Jakarta, Koranpelit.com
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) mengakuisisi 536 naskah kuno Sunda koleksi R Haris Sukanda Natasasmita dan Viviane Sukanda Tessier, yang dihimpun oleh suami istri itu pada tahun 1970-1980-an.
Serah-terima 536 naskah Sunda tersebut, berupa fisik manuskrip sekaligus data digital dan metadatanya dilakukan oleh Yayasan Ngariksa Budaya Indonesia, lembaga yang aktif melakukan literasi publik tentang manuskrip di media sosial melalui siaran Ngariksa Channel.
Selain manuskrip asli beserta filenya, diserahkan pula 271 buku catatan alih aksara naskah tersebut. Serah-terima dilakukan di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (07/8/2024), dengan disaksikan oleh ratusan peminat naskah kuno dari dalam dan luar negeri baik dari kalangan akademisi maupun komunitas.
Plt Kepala Perpusnas, Prof. E Aminuddin Aziz, menyebut akuisisi ini sebagai keberhasilan program pengarusutamaan naskah kuno Nusantara yang digalakan sejak setahun belakangan. “Saat ini kami memang punya program prioritas Pengarusutamaan Naskah Kuno Nusantara. Pengakuisisian naskah ini menjadi tonggak baru dalam penguatan literasi bangsa yang selama ini hanya berfokus pada buku modern,” kata Aminuddin Aziz dalam sambutannya di Jakarta.
Ia juga menyebut akuisisi ini sebagai peristiwa bersejarah karena tiga alasan. Pertama, naskah yang diserahkan terhitung paling banyak dalam sejarah akuisisi manuskrip oleh Perpusnas dengan jumlah hampir 10 kali lipat dibanding rekor sebelumnya, yaitu akuisisi 62 manu skrip Islam Nusantara dari K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 1998. Kedua, akuisisi 536 naskah Sunda ini menambah koleksi 467 naskah manuskrip Sunda yang telah dimiliki Perpusnas, sehingga totalnya menjadi 1.003 naskah.
Angka ini menempatkan Perpusnas sebagai institusi yang mengoleksi manuskrip Sunda terbanyak di dunia mengalahkan Perpustakaan Universitas Leiden di Belanda yang menyimpan 785 naskah sejenis.
Alasan ketiga, setelah diteliti ternyata naskah ini memiliki kaitan erat dengan naskah Sunda yang sudah ada di Perpusnas. Berdasarkan penilaian ahli, naskah ini merupakan satu kesatuan dengan koleksi-koleksi naskah terdahulu di Perpusnas sejak masih bernama Bataviaash Genootschap.
Dengan demikian, penambahan koleksi baru ini melengkapi puzzle koleksi manuskrip Sunda yang hingga kini keberadaannya teridentifikasi sebanyak 2.500 naskah, termasuk yang tersimpan di sejumlah negara. Akuisisi ini juga diharapkan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Perpusnas dalam hal pelestarian naskah kuno.
Sebelum diakuisisi oleh Perpusnas, naskah-naskah yang dulunya dihimpun Viviane Sukanda ini dua tahun disimpan oleh Yayasan Budaya Ngariksa, setelah mendapat mandat dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama beberapa tahun sebelumnya, naskah dirawat dan didigitalkan oleh lembaga tersebut yang bekerja sama dengan Center for the Study of Manuscript Culture (CSMC) Hamburg University, Jerman melalui DREAMSEA (Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia), program digitalisasi naskah kuno yang terancam punah di Asia Tenggara.
Hal ini bermula dari inisiatif pemilik naskah untuk mengalihkan simpanannya di Yayasan Pemelihara Naskah (Yapena) Bandung itu kepada ahli filologi Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum pada 2015 agar dirawat, dialihmediakan, dan dimanfaatkan untuk penelitian.
Koleksi naskah Sunda Yayasan Ngariksa didominasi tulisan beraksara Pegon dan berbahasa Sunda, sebagian kecil dalam bahasa Jawa dan Arab. Isi naskah terangkum dalam tiga kata kunci: Islam, Sunda, dan masyarakat. Pada masanya, naskah-naskah ini merupakan catatan masyarakat Sunda yang kental dengan keislaman dalam konteks ritual, nasihat, sastra, dan hukum. Ada juga petunjuk tentang pemilihan waktu yang tepat (primbon) dan siklus pertanian.
Sebagian naskah berupa karya sastra yang menceritakan tentang tradisi Arab dan kisah para nabi serta ulama penyebar Islam. Salah satu karya sastra yang bermuatan lokal adalah kisah tokoh fiktif populer Sunda, Raden Kian Santang. Keragaman isinya membuat naskah ini potensial untuk kajian lebih mendalam dari berbagai aspek.
Pustakawan dan ahli naskah Sunda di Perpusnas, Aditia Gunawan, menjelaskan bahwa naskah Sunda yang diakuisisi dari Yayasan Ngariksa ini mencirikan tradisi masyarakat Sunda dari luar kalangan aristokrat (ménak) Sunda, sementara koleksi-koleksi naskah Sunda di Perpusnas sebelumnya berasal dari kalangan aristokrat.
“Saya berharap koleksi ini dapat menjadi bahan penelitian dari perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, khususnya di Jawa Barat yang tertarik menggali sejarah dan budaya Sunda di masa lalu.” Pungkasnya. (Vin)