Jakarta, Koranpelita.com
Repatriasi naskah tidak hanya dimaknai sebagai pengembalian tapi juga ikhtiar menjaga warisan peradaban suatu bangsa. Perpustakaan Nasional mencatat saat ini dari total 121.545 naskah kuno, 82.158 diantaranya tersimpan secara pribadi dan di lembaga dokumenter dalam negeri. Sisanya, masih banyak manuskrip yang berada di luar negeri.
“Perpustakaan Nasional mengutamakan kerja sama luar negeri untuk repatriasi naskah,” tutur Deputi Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpusnas Mariana Ginting pada Seminar Repatriasi Naskah Kuno : Mengembalikan Identitas, Menjaga Warisan di Jakarta, Kamis, (18/7/2024).
Mariana menambahkan, undang-undang menyebutkan, Perpusnas terus berupaya mengembalikan naskah kuno yang berada di luar negeri dan melestarikannya.
Status sebagai bekas negara jajahan menyebabkan Indonesia kesulitan untuk mengembalikan naskah-naskah kuno yang berada di luar negeri. Padahal manuskrip mempunyai arti penting bagi peradaban.
“Naskah kuno bisa menggambarkan masa lalu untuk dikaji dan digali, ” tambah Kepala Pusat Jasa Informasi dan Pengelolaan Naskah Nusantara Perpusnas Agus Sutoyo.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami menegaskan komitmen negara untuk melakukan repatriasi naskah. Repatriasi naskah kuno merupakan isu penting dalam pembangunan manusia dan pembangunan kemajuan kebudayaan. Bahkan, ini merupakan salah satu prioritas agenda bidang kebudayaan pada RPJMN 2025-2029.
“Yang memiliki komitmen terhadap naskah kuno tidak hanya filolog. Namun, kita perlu memetakannya terlebih dulu mengingat repatriasi memerlukan usaha sistematis dan keberlanjutan,” jelas Amich.
Sementara itu, Ketua Yayasan Kejora Anak Negeri, Erwin Dimas, menguatkan fakta bahwa Indonesia punya naskah kuno melimpah tapi belum optimal dilakukan penelitian. Misalnya, pada naskah kuno Abdul L-Fata, Taju L-Muluk, dan Kitab Tuan Guru Sapat yang berisikan tentang kesehatan, pengobatan, norma sosial, dan lain-lain. “Itu artinya terdapat tantangan dalam mengidentifikasi, preservasi dan pemanfaatan naskah kuno yang kita miliki,” ungkapnya.
Maraknya upaya repatriasi yang dilakukan banyak negara bekas jajahan mendorong sejumlah pihak untuk mendirikan lembaga repatriasi. Di Indonesia sendiri, lembaga reptariasi baru dibentuk pada tahun 2021, dimana salah satu fokusnya yakni mengembalikan benda cagar budaya dari luar negeri.
Pada tahun 2023, telah dikembalikan 472 artefak dan empat patung Singosari ke Museum Nasional Indonesia di Jakarta oleh Pemerintah Belanda. Artefak dan patung tersebut diperoleh Belanda semasa menjajah Indonesia.
Pengembalian dilakukan tanpa syarat sehingga membuka ruang dialog serta penelitian terhadap benda-benda tersebut untuk mengungkapkan asal-muasalnya sekaligus menegakkan keadilan historis.
“Repatriasi bukan hanya soal mengembalikan naskah, tetapi juga mengembalikan bagian dari jati diri kita yang mungkin pernah terlupakan. Perlu strategi dan tahapan yang tepat dan tidak kontraproduktif terhadap pelestarian manuskrip” kata Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Oman Fathurrahman.
Guru Besar Fakuktas Ilmu Budaya dari Universitas Lancang Kuning, Junaidi, mengatakan bahwa proses repatriasi naskah membutuhkan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, lembaga budaya, dan komunitas akademik baik di dalam maupun di luar negeri.
Ia mengaku bangga atas keberhasilan negara mengambil kembali naskah-naskah kuno yang berada di luar negeri. Tentu saja ini tidak sekedar untuk dilestarikan dan diteliti melainkan juga sebagai penguat identitas budaya bangsa. Namun, yang tidak kalah penting cara ini bisa menjadi inspirasi negara lain dalam upaya menjaga warisan budaya mereka sendiri.
Ketua Masyarakat Penaskahan Nusantara (Manassa), Munawar Kholil, mengatakan repatriasi naskah kuno perlu waktu yang panjang dan database yang kuat. Karena ketika manuskrip berada di tangan yang salah, yang kurang mengetahui cara merawatnya, maka itu sudah pasti akan jadi masalah.
Namun, jika repatriasi itu berhasil dilakukan dengan baik dan didesiminasikan dengan tepat, maka menurut Ananta Hari Noorsasetya repatriasi telah berhasil menghasilkan literasi baru dan menjadi sangat penting untuk mengungkapkan hal-hal baru. (Vin)