Oleh : Gunoto Saparie
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sebentar lagi akan memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah. Perda tersebut tentu saja sangat penting dalam upaya membina, mengembangkan, melindungi, memanfaatkan, dan memajukan kebudayaan di provinsi ini. Hari-hari ini Rancangan Perda (Raperda) tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah itu masih dalam tahap revisi atau perubahan demi penyempurnaan peraturan perundang-undangan tersebut.
Istilah “pemajuan kebudayaan” sendiri telah digunakan para pendiri bangsa pada UUD 1945 dalam Pasal 32, yaitu “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”, untuk menegaskan bahwa kebudayaan merupakan pilar kehidupan bangsa. Saat terjadi perubahan UUD 1945 pada awal masa reformasi melalui proses amandemen, pemajuan kebudayaan tetap menjadi prioritas bahkan makin ditegaskan. Pasal 32 UUD 1945 dikembangkan menjadi, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Untuk memajukan kebudayaan di Jawa Tengah memang diperlukan langkah strategis berupa upaya pemajuan kebudayaan melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya. Pemajuan Kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia.
Kementerian Dalam Negeri telah melakukan pengkajian secara yuridis formal dan material terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Jawa Tengah tentang Pemajuan Kebudayaan. Dari hasil pengkajian tersebut, Kemendagri minta agar dilakukan perubahan terhadap raperda tersebut sebagai langkah penyempurnaan sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Dr. Akmal Malik, M.Si. menyurati Pj. Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana dengan tembusan Ketua DPRD Jawa Tengah Sumanto, agar melakukan perubahan terhadap raperda tersebut.
Salah satu saran penyempurnaan dari Kemendagri adalah penambahan kata “daerah” dalam judul raperda tersebut. Jika semula judulnya adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tentang Pemajuan Kebudayaan, diminta oleh Kemendagri untuk diubah dan disempurnakan menjadi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah. Setelah fasilitasi dari Kemendagri terhadap Raperda Pemajuan Kebudayaan tersebut, kemungkinan tidak lama lagi raperda ini akan ditetapkan menjadi Perda.
Kita tahu, Raperda Pemajuan Kebudayaan merupakan inisiatif dari Komisi E DPRD Jawa Tengah. Inisiatif muncul karena—selain perlu adanya turunan Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan—ada kesadaran dari para wakil rakyat Jawa Tengah itu tentang pentingnya kebudayaan daerah dimajukan secara sistematis dan terukur, khususnya pada sepuluh objek yang menjadi fokus utama pemajuan kebudayaan. Sepuluh objek pemajuan kebudayaan itu meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Raperda Pemajuan Kebudayaan tersebut jelas merupakan perintah peraturan perundang-undangan lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, selain berkaitan dengan rencana pembangunan daerah, penyelenggaraan otonomi daerah, dan aspirasi masyarakat.
DPRD Jateng Kurang Membuka Partisipasi Publik
Kalangan seniman dan budayawan di Jawa Tengah memang banyak yang mengeluh mengenai kurangnya informasi mengenai Raperda Pemajuan Kebudayaan. DPRD Jawa Tengah dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah terkesan kurang membuka ruang partisipasi publik secara bermakna dalam proses pembahasan Raperda Pemajuan Kebudayaan. Tiba-tiba saja raperda itu telah mendekati finalisasi dan diparipurnakan. Padahal pelibatan masyarakat dalam upaya memajukan kebudayaan juga menjadi mandat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan itu sendiri. Pasal 44, poin H, I, dan J Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan menyebutkan Pemerintah Daerah bertugas: membentuk mekanisme pelibatan masyarakat dalam pemajuan kebudayaan; mendorong peran aktif dan inisiatif masyarakat dalam pemajuan kebudayaan; dan menghidupkan serta menjaga ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan.
Mekanisme pelibatan masyarakat dalam penyusunan perundang-undangan tidak hanya termaktub dalam UU Pemajuan Kebudayaan. Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 salah satu pertimbangannya adalah bahwa pemerintah perlu memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab dengan memenuhi tiga prasyarat: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Pasal 96 ayat 1, 2 dan 3 UU No 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebut masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan/tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Masyarakat merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi rancangan peraturan perundang-undangan. Kalangan seniman dan budayawan tentu saja memiliki kepentingan atas Raperda Pemajuan Kebudayaan tersebut.
Bahkan setelah putusan MK, terbit Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada 16 Juni 2022. Undang-undang ini memperjelas “asas keterbukaan” yang bermakna pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan).
Proses pembentukan Perda adalah perencanaan, penyusunan, pembahasan dan penetapan, dan pengundangan. Aspirasi masyarakat seharusnya ditampung sejak tahap perencanaan. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap Raperda, termasuk Raperda Pemajuan Kebudayaan ini, harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Model partisipasi publik yang dapat dilakukan dalam pembentukan Perda antara lain mengikutsertakan anggota masyarakat yang dianggap ahli dan independen dalam tim atau kelompok kerja dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Selain itu, bisa melakukan public hearing melalui seminar, lokakarya atau mengundang pihak-pihak yang berkepentingan dalam rapat-rapat penyusunan peraturan perundang-undangan, dan musyawarah rencana pembangunan. Perlu juga dilakukan uji sahih terhadap Raperda dan melakukan jajak pendapat melalui media massa.(*)
Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)