SEMARANG,KORANPELITA – Sengketa harta bersama menjadi salah satu kasus yang proses penyelesaian rumit dan panjang. Sebab terdapat banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, salah satunya terkait penggolongan harta.
Hal itu diungkapkan Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) USM, Dr. Tri Mulyani, S.H., M.H dalam Talkshow BKBH Menyapa dengan mengangkat tema “Penyelesaian Sengketa Harta Bersama” di Studio Radio USM Jaya Gedung N Universitas Semarang (USM), Rabu (14/8/2024).
Kegiatan tersebut juga menghadirkan narasumber Mediator, Dr. Siti Mutmainah, S.Sos., M.H., CPM, CPC, CPA, CPrM., dan Pengacara, Dr. Dwi Robiatun Nasekah, S.H.,MKn.,CM.
Tri menjelaskan, harta bersama merupakan suatu seluruh harta benda atau kekayaan yang diperoleh selama periode perkawinan berlangsung.
“Penyebab terjadinya sengketa banyak, mulai dari adanya perceraian, pembagian tidak adil, ada faktor kepentingan, sampai faktor ekonomi. Dan kita juga perlu tahu bahwa pemicu perceraian itu juga banyak sekali,” katanya.
Menurutnya, harta pula memiliki banyak penggolongan, mulai dari harta berwujud dan tidak berwujud seperti hutang, hingga harta bersama dan harta bawaan seperti harta yang telah dimiliki sebelum pernikahan.
”Ini mungkin juga jadi salah satu tips bahwasannya kita bisa untuk membuat perjanjian baik sebelum nikah atau selama perkawinan, agar nanti tidak ada perselisihan terkait harta bersama. Karena yang namanya hubungan itu fluktuatif. Dalam hukum Islam pun terkait dengan harta, sebetulnya memberikan kelonggaran bagi kedua belah pihak ingin membuat perjanjian seperti apa,” ujarnya.
Hal senada dikatakan Siti Mutmainah. Menurutnya, penggolongan harta terdapat pula harta bergerak merupakan harta yang dapat dipindah-tangankan segera seperti mobil hingga motor yang biasanya dalam proses perceraian akan dijual sepihak.
Adapun Harta tidak bergerak seperti rumah, tanah, aset yang bersifat surat yang biasanya akan muncul dalam misi gugatan.
Sengketa Harta Dilihat Dari Faktor Anak
Siti mengatakan, penyelesaian sengketa harta bersama juga dilihat dari faktor anak, yang apabila dalam suatu keluarga memiliki anak maka dalam proses mediasi akan diberikan pilihan harta akan dibagi atau dihibah. Pihaknya memiliki penekanan harus melindungi faktor anak, sebab anak memiliki hak hidup hingga nanti.
“Tapi apabila tidak ada harta yang dibagi atau mungkin masih dalam kategori hutang. Karena terlibat dengan pihak ketiga, yakinkah utang ini akan lunas?. Siapa yang bisa menjamin. Nah artinya ini bisa saja akan hilang, karena tadi tidak ditanggungjawabi sampai akhir. Artinya, itu tidak bisa menjadi kesepakatan, karena bukan harta yang dimiliki. Yang dimiliki itu adalah hak kita tanpa terkait dengan pihak ketiga seperti perbankan dan lain sebagainya,” terangnya.
Menurutnya, perasaan emosi dapat memengaruhi proses penyelesaian sengketa harta bersama menjadi lebih rumit dan tidak kunjung selesai.
“Ketika rumah tangga ada konflik, berarti sejak awal emosi ini berpengaruh hingga menimbulkan sengketa, penyelesaiannya itu melalui duduk bersama, musyawarah mufakat. Apabila tidak timbul, jadi proses selanjutnya adalah melalui litigasi di pengadilan. Dalam konteks ini, kalau kita bersikap dewasa, apapun problemnya, selama saling mendengarkan dan membicarakannya pasti ada solusi”, katanya.
Dia menambahkan, tugas mediator adalah untuk merunkunkan dan menyepakati kesepakatan para pihak dengan mempertimbangkan banyak hal. Namun, jika tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak, maka proses akan dilanjutkan ke litigasi di pengadilan.
”Harta itu bangkai dunia. Jadi, sebanyak apa pun harta yang kita miliki, tidak menjamin perkwainan yang rukun dan utuh. Hati-hati dengan harta, syukuri apa yang cukup. Kita tidak perlu terlalu ambisius karena kebahagiaan tidak melulu soal harta. Ketika terjadi konflik, lebih baik fokus saja sebetulnya niat dan tujuan menikah itu apa,” lanjutnya.
Sementara itu, Pengacara Dr. Dwi Robiatun Nasekah menegaskan, harta bersama digugat setelah adanya perceriaan. Dimana proses yang dilalui sama yaitu melalui mediator terlebih dahulu.
”Jadi nanti didalam perceraian tidak bisa dicampur adukkan dengan harta bersama. Cerai dulu baru harta bersama. Nanti dalam ruang mediasi, baik hasilnya ada kesepakatan atau tidak, tetap akan berakhir di persidangan juga karena nanti ada putusan dari hakim. Nanti kalau dalam penyelesaian harta bersama ternyata harta nya berupa hutang, maka itu tidak bisa hilang, jadi hutang itu sisanya tetap dibagi,” tegasnya.
Dwi mengungkapkan, jika berkaitan dengan hak asuh anak, apabila anak berusia dibawah 12 tahun, maka hak asuh jatuh kepada ibu. Namun apabila diatas 12 tahun, anak dapat memilih.
”Sebetulnya pernikahan tidak sekejam yang dibayangkan. Jadi untuk adek-adek kalau mau menikah, ya menikah saja. Untuk soal harta, nanti bisa dipikirkan. Semoga saja nanti tidak ada halal yang tidak diinginkan,” ungkapnya pada closing statement talkshow yang dipandu Penyiar Radio USM Jaya, Putri Sabila.(sup/*)