Oleh : Gunoto Saparie
Menjelang akhir tahun ini, tepatnya 27 November 2024, akan digelar sebuah pesta akbar demokrasi, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak di Provinsi Jawa Tengah. Meskipun pesta demokrasi atau pilkada tersebut masih cukup lama, tetapi riak-riak gerakan politik dari berbagai kekuatan yang ada di wilayah ini sudah mulai terasa. Hal ini ditandai dengan berbagai gerakan politik dalam rangka pembangunan opini publik tokoh-tokoh yang ingin menduduki gubernur dan wakil gubernur di Jawa Tengah, walikota dan wakil walikota, maupun bupati dan wakil bupati di kabupaten dan kota di wilayah provinsi ini.
Bagaimanakah strategi komunikasi politik para kandidat kepala daerah untuk melakukan pencitraan diri mereka? Jawabannya memang tidak sederhana. Paling tidak, mengacu pada pernyataan konsultan politik terkemuka, Denny JA, proses pencitraan yang dilakukan pada zaman Alexander The Great dan Napoleon dengan era saat ini jauh berbeda. Pada zaman Alexander maupun Napoleon, untuk memperbesar pengaruh dan memenangkan dukungan politik, diperlukan meriam dan bedil. Akan tetapi, di era sekarang, cara-cara seperti itu sudah kuno untuk diterapkan.
Kalau di zaman Napoleon, yang dibutuhkan adalah perancang strategi perang yang andal. Akan tetapi, di zaman teknologi informasi saat ini yang dibutuhkan adalah konsultan pemasaran politik. Mengapakah orang yang mengejar posisi politis harus punya konsultan pemasaran politik? Karena pilkada merupakan proses demokrasi. Dalam konsep demokrasi, pemerintahan tertinggi berada di tangan rakyat. Ini berarti, siapa yang akan berkuasa akan sangat tergantung pada siapa yang ingin rakyat jadikan sebagai penguasa atau pemimpinnya.
Demokrasi jelas berbeda jauh dengan monarkhi yang kekuasaannya berada di tangan satu orang. Ia juga berbeda jauh dengan aristokrasi yang kekuasaan berada di tangan sekelompok orang. Ini berarti, untuk bisa menjadi pemimpin atau mendapat jabatan politik di dalam negara demokrasi, seseorang harus mampu menjumpai rakyat banyak untuk memberi pengaruh atau menjual tawaran politiknya. Selain itu, sesseorang harus mampu membangun citra agar rakyat simpati dan memilihnya menjadi pemimpin.
Akan tetapi, apakah mungkin seseorang mampu menjumpai jutaan orang di negeri ini untuk berkampanye? Tentu saja jawabannya adalah,”tidak mungkin mampu”. Oleh karena itu, seseorang harus menyusun strategi-strategi agar dikenal masyarakat.. Dalam hal ini meriam dan bedil bisa diganti dengan kertas (media cetak), televisi (media elektronik), dan media sosial.
Seorang kandidat kepala daerah adalah seorang politikus atau aktor. Sebagai komunikator politik, ia harus mampu membuat komunikasi politik yang efektif dengan rakyat banyak guna membangun citra, memulihkan citra, dan mempertahankan citra. Dalam hal ini, bukan hanya komunikasi dengan rakyat saja yang harus diperhatikan, namun komunikasi antar-sesama elit juga sangat penting.
Menjelang pilkada serentak November 2024, para kandidat kepala daerah memang harus mampu menarik simpati publik dengan produk-produk politik yang mereka tawarkan dan citra yang mereka bangun. Mereka harus menunjukkan adalah cara-cara yang baik yang bisa dicontoh oleh public. Bukan dengan cara paksaan yang justru membuat publik tertekan. Namun harus dengan cara bujuk rayu yang manis atau persuasif untuk memengaruhi opini publik dan mencari tempat di hati masyarakat. Akan tetapi perlu dicatat, bujuk rayu jangan dilambari oleh kebohongan.
Kemampuan berkomunikasi harus dimiliki setiap orang yang ingin ikut terlibat sebagai calon kepala daerah.. Upaya-upaya komunikasi yang bersifat paksaan tampaknya harus dibuang jauh-jauh dalam melakukan pendekatan. Cara persuasif yang bersifat lembut untuk memengaruhi target dengan bujukan harus dipertimbangkan. Cara seperti ini adalah cara yang tidak membuat target tertekan sehingga ia akan mudah luluh.
Persoalannya, di era seperti sekarang, di mana intelektualitas masyarakat sudah berkembang pesat, mungkinkah cara persuasif efektif mengingat kepercayaan publik akan politikus penebar pesona kian memudar karena sering diberi janji-janji palsu?
