Kisah kharomah, yang ditinggalkan Syekh Harun, barangkali sangat banyak. Kini, kisah itu, menjadi warisan sejarah unik yang diceritakan secara berantai dari generasi ke generasi.
Salah satu yang populer di antara para cucu Buya Harun, adalah kemampuanya yang ajib dalam mengobati luka. Sebab, hanya sekali usap, luka akibat tertembak pun, bisa disembuhkan tanpa berbekas.
Cerita itu, juga didengar oleh Yaskur Zainal, salah satu cucu Syekh Harun dari istrinya yang ada di Sunur, Pariaman. “Dari cerita orang-orang tua kami, beliau ini seorang yang bisa dikatakan keramat,” kata Pak Yaskur dengan syukur, karena mendapat cerita menarik tentang sang kakek.
Jadi dikisahkan, meski seorang ulama, Syekh Harun memiliki hobi menembak. Berburu binatang buas atau burung-burung pemangsa tanaman. Kegiatan itu dilakukan, di saat-saat sedang tidak mengajar di surau atau berdakwah keliling desa, memenuhi panggilan warga.
Suatu ketika, Buya Harun menembak burung dari ketinggian. Sasarannya adalah burung yang ada di hamparan sawah yang lebih rendah dari posisinya menembak. Tapi rupanya, tembakannya meleset.
Peluru bukan mengenai sasaran, tapi malah melukai tangan seorang petani. Mengetahui tembakannya salah sasaran, Buya Harun bergegas, menemui pak tani dan meminta maaf. Lalu, meminta tangan petani yang terluka, untuk diulurkan, agar bisa diobati.
Petani itu nurut saja, mengulurkan tangan, dan tangan itu diobati dengan hanya diusap. Sekali usap saja, dan luka tembak hilang. Ajaib, tangan pak tani sembuh tanpa meninggalkan bekas luka sama sekali, sehingga normal seperti tak pernah tertembak.
“Luka tembak hilang, tangannya normal kembali. Cerita ini, kami dapat dari seserorang yang cukup tahu tentang Haji Harun. Lalu, orangtua kami juga pernah menceritakan hal yang sama, jadi semua cucu mengetahui tentang cerita ini,” ungkapnya.
Pada masa itu, Buya Tuo itu terkenal sebagai ulama yang pandai berpolitik. Kadang melunak terhadap penjajah Belanda, dengan tetap berusaha meneggakan ajaran agama Islam. Tapi untuk hal-hal yang sifatnya prinsipil, Buya Tuo, bisa bersikap keras pada Belanda, sehingga sering dianggap sebagai penentang.
Sebagai ulama, sepertinya, Syekh Harun menyadari betul kapan kompromi kapan bersikap keras. Baginya, yang utama bisa tetap mengajar di surau dan berceramah. Selebihnya, fokus yang lain adalah menjadi petani, meski tidak selalu turun tangan sendiri.
Nah, soal bercocok tanam, ada juga cerita yang tak kalah menarik. Beliau itu, diceritakan mempunyai amalan khusus, sehingga hasil pertaniannya selalu luar biasa. Amalan itu, juga dijalankan oleh Zainal Abidin, orangtua Yaskur yang juga memiliki ladang luas.
“Jadi saya juga menyaksikan sendiri hasil pertandiannya yang melimpah, karena orangtua saya, mengamalkan apa yang dilakukan ayahnya dulu. Tapi saya tidak bisa menyebutkan amalan itu, khawatir salah terjemah sehingga orang juga salah persepsi akhirnya. Hanya saja orang tua saya menyaksikannya sendiri bahwa panen itu memang luar biasa dengan cara yang dilakukkannya itu,” kata Yaskur Zainal yang merupakan putra kelima Zainal Abidin Harun.
Zainal Abidin, adalah anak kedua Buya Harun dari istrinya yang bernama Fatimah. Umi Fatimah yang asli Sunur, memiliki empat anak serta 24 cucu yang kini tersebar di kota-kota besar di Indonesia.
“Saya cucu kelima dari Haji Harun ar-Rasyid at-Tobohi al-Pariamany. Saya lahir 4 April 1959, jadi kakek saya itu masih ada saat saya lahir. Tapi setahun kemudian, beliau wafat.
Jadi seperti apa sosok beliau, saya hanya mendengar saja cerita dari berbagai sumber,” jelas Pak Yaskur. (*)