Oleh : Gunoto Saparie
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Tengah menggelar Sosialisasi Pendaftaran Pemantau untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun 2024 di Hotel Room Inc Semarang beberapa waktu lalu. Selain guna mendorong keterlibatan partisipasi masyarakat, sosialisasi itu bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait tugas dan tanggung jawab para pemantau pilkada. Diharapkan sosialisasi tersebut mendapatkan tanggapan positif. Karena sejak dibuka pendaftaran untuk pemantau 27 Februari lalu, baru ada satu pemantau yang mendaftarkan ke KPU Jawa Tengah. Pendaftaran pemantau akan ditutup 16 November 2024 atau seminggu sebelum pelaksanaan pemungutan suara.
Peran pemantau Pilkada Serentak 2024, termasuk Pilgub Jateng, memang sangat penting. Ia memiliki hak untuk memantau pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada tahapan-tahapan proses pilkada. Terutama pada tahapan yang sangat urgen dan berpontensi besar terjadinya pelanggaran yaitu pada tahapan kampanye, proses pemungutan dan penghitungan suara, dan rekapitulasi yang dilakukan oleh KPU RI, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berjenjang sampai dengan jajarannya paling bawah.
Sejarah lembaga pemantau Pemilu di Indonesia diawali tahun 1997 bersamaan dengan berdirinya Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) 15 Maret 1996. Ketika itu lembaga ini didirikan para aktivis, jurnalis, dan akademisi. Didukung 20 ribu relawan, KIPP menemukan sejumlah pelanggaran dalam pemilu di masa akhir Orde Baru.
Pemantau pilkada harus memenuhi beberapa persyaratan mulai dari harus bersifat independen, mempunyai sumber dana yang jelas dan terintegrasi, termasuk terdaftar di KPU. Memang harus diakui, keberadaan pemantau pilkada kurang relevan, kalau pesta demokrasi telah berlangsung secara demokratis. Akan tetapi, peran pemantau pilkada sangat efektif jika penyelenggara pemilu belum sepenuhnya independen dan berintegritas.
Dari segi pengawasan, kewenangan secara kelembagaan memang diperkuat dengan dipermanenkannya panitia pengawas pemilu (Panwaslu) di tingkat Kabupaten/Kota menjadi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten/Kota. Apakah peran lembaga pemantau pemilu tidak diperlukan lagi? Pemantau pemilu tentu sangat perlu, karena ia memiliki peran untuk turut memberikan keabsahan dan meningkatkan rasa hormat terhadap hak asasi manusia dalam hal ini hak sipil dan politik seorang warga negara.
Kewenangan Bawaslu Bertambah
Ketika kewenangan Bawaslu bertambah sehingga lebih punya taring dalam menindak segala bentuk pelanggaran proses tahapan pemilu, tidak menutup kemungkinan justru pelanggaran dilakukan oleh penyelenggara itu sendiri, baik jajaran KPU dan/atau Bawaslu. Bukankah banyak pengaduan atas pelanggaran kode etik ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bahwa oknum penyelenggara Pemilu tertentu telah melakukan malpraktik terhadap proses penyelenggaraan pesta demokrasi? Bukankah hal ini memungkinkan terganggangunya Pemilu yang seharusnya berlangsung sesuai dengan asas Pemilu yaitu: langsung, umum, bebas, rahasia, dan jujur serta adil, juga demokratis?
Oleh karena itu, perlu tetap dibukanya ruang dan mekanisme pengaduan Pemilu. Paling tidak ada tiga unsur yang berhak menyampaikan pengaduan dan melaporkan dugaan atas pelanggaran pemilu, yaitu: (1) Pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), (2) Peserta Pemilu, dan (3) Pemantau Pemilu. Keberadaan pemantau Pemilu masih diperlukan guna mengawal Pemilu di republik ini.
Pemantau dan pengawas Pemilu pada hakikatnya sama-sama merupakan lembaga kontrol untuk menjamin Pemilu berlasung dengan langsung, umum, bebas, rahasia dan jujur dan adil serta transparan, akuntabel sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bedanya pemantau Pemilu dengan pengawas Pemilu adalah kalau pengawas Pemilu punya kewenangan dalam menyelesaiakan pelanggaran dan sengketa proses Pemilu, sedangkan pemantau Pemilu tidak memiliki kewenangan itu.
Adanya sejumlah temuan kecurangan pemilu yang terjadi sebelumnya, terutama di masa kampanye, menunjukkan banyaknya persoalan yang terjadi sejak tahap pencalonan hingga kampanye. Memasuki masa tenang, catatan pemantauan masyarakat sipil menemukan adanya dugaan penyalahgunaan fasilitas negara, persoalan netralitas aparatur negara, hingga praktik laten politik uang yang mendominasi dalam temuan kecurangan. Dalam kaitan ini, pemantau perlu mengumpulkan informasi dugaan kecurangan pemilu, baik melalui pemantauan lapangan ataupun penelusuran informasi di sosial media dan pemberitaan media. Sayang sekali jika minat untuk menjadi pemantau di Indonesia, terutama di Jawa Tengah, begitu minim.(*)
Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah