Semarang,Koranpelita.com
Penggeledahan di berbagai tempat lingkungan Pemkot Semarang terkesan sarat muatan politik, mengingat hal itu dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat Walikota incumbent menyatakan akan mencalonkan diri kembali pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang sedang berproses.
Hal itu diutarakan oleh Pengawas Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Peduli Hukum Indonesia (DPP LPHI) Wahyu Rudy Indarto,SH.MH.
Menurutnya, alibi apapun yang diberikan oleh KPK tetap akan sulit bagi masyarakat untuk percaya bahwa pemrosesan berbagai dugaan pelanggaran di lingkup Pemerintahan Kota Semarang tersebut tidak berkaitan dengan proses politik yang sedang berlangsung.
“Sulit bagi masyarakat mempercayai bahwa penggeledahan itu murni penegakan hukum semata,”ujar Rudy.
Mengapa? Tanya Rudy yang dijawab sendiri, “Karena jika murni penegakan hukum semestinya kegiatan itu bisa dilakukan sebelum mbak Ita menyatakan akan ikut berkompetisi pada Pilkada November mendatang.”
Dijelaskannya, bahwa kasus ini sudah tercium pada awal tahun 2024 ini. Bahkan, ketika itu Hevearita Gunaryanti Rahayu yang akrab disapa mbak Ita itu sudah pernah dipanggil KPK. Tetapi terhenti lama, tidak ada tindak lanjut.
“Setelah diperiksa oleh KPK, mbak Ita secara terbuka mengatakan bahwa dia tidak akan mencalonkan diri pada Pilkada 2024. Dan setelah itu masyarakat tidak mendengar lagi tindak lanjut dari KPK,”ungkapnya.
Logikanya, tambah Rudy, setelah pemeriksaan sekitar Januari-awal Februari 2024 tersebut, KPK langsung menindaklanjuti, apakah walikota itu dijadikan tersangka atau tidak.
“Umum kita saksikan, begitu selesai diperiksa, terduga malam harinya sudah memakai jaket oranye,”ujarnya.
“Kenapa kasus mbak Ita ini agak berbeda? Ditindaklanjutinya setelah setengah tahun sejak diperiksa?” tanyanya.
Sudah jadi semacam tradisi, jika ada kontestan pemilihan, perkaranya ditangguhkan sampai usainya kontestasi. “Ini berbeda. KPK memproses mbak Ita, kala yang bersangkutan berproses mendaftar sebagai calon walikota pada Pilkada 2024,”ujar Rudy.
“Kondisi inilah yang membuat masyarakat sulit percaya pada alasan apapun yang disampaikan KPK,”tambahnya.
Apalagi, lanjut Pengawas Yayasan Posbakum Indonesia LPHI itu, jika alasan KPK terkait kualitas dan kuantitas perkara. “Perkara yang ratusan triliun saja belum tuntas-tuntas. Dan bukan satu dua kasus, banyak kasus bernilai triliunan masih menggantung,”ujarnya.
“Lalu mengapa harus mendahulukan Walikota Semarang yang nilainya jauh lebih kecil tentunya,”tanya Rudy.
Rudy sepakat, semua kasus korupsi harus diselesaikan. Termasuk kasus Pemkot Semarang ini. Hanya saja, lebih bijak bila KPK juga tidak melalaikan kondusivitas dalam penyelesaiaannya. Seyogyanya memperhitungkan moment atau waktu yang tepat. Seperti kasus Pemkot Semarang lebih elok dikerjakan setelah selesai Pilkada.
“Bahkan andai dieksekusi bulan April atau Mei lalu, mungkin situasinya akan lebih tenang dan masyarakat tidak akan memberi penilaian negatif kepada KPK,” ungkapnya.(sup)