Upaya pencitraan calon kepala daerah menjadi tugas berat para politikus dan tim pemenangannya. Pilkada bukan hanya semata memilih (bagi rakyat), namun juga bagaimana caranya agar mendapat pemilih yang banyak (bagi kandidat). Oleh karena itu, ntuk mendapatkan pemilih atau pendukung, citra positif harus dibangun semaksimal mungkin.
Komunikasi politik yang baik sebagai upaya “mengambil hati” masyarakat menjelang pilkada harus dibangun. Citra harus dijaga ketika sudah terbangun komunikasi politik. Selain itu, citra harus segera dipulihkan (recovery) jika terjadi “luka” atau semacam “kecelakaan”. Para kandidat harus sudah membangun citranya jauh-jauh hari dalam proses mencari dukungan dan mendapatkan simpati publik yang banyak.
Kejujuran Salah Satu Prinsip Komunikasi Politik
Kejujuran adalah salah satu prinsip komunikasi politik. Menjual produk atau menjual tawaran politik tak semudah menawarkan produk kosmetik, menjual sabun, sampo atau merayu teman untuk ikut bergabung dalam suatu komunitas. Dibutuhkan strategi khusus untuk memengaruhi baik, secara penglihatan publik, perasaan, sampai mereka terpengaruh dan bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan komunikator politik tersebut pada targetnya.
Kontestan politik pilkada serentak harus jeli membaca situasi, membuat riset untuk menilik tipologi budaya masyarakat di suatu daerah. Hal ini sangat mendukung pula untuk menetapkan strategi, karena masyarakat satu daerah dengan daerah lain karakternya berbeda-beda, walaupun jarak geografisnya berdekatan.
David M. Axelrod, konsultan politik asal Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) menjadi populer karena sistem dan strategi komunikasi politik Axelrod berhasil memenangkan Barack Obama, calon Presiden AS dari Partai Demokrat, sebagai Presiden AS pertama sejak tahun 1787, yang berasal dari keturunan Afrika-Amerika tahun 2008. Axelrod menjadi arsitek strategi untuk kampanye pemilihan Barack Obama. Axelrod memadukan strategi politik, media, dan kampanye untuk mengalahkan saingan Obama, John Sidney McCain III, Senator asal Arizona, yang merupakan calon Presiden AS dari Partai Republik tahun 2008. Sejak akhir 1980-an, Axelrod dilabel sebagai seorang specialist in urban politics. Bahkan majalah The Economist mencatat spesialisasinya di bidang “packaging black candidates for white voters”.
Untuk Barack Obama tahun 2008, Axelrod merilis kampanye awal berupa video YouTube durasi 5 (lima) menit pada 16 Januari 2007. Axelrod membuat iklan politik presidential branding untuk Obama berupa gaya man on the street untuk menciptakan keintiman dan keotentikan. Axelrod melibatkan volunteers dan media alternatif untuk melipatgandakan partisipasi rakyat dalam pemilihan Presiden AS. Strategi ini sangat berbeda dengan strategi kampanye capres Hillary Clinton yang melibatkan donor besar, dukungan kuat dari pimpinan Partai Demokrat, dan tingginya name recognition.
Gaya man on the street Obama tampak pada positioning dan branding awal Joko Widodo (Jokowi) dengan baju kotak-kotak lengan panjang dan naik bis di Jakarta menjelang Pilgub DKI putaran pertama. Label dan brand Jokowi seakan-akan merepresentasi warga Jakarta yang umumnya naik bis kota berdesak-desakan. Tercipta keintiman antara cagub Jokowi dengan warga Jakarta. Mirip dengan branding man on the street Barack Obama dalam video YuoTube.
Selain itu, harus diakui, meski perang ayat Alquran dan Alhadis telah berkurang derajatnya, perang dalil tentang kekuasaan biasanya masih kerap terjadi dalam proses komunikasi politik pilkada. Pilihan ayat kitab suci sebagai bahasa politik bukan lagi hak eksklusif para kiai atau santri. Mereka yang memang pernah mengaji akan fasih melafalkannya. Bahkan mereka yang sekadar menuturkan apa yang pernah didengarnya, tak kalah meyakinkan. Kemunculan dalil-dalil yang disandarkan pada agama atau tokoh agama, menarik dikaji. Ini berarti, kemunculannya mengesankan transaksi politik pilkada masih berada dalam wilayah emosional, belum bergeser ke arah rasional.
Harus diakui, bagi sebagian pemilih di Jawa Tengah dikotomi tua-muda tidak begitu penting. Demikian juga dikotomi sipil-militer sudah melonggar. Akan tetapi, dikotomi muslim-nonmuslim, harus diakui, masih dipandang sensitif dan penting dipertimbangkan sebagai variabel penting keputusan untuk memilih. Dalam kaitan inilah dibutuhkan komunikasi politik yang elegan dalam berkampanye dengan mengambil anasir-anasir agama.
Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah dan Ketua Umum