Malang, KP
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menyatakan, tanpa ilmu pengetahuan tidak mudah melakukan perubahan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan. Apalagi di tengah situasi dan tantangan berat.
“Dapat disimpulkan, hampir tidak mungkin dapat dijalankan dengan baik tanpa keilmuan (scientific sensing) mendalam,” ujar Siti Nurbaya ketika memberikan Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana ke-91 Periode 1 Tahun 2019 Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu (23/2).
Pada kesempatan itu, Siti Nurbaya memberikan gambaran tentang perkembangan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan yang didasari dengan landasan akademik, atas langkah-langkah korektif dilaksanakan dalam konsepsi, operasional maupun implementasinya.
Dijelaskannya, di era Pemerintahan Presiden Jokowi telah terjadi perubahan signifikan penanganan lingkungan hidup. Sejalan dengan perkembangan dan dinamika aktualisasi politik pemerintahan dalam menyerap, melakukan agregasi dan mengartikulasikan kepentingan dan aspirasi masyarakat.
“Pemerintah mengemban tugas sebagai simpul negosiasi berbagai kepentingan dan aspirasi. Di antaranya direfleksikan dalam kebijakan dan pengambilan keputusan, baik dari aspek legal, politik, praktis atau tradisi, dan ilmiah,” kata Siti Nurbaya.
Dijelaskannya, pemahaman pengetahuan tentang pemerintahan dan fungsi pemerintah sangat penting, terlebih lagi saat aktualisasi kebijakan LHK dirasakan nyata sehari-hari di tengah masyarakat. Arti pemerintah bagi rakyat kemudian dijabarkan ke dalam empat hal.
Pertama, pemerintah hadir mengatur stabilitas dan kesetaraan, serta mengatasi konflik. Kedua, memberikan akses kesejahteraan material seperti pertumbuhan ekonomi dan memberikan jaminan peluang untuk produktif. Ketiga, memposisikan hak-hak warga negara, serta yang keempat, membangun demokrasi dan mendorong partisipasi.
Ditambahkannya, upaya kebijakan dan implementasi sektor kehutanan dan lingkungan hidup sangat relevan dalam menjawab kerangka konsep kekuasaan pemerintahan bagi rakyat pada semua dimensi fungsi pemerintah.
Saat ini, lanjut dia, lingkungan telah pula menjadi subyek politik, bukan sekadar subyek teknis. “Saya mengikuti terus perkembangan posisi politik, yakni sejak 1992 tentang earth summit hingga pada tahun 2015 tentang Paris Agreement,” terang Menteri Siti.
Tata kelola lingkungan menjadi suatu kebutuhan dan merupakan rangkuman dari aturan, praktik, kebijakan dan kelembagaan yang membentuk interaksi antara manusia dan lingkungan. Itu pulalah yang mendasari langkah-langkah korektif yang dirumuskan untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan melestarikan pengelolaan hutan Indonesia, kata Siti.
Dijelaskan, pokok-pokok koreksi yang dilaksanakan Pemerintahan Presiden Jokowi di bidang kehutanan difokuskan; pertama pada upaya penataan ulang alokasi sumber daya hutan dengan mengedepankan izin akses bagi masyarakat dengan hutan social.
Kedua, implementasi secara efektif moratorium penerbitan izin baru di hutan alam primer dan gambut. ketiga tidak membuka lahan gambut baru (land clearing), keempat moratorium izin baru pembangunan perkebunan sawit.
Kelima, melakukan pengawasan pelaksanaan izin dan mencabut HPH/HTI yang tidak aktif, keenam mengendalikan izin secara sangat selektif dengan luasan terbatas untuk izin baru HPH/HTI serta mendorong kerjasama hutan sosial sebagai offtaker.
Ketujuh, membangun konfigurasi bisnis baru; dan kedelapan mendorong kemudahan izin untuk kepentingan prasarana/sarana (jalan, bendungan, energi, telekomunikasi, pemukiman masyarakat/pengungsi). (kh)