnya sembuh. Kampanye panjang itu berbuah intrik, sarat fitnah, ujaran kebencian dan penajaman politik identitas yang diperparah dengan kekerasan verbal maupun kekerasan fisik yang mengoyak luka dalam di tubuh bangsa ini.
Kekerasan verbal itu efeknya memang tidak terlihat tapi cukup mematikan. Intimidasi verbal juga dapat membuat percaya diri seseorang menurun bahkan sampai mengarah pada depresi. Bangsa ini nyaris depresi oleh proses demokratisasi yang terasa aneh tapi nyata. Faktanya bangsa ini terbelah dua! Antara kubu kita dengan kubu mereka: antara cebong dan kampret!
Konflik dan ketegangan terbuka head to head antar tim sukses kontestan mencuat. Mendorong terjadinya proses demokratisai politik yang antikultur. Nilai budaya leluhur yang berakar kepada kesantunan menghilang dimangsa oleh nafsu kuasa.
Mungkin ada gunanya membaca buku Democracy for Sale yang ditulis oleh Ward Berenschot, Peneliti (KITLV) bersama Edward Aspinall, Profesor pada Departemen Perubahan Politik dan Sosial, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University. Kedua peneliti itu mengungkap setidaknya ada tiga praktik yang khas dalam perpolitikan di Indonesia yang mewarnai cara berpolitik di negeri ini.
Politik transaksional, adalah hal yang pertama, yang salah satu kategorinya adalah jual beli suara. Praktik tersebut dilakukan pada pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia, tidak dilaksanakan oleh jaringan partai. Melainkan dilakukan oleh orang-orang yang merupakan bagian dari jaringan calon. Menurut peneliti itu, praktik semacam itu tidak terjadi di India dan Argentina. Apa yang disebut jual beli suara hanya dilakukan melalui jaringan partai politik.
Temuan yang kedua, tentang adanya tim sukses. Hal itu juga tidak ditemukan pada politik India dan Argentina. Karena yang menangani hal itu adalah partai politik.
Faktor ketiga adanya apa yang disebut broker politik. Menurut hasil penelitian mereka, kandidat di Indonesia membentuk jaringan broker politik. Dari tingkat nasional hingga rukun tetangga. Melalui mata rantai jaringan broker politik inilah, para kandidat memanfaatkannya guna melakukan politik uang, sebagai suatu cara terselubung menjalin hubungan untuk mendulang sebanyak-banyaknya dukungan dari masyarakat.
Membentuk tim sukses dan broker politik, serta membeli suara pemilih membutuhkan uang yang tak sedikit. “Jadi, ongkos politik mahal sekali”. Adapun penyebab lain dari mahalnya ongkos politik yakni diterapkannya sistem daftar terbuka sebagai sistem pemilihan legislatif dan ambang batas pencalonan kepala daerah. Sistem daftar terbuka dinilai mengakibatkan persaingan ganda, yakni antar partai dan antar calon. Sementara ambang batas pencalonan kepala daerah menyebabkan timbulnya mahar politik.
Para peneliti itu menyimpulkan, di Indonesia dibutuhkan suatu reformasi elektoral untuk menekan ongkos politik. Mahalnya ongkos politik menyebabkan korupsi politik dan memperkuat oligarki dalam demokrasi. Disebutkan dalam konsep citizenship atau kewarganegaraan, kekuasaan semestinya dapat dipegang oleh semua orang dari berbagai strata sosial dan ekonomi. Bukan hanya warga negara yang punya rekening gendut atau bagian dari keluarga yang berkuasa.
“Karena mahalnya ongkos politik, hanya orang kaya yang bisa berpartisipasi sebagai calon di pemilu. Oligarkis sangat kuat. Untuk merubah hal ini, perlu reformasi sistem elektoral untuk mengurangi ongkos politik”. Itu kesimpulan dari keduanya.
Hiruk-pikuk dan kegaduhan para politisi paska pemilu nampaknya masih saja berlanjut. Hanya iramanya bergeser menjadi pertengkaran antara kita dengan kita ketika memperebutkan jatah kursi menteri (kekuasaan). Para politisi itu, tidak mampu menghilangkan perilaku broker, pembagian kekuasaan dimaknai seakan membagi hasil pampasan perang.
Yang menyedihkan, tidak terlihat adanya kerendahan hati mau menyoal nasib kelam tujuh ratus orang lebih nyawa petugas KPPS yang meninggal dalam tugas. Bukan kematian rakyat betul itu yang dijadikan “headline” para wakil rakyat itu!
“Lembaga perwakilan dan jabatan politik bukan merupakan instrumen demokrasi, melainkan aparatus oligarki,” kata Yudi Latif dengan lirih.
Diperlukan kemauan politik bersama seluruh stakeholder bangsa ini, untuk merubah secara radikal UU Pemilu dan aturan mainnya yang mengiringinya. Tujuannya menghindari siklus lima tahunan yang penuh intrik, firnah dan berita bohong berulang terus menjadi hasil “panen raya” tetap yang destruktif yang merusak tatanan bangsa ini yang luhur ini!
(Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya)